Jadi Wartawan Harus Pemberani Namun Penuh Perhitungan

0
          Catatan Zakirman Tanjung 

BULAN Januari 1996 setidaknya ada empat pengalaman jurnalistik sangat berkesan yang saya alami. Pertama, melabrak Kapolres Sawahlunto Sijunjung Letkol Pol Ikhlas Yusuf. Kedua, Investigate Report ke PT Tidar Kerinci Agung (TKA). Ketiga, membantu Walikota Pekanbaru (incumbent) memenangkan pilwako. Keempat, mencegat Mobil Dinas BE 1 F yang ditumpangi Penjabat Bupati Lampung Barat, Raja Umpu Singa. 

1. Melabrak Kapolres 
○Kejadian bernula ketika saya bertamu ke rumah Kepala Kantor Pemangkuan Hutan Sungai Rumbai, Pak Badar ... (saya lupa nama lengkapnya). Waktu itu usai shalat Jumat. Kami duduk di teras rumah. Baru saja saya hendak menyeruput kopi, tiba-tiba ada seorang pria datang dengan berlari, menaiki dan mengengkol motor bebek yang terparkir di depan teras. 

Dengan tustel di tangan, saya spontan menjepret peristiwa itu. Kemudian, dalam hitungan detik, datang tiga pria lagi dan menyergap pria pertama. Saya kembali jeprat-jepret. Namun, seorang dari tiga pria penyergap merampas tustel dan membongkar rol film. 

"Apa-apaan ini... saya wartawan!" bentak saya sembari mengacungkan Kartu PWI. 

"Maaf, Pak, kami polisi. Kami sudah hampir sebulan mengejar buronan ini, tidak tidur dan mandi. Jadi, mohon tidak mempublikasikan karena masih ada tiga buronan yang belum tertangkap. ... ...." 

Tidak terima, setelah pamit ke Pak Badar, saya mendatangi Mapolsek Sitiung 1. Kepada Kanit Reskrim, saya menyatakan protes keras. Sempat bersoal-jawab, Kanit meminta saya bicara dengan Kasat Reskrim via telepon. Namun, karena jaringan tidak bagus, pembicaraan tidak nyambung. 

Sabtu besoknya sekitar pukul 10 pagi, saya tiba di Mapolres ~ Sijunjung. Langsung bertemu Kapolres Ikhlas Yusuf. Setelah memperkenalkan diri, saya menceritakan kejadian kemarin dengan emosi. Saya melabraknya dengan menuding anggotanya tidak profesional. 

Seperti sesuai dengan namanya, Kapolres menanggapi dengan tenang, menyatakan akan mengganti film dan tustel saya. Namun,  saya tetap tidak terima karena momen dalam film itu hilang. 

Kapolres terus berusaha menenangkan saya, lalu mengajak makan soto ke Simpang Muaro Gambok. 

(Meskipun berdamai, berita penyergapan lengkap dengan konfirmasi ke Kapolres tetap saya tulis dan dimuat Mingguan Canang halaman pertama dengan foto Kapolres) 

2. Investigate Report ke PT Tidar Kerinci Agung (TKA) 
Saya diajak ke Solok Selatan oleh Zul Gindo yang saya panggil Ajo Jun. Tujuan awal memang ke PT TKA untuk melakukan peliputan investigatif. Zul Gindo ini tetangga saya di kampung tetapi sudah lama bermukim di Durian Tigo Capang, Pakan Salasa. 

Dari Muaro Labuah kami naik oplet hingga Simpang Letter W, tak jauh dari Batas Sumbar - Kerinci. Mampir ke sebuah warung, kami memesan mie telur plus ngopi. Waktu menunjukkan pukul 15.45. Kepada pemilik warung kami menanyakan apakah ada mobil yang dapat kami tumpangi ke Base Camp PT TKA? 

"Angkutan umum tidak ada, Pak. Namun, Bapak bisa diantar ke sopir oplet Kerinci Putra dengan ongkos Rp15 ribu / orang. Jarak dari sini ke Talang (Base Camp TKA) sekitar 32 km," jawab pemilik warung. 

