Catatan Zakirman Tanjung
Ø£َعُوذُ بِاللَّÙ‡ِ Ù…ِÙ†َ الشَّÙŠْØ·َانِ الرَّجِيمِ
بسم الله الرØمن الرØيم
MENUNAIKAN ibadah haji merupakan Rukun Islam kelima, wajib bagi orang yang memiliki kemampuan secara lahir dan batin melakukan perjalanan ke Tanah Suci Makkah al-Mukarammah dan Madinah al-Munawarrah serta melaksanakan rukun dan syaratnya sesuai ajaran Islam.
Prediket yang diharapkan orang yang menunaikan Rukun Islam kelima ini adalah haji mabrur, yakni haji yang diterima dan diikhlaskan oleh Allah ï·» karena ibadah hajinya telah dilakukan dengan baik dan benar serta dengan bekal yang halal, suci dan bersih.
Namun, banyak sentilan yang kita dengar tentang orang² yang menunaikan ibadah haji ini, baik perilakunya selama di Tanah Suci maupun setelah kembali ke tanah air. Perilaku dimaksud seakan mencerminkan apakah ibadah hajinya mabrur atau entahlah.
Dalam hal ini penulis ingat sentilan yang pernah dikemukakan Bupati Padang Pariaman (1994 - 1999) Ir Nasrul Syahrun ketika memberikan kata sambutan saat melepas jamaah calon haji dari kabupaten yang dipimpinnya. Sebagai sentilan, ia menyebut jemaah haji dengan empat golongan.
1. Haji Mukhlis
Golongan pertama ini merupakan orang menunaikan ibadah haji dengan baik dan benar serta dengan bekal yang halal, suci dan bersih, atau dengan kata lain memperoleh predikat haji mabrur.
Kata mukhlis terambil dari kata khalasha yang berarti bersih, jernih, atau murni. Dengan demikian, kata mukhlis dapat kita pahami sebagai orang yang berhati bersih, jernih atau murni (hanya mengharap ridha Allah ï·») dalam melakukan seluruh amalnya.
2. Haji Turis
Seseorang yang mengunjungi suatu kota, objek rekreasi atau situs bersejarah hanya untuk kesenangan menjelajahinya dapat digambarkan sebagai turis . Saat Anda bepergian untuk bersenang-senang, Anda adalah seorang turis.
Haji turis dapat disebut sebagai orang yang pergi menunaikan ibadah haji, tidak fokus beribadah semata, tetapi menyambilkan rekreasi. Bahkan, di era kekinian, mereka juga asyik berfoto diri (selfie) di tempat² ibadah.
3. Haji Bisnis
Bisnis, usaha atau niaga adalah kegiatan memperjualbelikan barang atau jasa dengan tujuan memperoleh laba. Dalam ilmu ekonomi, bisnis adalah suatu organisasi yang menjual barang atau jasa kepada konsumen atau bisnis lainnya untuk mendapatkan laba. Secara historis kata bisnis dari bahasa Inggris: business, dari kata dasar busy yang berarti "sibuk" dalam konteks individu, komunitas atau masyarakat. Dalam artian, sibuk mengerjakan aktivitas dan pekerjaan yang mendatangkan keuntungan.
Haji bisnis yang dimaksudkan Ir Nasrul Syahrun kurang lebih seperti gambaran alinia di atas: orang yang pergi menunaikan ibadah haji sembari menjalankan kegiatan perdagangan atau jasa untuk mendapatkan keuntungan materi.
4. Haji Pelaris
Pelaris adalah jampi atau penawar yang dapat menjadikan jualan atau barang dagangan laris yang merangkumi pelaris yang sah di sisi syarak dan yang tidak sah di sisi syarak dalam islam.
Dalam perspektif eksistensi seseorang, pelaris dapat dimaknai sebagai upaya pencitraan atau branded diri. Untuk mencapainya, orang tertentu takkan segan² melakukan, bahkan menghalalkan, segala cara. Di antaranya dengan mengiklankan diri berikut profil melalui berbagai media, membeli gelar akademik, gelar adat atau membayar tim sukses.
Bagaimana dengan haji pelaris? Menurut Nasrul Syahrun, itulah jamaah yang pergi menunaikan ibadah haji tidak semata-mata untuk beribadah karena Allah ï·» tetapi terselip di hatinya keinginan mendapatkan kemuliaan diri, antara lain ingin menambahkan gelar H atau Hj di depan namanya serta agar disapa Pak Haji atau Bu Hajjah oleh orang² yang mengenalnya.
Itulah mungkin sebabnya kita kerap mendengar cerita atau menyaksikan tayangan video di berbagai media tentang perilaku aneh dan menyimpang jamaah tertentu ketika sedang menunaikan rukun² ibadah haji. Bahkan, kita kerap menyaksikan orang² tertentu berperilaku lebih buruk sekembali ke tanah air setelah menunaikan ibadah haji.
***
MAKANAN INI HALAL UNTUK KAMI TETAPI HARAM BUAT TUAN
Abu Abdurrahman Abdullah bin al-Mubarak al Hanzhali al Marwazi yang menceritakan riwayat ini merupakan 'ulama terkenal di Makkah pada masanya.
Suatu ketika, setelah selesai menjalani satu ritual ibadah haji, ia beristirahat dan tertidur. Dalam tidurnya ia bermimpi melihat dua malaikat turun dari langit. Ia mendengar percakapan mereka.
“Berapa banyak jamaah yang datang tahun ini?” tanya Malaikat A.
“Tujuh ratus ribu,” jawab Malaikat B.
“Berapa banyak di antara mereka yang ibadah hajinya diterima (mabrur)?”
“Tidak satu orang pun!”
Percakapan ini membuat Abdullah gemetar. “Apa?” ia menangis dalam mimpinya.
