Catatan Zakirman Tanjung
Ø£َعُوذُ بِاللَّÙ‡ِ Ù…ِÙ†َ الشَّÙŠْØ·َانِ الرَّجِيمِ
بسم الله الرØمن الرØيم
السلام عليكم
Saya mengenal seorang pejabat, kepala dinas (kadis) pada suatu kabupaten di Provinsi Sumatra Barat. Pejabat itu, sebut saja AX, dilantik bupati jadi kadis pada tahun 2011 dalam usia ±45 tahun.
Banyak hal berkesan yang saya ingat tentang AX meskipun awal perkenalan saya dengan dia diwarnai konflik. Ketika kofirmasi pertama kali ke kantornya, AX menunjukkan pandangan sinis, memeriksa identas saya, bahkan menyatakan tidak bersimpati kepada wartawan yang sering memeras pejabat, minimal minta uang.
Saya tidak menunjukkan sikap tersinggung. Mungkin memang ada oknum wartawan seperti yang dia maksud.
Berita kasus plus konfirmasi AX saya tulis secara lengkap dan saya publikasikan pada media online tempat saya bergabung. Meski denikian, AX tak segera respek kepada saya. Tak apalah, itu hak dia.
Tahun 2012, saya menghadiri jumpa pers seorang pengacara terkait kasus hukum yang melibatkan seorang bawahan AX. Pengacara menyebut AX harus ikut bertanggung jawab sebagai atasan langsung dan pejabat pengguna anggaran.
Hasil jumpa pers itu saya tulis dan saya publikasikan.
Beberapa hari kemudian, AX bertemu saya di Kawasan Bandara Internasional Minangkabau. Ia meminta saya naik ke mobil dinasnya. Raut wajahnya terkesan menahan emosi.
Saya sempat merasa khawatir. Namun, dengan memohon perlindungan kepada Allah ï·», saya naik. Mobil pun jalan beberapa menit lalu berhenti di halaman suatu kafe.
AX mengajak saya turun, memesan jus dan memasuki ruangan VIP. Setelah pelayan mengantarkan pesanan, AX menutup dan mengunci pintu. Berbalik menghadap saya, ia langsung memaki dan mengata-ngatai saya terkait berita jumpa pers yang saya tulis.
Tak hanya dengan kata-kata, AX bahkan memperlihatkan arsip beberapa dokumen sebagai bukti jika dia telah berulangkali memperingatkan bawahan yang terjerat kasus hukum. Hal itu menunjukkan jika pernyataan pengacara sebagaimana yang saya beritakan tidak benar.
Saya pun menulis dan mempublikasikan bantahan AX di media online yang sama.
Kemudian, ketika memenuhi panggilan kejaksaan sebagai saksi, ternyata AX memang terbukti tidak terlihat dalam kasus hukum yang menjerat bawahannya.
Tahun 2014, saya mendapat kabar jika AX selaku kepala dinas dicopot oleh bupati. Jabatannya diserahkan kepada sekretarisnya sebagai pelaksana tugas. Tak berapa lama kemudian, bupati melantik seorang kepala bidang bekas bawahan AX menjadi kepala dinas.
Setelah pencopotan AX, saya memperoleh sejumlah informasi dari pejabat eselon III dan IV serta staf pada dinas tersebut. Mereka menyatakan AX merupakan pimpinan yang sangat bertanggung jawab, baik terhadap tugas dan pekerjaan maupun terhadap kenyamanan dan kesejahteraan bawahan-bawahannya.
"Silahkan Pak Zakirman lakukan investigasi untuk menyelidiki apakah kadis kami pernah melakukan korupsi, kolusi atau memanipulasi anggaran dinas," ujar seorang pejabat eselon IV pada dinas itu.
Hal yang lebih menakjubkan, ungkap staf yang lain, AX tidak pernah memalak bawahan-bawahannya sebagaimana konon kerap dilakukan oleh banyak pejabat lain dengan beragam modus atau dalih, misalnya untuk waskat (wajib setor kepada atasan), dalam hal ini bupati, untuk oknum-oknum wartawan dan untuk oknum-oknum lain.
Modus pemalakan yang konon dilakukan oleh pejabat lain itu dengan cara memerintahkan bawahan-bawahannya secara lisan agar menyetorkan 10 hingga 50% uang saku perjalanan dinas dan/atau mencarikan dari anggaran kegiatan.
"Jangankan meminta uang kepada kami, Pak AX bahkan tidak pernah mau menerima uang saku perjalanan dinas yang tidak dia ikuti karena ada halangan mendadak walaupun namanya tercantum dalam surat tugas sebagai ketua tim. Jadi, kami sedih ketika mengetahui Pak AX dicopot dari jabatannya oleh bupati," urai staf itu.
Barulah awal tahun 2015 saya bertemu AX secara kebetulan. Kami pun berbincang. Kegigihan saya mengorek informasi mengapa bupati mencopot dirinya akhirnya membuahkan hasil. AX menceritakan tekanan-tekanan yang sering dia terima dari bupati seperti mencarikan sejumlah uang untuk membayar oknum-oknum tertentu atau membiayai kegiatan yang diinginkan bupati tetapi biayanya tidak tertampung dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
"Bukan hanya sejuta dua juta, melainkan puluhan hingga ratusan juta rupiah. Tidak sekali dua kali tetapi sering. Bagaimana mungkin saya mencarikan uang sebanyak itu? Saya tidak mau memanipulasi anggaran kegiatan atau menekan bawahan," kata AX.
Tidak terima dipindahkan bupati sebagai staf di kecamatan, AX pun memilih mengajukan pensiun dini pada usia ±50 tahun. Selanjutnya ia merintis karier sebagai profesional berbekal ilmu dan pengalaman yang dia miliki.
Terakhir, saya bertemu AX di RM VII Koto Talago - Kota Padang, Rabu 15 Desember 2021 pagi. AX yang menelepon dan meminta saya ke rumah makan itu. Saya pun berangkat dari rumah dengan menumpang Go-jek. Kami pun berbincang lepas selama hampir dua jam sembari ngopi dan menikmati sarapan lontong gulai.
Kenapa baru sekarang saya menulis tentang AX? Tiada lain karena tiba-tiba saya melihat akun AX mengomentari postingan seorang teman di facebook. (*)