Karena terlalu mahal, tak jadi berangkat. Bersama kami ternyata ada empat orang lagi yang hendak ke Talang, dua pria dan dua wanita ~ buruh dan pedagang. Mereka menyatakan menunggu truk yang mungkin bisa ditumpangi. 

Tak lama, muncul truk coli diesel dari arah Kerinci berbelok arah ke Talang. Disoraki, berhenti. Kami naik ke bak belakang yang dipenuhi rumput hijau tanpa karung. Enak diduduki atau tiduran. 

Jalan tanah menbelah hutan menuju Talang banyak lubang, tanjakan dan turunan. Badan saya sering terguncang dan terhempas. Selama dalam perjalanan menuju Talang, Ajo Jun meminta saya mengaku sebagai staf Kanwil PU yang sedang survei jalan. 

Sekitar jam, truk berhenti, knek-nya meminta kami turun karena mereka akan belok ke arah lain. Para penumpang lain saya lihat bayar Rp5 ribu, saya pun ikut. Kami nongkrong di pinggir jalan menunggu mobil lain. Kata seorang buruh, biasanya ada banyak pick up perusahaan berseliweran di kawasan itu dan boleh ditumpangi. 

Ternyata benar! Kami pun naik. Namun, hanya seperempat jam, Taft pick up itu patah gardan belakang. Kami turun dan jalan kami kaki menuju pos penjagaan 2 untuk menunggu tumpangan berikutnya. 

Sempat tiduran di pos penjagaan 2, baru ada mobil tumpangan menuju base camp, juga Taft pick up. Sekitar 300 meter menjelang pos penjagaan 1, Ajo Jun meminta saya turun. Maghrib sudah sempurna menyelimuti kota mini di tengah hutan itu. 

Berjalan kaki menuju pos, saya melapor kepada petugas satpam sebagai wartawan Surat Kabar Mingguan Canang dan minta dipertemukan dengan Pimpinan PT TKA. Seorang dari dua satpam yang bertugas memarahi saya karena langsung datang ke base camp tanpa melalui Kantor Pusat PT TKA di Jalan Samudera, Kota Padang. 

Setelah bersoal-jawab, satpam itu meminta saya menunggu di pos. Ia pun pergi melaporkan kedatangan saya ke pimpinan. Saya menunggu di pos bersama Satpam tua, Muhammad Yusuf, yang mengaku sudah berusia 70 tahun. Nyamuk tak henti menyerang dan menggigit. 

Pak Yusuf mengajak saya ke kedai miliknya, sekira 50 meter dari pos. Ia membuatkan saya segelas teh manis hangat. Perut saya memang terasa sangat lapar. Pergi ke luar, ia membawakan sebungkus nasi ramas dan meminta saya makan. 

Menjelang balik ke pos, Pak Yusuf membekali saya dua bungkus indomie dan dua kaleng fanta. Ketika saya merogoh kantong untuk membayar, Pak Yusuf melarang. 

"Saya dulu pernah jadi wartawan Haluan di Payakumbuh. Jika Ananda ingin membalas kebaikan saya, kelak tolonglah orang-orang yang juga mengalami kesulitan," pintanya. 

Sekira pukul 20.00 barulah satpam muda tadi kembali ke pos. Ia meminta saya naik boncengan sepeda motor, melaju menembus gelap, lalu berhenti di depan deretan bangunan dari kayu. Setelah nenyerahkan kunci pintu, satpam itu pergi. 

Setelah membuka pintu, saya sempat kaget. Sebab, ruangan di dalam mirip hotel bintang 5. Ada spring bed dengan lantai beludru. Kamar mandinya pun bersih dan wangi, tersedia pilihan air dingin atau hangat, lengkap dengan bak untuk berendam. 

Ketika saya selesai mandi dan masih pakai handuk, terdengar ketukan di pintu diiringi suara perempuan. Saya buka, "Kalau Bapak mau makan atau butuh minuman hangat, bisa saya antar." 