Semua jamaah ini telah datang dari berbagai belahan bumi yang jauh, dengan kesulitan yang besar dan keletihan di sepanjang perjalanan, berkelana menyusuri padang pasir yang luas, semua usaha mereka menjadi sia-sia?
Sambil gemetar, ia melanjutkan mendengar cerita kedua malaikat itu.
“Namun, ada seseorang, yang meskipun tidak datang menunaikan ibadah haji, tetapi ibadah hajinya diterima dan seluruh dosanya telah diampuni . Berkat dia, seluruh jamaah yang sedang menunaikan ibadah haji saat ini diterima oleh Allah ï·».”
“Kok bisa?”
“Itu Kehendak Allah ï·»”
“Siapa orang tersebut?”
“Sa’id bin Muhafah, tukang sol sepatu di Kota Damsyiq (Damaskus sekarang)”
Mendengar ucapan itu, sang 'ulama langsung terbangun.
Setelah selesai menunaikan rangkaian ibadah haji, ia tidak langsung pulang ke rumah, tetapi menuju Kota Damaskus, Suriah. Sampai di sana ia pun mencari tukang sol sepatu yang disebut malaikat dalam mimpinya. Hampir semua tukang sol sepatu dia tanya, apa memang ada tukang sol sepatu yang namanya Sa’id bin Muhafah?
“Ada, di tepi kota,” jawab seorang tukang sol sepatu sambil menunjukkan arahnya.
Sesampai di sana, 'ulama itu menemukan tukang sepatu yang berpakaian lusuh.
“Benarkah Anda bernama Sa’id bin Muhafah?” tanya 'ulama itu.
“Benar. Tuan siapa?”
“Abdullah bin Mubarak”
Said pun terharu, "Tuan adalah 'ulama terkenal, ada apa mendatangiku?”
Sejenak 'ulama itu kebingungan, dari mana ia hendak memulai pertanyaan. Akhirnya ia pun menceritakan perihal mimpinya.
“Saya ingin tahu, adakah sesuatu yang telah Anda perbuat, sehingga Anda berhak mendapatkan pahala haji mabrur?”
“Wah saya sendiri tidak tahu!”
“Coba ceritakan bagaimana kehidupan Anda selama ini."
Maka Sa’id bin Muhafah bercerita. “Setiap tahun, setiap musim haji, saya selalu mendengar Labbaika Allahumma labbaika. Labbaika la syarika laka labbaika. Innal hamda wanni’mata laka wal mulka. laa syarika laka.
Ya Allah, aku datang karena panggilanMu. Tiada sekutu bagiMu. Segala ni’mat dan puji adalah kepunyaanMu dan kekuasaanMu. Tiada sekutu bagiMu.
Setiap kali mendengar itu, saya selalu menangis. Ya Allah, aku rindu Makkah. Ya Allah, aku rindu melihat Ka'bah. Ijinkan aku datang… ijinkan aku datang ya Allah.
Oleh karena itu, sejak puluhan tahun yang lalu, setiap hari saya menyisihkan uang dari hasil kerjaku sebagai tukang sol sepatu.
Sedikit demi sedikit uang kukumpulkan. Akhirnya pada tahun ini, saya punya 350 dirham, cukup untuk biaya berhaji.
“Tetapi, Anda batal berangkat haji.”
“Benar.”
“Apa yang terjadi?”
“Istriku hamil dan sering ngidam. Waktu aku hendak berangkat, saat itu dia ngidam berat.”
“Suamiku, apakah engkau mencium bau masakan yang nikmat ini?"
“Ya, sayang.”
“Cobalah kau cari, siapa yang memasak sehingga baunya nikmat begini? Mintalah sedikit untukku.”
"Ustadz, saya pun mencari sumber bau masakan itu. Ternyata berasal dari gubug yang hampir runtuh. Di situ ada seorang janda dengan enam anaknya. Saya katakan kepadanya bahwa istri saya ingin masakan yang ia masak, meskipun sedikit. Janda itu diam saja sembari memandang saya, sehingga saya mengulangi perkataan saya.
Akhirnya dengan perlahan ia mengatakan, “Tidak boleh, Tuan!”
“Dijual berapapun akan saya beli.”
“Makanan ini tidak dijual, Tuan,” katanya sambil berlinang mata.
Akhirnya saya tanya kenapa?
Sambil menangis, janda itu berkata, “Daging ini halal untuk kami tetapi haram untuk Tuan.”
Dalam hati saya bertanya, bagaimana mungkin ada makanan yang halal untuk dia, tetapi haram untuk saya, padahal kita sama-sama muslim?
Karena itu saya mendesaknya lagi, “Kenapa?”
“Sudah beberapa hari ini kami tidak makan. Di rumah tidak ada bahan makanan. Hari ini kami melihat keledai mati, lalu kami ambil sebagian dagingnya untuk dimasak. Bagi kami daging ini adalah halal karena andai kami tak memakannya kami akan mati kelaparan. Namun, bagi Tuan, daging ini haram," kata janda itu lagi.
Mendengar ucapan tersebut spontan saya menangis, lalu saya pulang. Saya ceritakan kejadian itu kepada istriku. Dia pun menangis. Kami akhirnya memasak makanan dan mendatangi rumah janda itu.
“Ini masakan untukmu,” kata kami.
Uang tabungan untuk biaya menunaikan ibadah haji sebesar 350 dirham pun saya berikan kepada mereka.
”Pakailah uang ini untukmu sekeluarga. Gunakan untuk modal usaha agar engkau tidak kelaparan lagi,” kata kami lagi.
Ya Allah Yang Mahakaya, di sinilah hajiku, di sinilah Makkahku.
Mendengar cerita tersebut Abdullah bin Mubarak tak sanggup menahan airmatanya. (*)