"Terimakasih, Bu, saya sudah makan," kata saya. 

"Baik, Pak. Tapi, kalau nanti Bapak butuh, ketuk saja, saya di sebelah." 

Bangun pagi badan terasa segar. Setelah menikmati sarapan, datang satpam semalam. Ia mengantar saya ke Kantor Manajer Personalia PT TKA yang menerima saya dengan ramah. Sayang, saya lupa namanya. Stafnya memanggil Pak Datuk. Ia mengaku orang Matur, Kabupaten Agam. 

Ia menjawab semua pertanyaan konfirmatif saya dengan lugas dan jelas. Sekira satu jam dalam ruangan kerjanya, ia mengantar saya mengunjungi beberapa objek dengan Taft minibus. Selanjutnya, ia turun di depan Bank Nagari, lalu menyuruh sopir mengantar saya ke Padang. 

Setiba di Muaro Labuh, saya minta sopir berhenti karena ingin turun di situ. Sopir yang Wong Jawa itu protes, takut kena marah atasan kalau tak mengantar saya hingga ke Kota Padang. 

"Tidak apa, Pak. Nanti kalau ada yang tanya, saya jawab, Bapak ngantar saya hingga ke Padang. Sekarang Bapak dapat beristirahat memanfaatkan waktu dan BBM yang tersisa." 

Si sopir menyatakan terimakasih tak terhingga. Setelah urusan saya selesai di Muaro Labuh, saya ke Padang naik bus. 

Ketika saya menyerahkan laporan investigasi ke PT TKA itu ke redaksi, beberapa wartawan senior terdengar nyeletuk, "Kamu terlalu berani dan nekat, Zast. Kamu tahu siapa di belakang PT TKA tu? Danjen Kopasus Jenderal Prabowo Subianto!"

3. Membantu Walikota Pekanbaru 
Masih di bulan Januari 1996, saya melakukan perjalanan jurnalistik ke Provinsi Riau walau tanpa tujuan yang jelas. Meskipun demikian, saya tetap meminta surat pengantar kepada Pemimpin Redaksi Surat Kabar Mingguan Canang, Inyiak Nasrul Siddik, yang ditujukan kepada Ketua PWI Cabang Riau. 

Pagi hari sesampai di Pekanbaru, saya langsung menemui Pak Rida K Liamsi yang waktu itu jadi Ketua PWI Riau. Berdasarkan surat pengantar yang saya serahkan, ia menerbitkan surat rekomendasi yang menerangkan bahwa saya melakukan tugas jurnalistik selama satu bulan di Provinsi Riau yang waktu itu masih mencakup Kepri. 

Dengan mengantongi surat itu, saya bebas bertugas di provinsi tersebut. Dari Kantor PWI, saya nyasar ke DPRD Kota Pekanbaru di Gedung Payung Sekaki. Di sini saya memperoleh informasi, sedang berlangsung pengumpulan surat aspirasi organisasi masyarakat berupa dukungan kepada calon Walikota Pekanbaru periode 1996 - 2001.

Dari bursa yang diberitakan Harian Riau Pos, saya ketahui, walikota yang sedang menjabat (incumbent) Oesman Efendi Apan menempati urutan ke-13 dalam perolehan dukungan aspirasi. Nomor satu Anwar Rahman, adik Sekwilda Riau. Surat dukungan untuk Oesman sebenarnya sangat banyak, berkarung-karung, tetapi tidak dianggap oleh Panitia Pemilihan Walikota di DPRD Pekanbaru. Setelah saya pelajari, saya tahu penyebabnya. 

Kemudian saya mencari tempat betmalam. Ketemu Penginapan Asia di Pasar Pusat dengan sewa Rp2.500/malam. Setelah menyimpan tas pakaian, saya ke luar, menyusuri jalanan tanpa arah dan tujuan. Maklum, sebelumnya saya baru sekali ke Pekanbaru, itupun ke rumah famili di Jalan Taskurun, tak jauh dari Terminal Bus Mayang Taurai. 

Sesampai di Jalan Imam Bonjol, saya dengar suara percakapan dengan logat Pariaman di Kedai Kopi 45. Mampir, saya memesan kopi dan sate sembari menguping pembicaraan orang-orang. Mereka membahas tentang Pak Wali yang tidak mendapat dukungan. 

Saya pun ikut nimbrung, tentunya dengan memperkenalkan diri sebagai Wartawan Canang dari Padang. Waktu itu Koran Canang beredar luas di Pekanbaru dan Batam. Saya mengemukakan analisa mengapa Pak Oesman kurang dapat dukungan sebagaimana dirilis Koran Riau Pos. 

Seorang tokoh, Napoleon - asal Sakarek Ulu, Pariaman Utara - tampak tertarik. Ia mengaku sangat dekat dengan Pak Walikota, menanyakan apakah saya dapat membantu. Saya jawab dapat, dengan syarat pertemukan saya dengan walikota. Napoleon menyatakan bersedia. 

Menjelang senja ia datang menjemput saya ke Penginapan Asia, lalu menuju rumah dinas walikota di Jalan Ahmad Yani, tak jauh dari mapolresta. Sayangnya, Pak Wall tak di rumah. Ia pergi ke bandara, menyambut kedatangan Jenderal pertama Riau, Asospol Kasospol ABRI Brigjen TNI Syarwan Hamid. 

Menunggu hampir satu jam, Pak Wali pulang dan menerima saya. Kepadanya saya nyatakan, ratusan surat aspirasi yang dikirim tim-nya kentara benar rekayasanya karena dibuat di atas kertas yang di-blangko. 

 Ketika ia bertanya bantuan apa yang dapat saya berikan, saya minta tiga hal > kamar hotel yang representatif, staf kepercayaan dia minimal tiga orang, mesin ketik sebanyak mungkin dan biaya operasional. 

Malam itu saya pindah ke kamar hotel dan langsung bekerja. Lima staf yang datang besok paginya saya beri penugssan masing-masing. Dua orang mencari kertas  dan amplop ber-kop organisasi kemasyarakatan sebanyak mungkin. Kalau tak ada, cetak. Tiga lagi jadi asisten saya untuk mengetik dan tugas lainnya seperti membelikan makanan atau minuman. 

Dengan beragam letter tuts nesin tik dan gaya bahasa yang saya dikte-kan, kesan rekayasa pada surat-surat aspirasi dimaksud takkan tampak. Setiap beberapa surat selesai diketik, kedua saya suruh meminta tandatangan pengurus organisasi, lalu mengantarkan ke DPRD. Begitu seterusnya.

Siangnya, saya bertemu dengan Kabag Humas Setdako Pekanbaru di sebuah resto ikan patin di kawasan bandara guna wawancara dan menyerahkan dokumen apa saja tentang keberhasilan Oesman lima tahun memimpin Kota Pekanbaru. Wawancara dan dokumen itu saya perlukan sebagai bahan untuk menulis laporan bertajuk "Lima Tahun Kepemimpinan Walikota Pekanbaru Oesman Effendi Apan" yang diturunkan redaksi menjadi 2x sambungan di halaman 3 Mingguan Canang. 

Laporan itu kemudian diprotes Pak Nusyirwan, koresponden / kepala Biro Canang Riau. Ia protes ke Inyiak karena saya ke Pekanbaru tidak melapor kepadanya. Belakangan saya tahu, Pak Nusyirwan berseberangan dengan Walikota Oesman. 

Setelah tiga hari saya bekerja siang dan malam bersama staf, peringkat Oesman Effendi Apan naik ke peringkat pertama pada bursa aspirasi Riau Pos. Saya pun pamit ke  Pak Oesman, menyatakan hendak terus ke Batam dan Vietnam. Beliau memberi saya tanda terimakasih berupa segepok uang (saya lupa jumlahnya). 

Menyeberang ke Batam via Pelabuhan Tanjung Buton, banyak hal pula yang saya alami dan dapatkan. Saya bebas masuk ke Gedung Otorita, Bea Cukai dan lain-lain. 


4. Mencegat Bupati Lampung Barat, Raja Umpu Singa  
Menjelang akhir Januari 1996, saya pergi ke Provinsi Lampung untuk bertemu Ayah yang sudah tujuh tahun tak bersua. Dari Terminal Bus Rajabasa, saya naik Bus Pandawa Lima sejauh 278 km via Bukit Kemuning menuju Krui, kota kecamatan di pesisir barat Lampung. (Kini, Krui menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Pesisir Barat) 

Sampai di Krui menjelang pagi, ternyata Ayah sudah pindah, tak lagi menempati ruko di pinggir Way Balau ~ sebagaimana saya kunjungi tahun 1989. Untunglah ada warga yang sudah bangun dan memberitahu kalau Ayah pindah ke ruko di Simpang Masjid, sekira 30 meter dari Way Balau. 

Banyak kenangan yang tak terlupakan di Krui yang gersang, yang sebelumnya saya kunjungi tahun 1983, 1988 dan 1989. Bukit Selalau Indah dan Pantai Pasir Putih merupakan objek yang sering saya jelang dengan mengayuh sepeda, meski harus melewati area pelabuhan yang kotor dan bau. 

Pada hari kedua di Krui, Ayah bertanya, "Benarkah kamu bekerja sebagai wartawan?" 

Saya mengangguk. Ayah melanjutkan, "Apa mungkin para pejabat mau menghargai orang seperti kamu?" 

Pertanyaan Ayah sangat wajar karena fisik saya cacat sejak lahir dengan wajah jauh dengan kesan simpatik. 

Saya pun minta izin ke Ayah hendak pergi ke Liwa, 32 km dari Krui, untuk menemui Bupati Lampung Barat Letkol CHB Saleh Umpu Singa atau lebih dikenal dengan Raja Umpu Singa. Ayah dan para karyawannya di Penjahit Abadi menguatirkan kalau-kalau Pak Bupati takkan menghargai, bahkan melecehkan saya. 

"Sesuai namanya, dia itu bupati yang sangat ditakuti," kata seorang karyawan Ayah. 

Untuk membuktikan kepada Ayah kalau saya kompeten sebagai wartawan dan dihargai, saya naik oplet omprengan menuju Liwa. Turun di Simpang Tiga, saya nyambung naik angkot menuju kantor bupati. 

Turun dari angkot, menyeberang jalan, saya memasuki gerbang... saya lihat Mobil BE 1 F bergerak menuju gerbang. Saya cegat dengan melambaikan tangan kanan. Mobil berhenti. Pintu samping kiri terbuka. Penumpangnya turun, diikuti ajudan melalui pintu kiri depan. 

Tanpa memperhatikan wajahnya yang terkesan marah lantaran saya cegat, saya langsung menunjukkan Kartu PWI sembari memperkenalkan diri. 

"Pak Bupati, saya Zakirman Tanjung, wartawan Surat Kabar Mingguan Canang dari Kota Padang. Saya bermaksud meminta pendapat atau komentar Anda tentang keberadaan perantau asal Sumatera Barat di Lampung Barat ini...." 

"Maaf ya, Dik, saya buru-buru harus ke Tanjung Karang, ada rapat penting dengan Pak Gubernur. Adik temui Kabag Humas saja yaa," pintanya dengan sangat ramah. 

Pada saat bupati bicara, saya menyerahkan tustel kepada ajudan. Ia pun memotret saya dan bupati beberapa kali. 

Setelah BE 1 F berangkat, saya memasuki gedung kantor bupati. Bertemu Kabag Humas, beliau melayani saya dengan baik. 

Kembali ke Krui, saya mampir ke studio cuci - cetak foto. Setelah potong dan cuci film, saya pilih momen terbaik bersama Bupati Umpu Singa untuk dicetak ukuran besar. 

Barulah ~ setelah melihat foto itu ~ Ayah percaya jika saya memang benar-benar wartawan. Beliau malah memajang foto tersebut di kedai tempat berusaha ~ Penjahit Abadi, Pasar Pagi Krui. 
 

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(50)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top