MESKI sudah terhubung melalui media sosial facebook lebih dari sepuluh tahun, saya tidak pernah berkomunikasi langsung dengan H Basril Djabar, tokoh pers dan pebisnis Indonesia dari Sumatera Barat (Sumbar). Sesekali saya mengomentari postingan-postingan pria kelahiran Rabu 21 April 1943 – 16 Rabi’ul Akhir 1362 ini, tetapi nyaris tidak mendapat tanggapan – apalagi balasan. Sebaliknya, beliau tidak pernah mengomentari postingan-postingan saya.
Namun, menjelang tengah malam, Selasa 2 Februari 2021, Da Bas – begitu kami menyapa beliau – mengomentari postingan saya: Uda tahu mah, Add Zakirman, tetapi tidak dapat uda jelaskan di sini. Japri yaa.
Saya pun langsung menyapanya via messenger: Assalamu’alaikum, Da. Nomor HP/WA saya 0823845566xxx. Tak berselang lama, pukul 23.13, masuk panggilan dari sebuah nomor, 081166xxxx. Mendengar suaranya, saya langsung menduga dan menyapa, “Yo, Da Bas.” Kami pun terlibat pembicaraan selama 23 menit + 21 detik.
Basril Djabar merupakan nama yang tidak asing bagi publik Indonesia, khususnya Sumatera Bagian Tengah. Ia sudah memulai karier sebagai wartawan dan bergabung dengan Surat Kabar Harian Singgalang yang berdiri pada hari Rabu 18 Desember 1968 yang bertepatan dengan 28 Ramadhan 1388 Hijriyah. Hingga kini, setelah melewati 54 tahun.
Secara pribadi, saya sebenarnya tidak begitu mengenal Da Bas. Bahkan bertemu pun mungkin hanya pernah dua kali, tahun 1987 dan tahun 1998.
Pertemuan pertama di ruangan kerja beliau. Waktu itu, saya menginisiasi pertemuan penulis Koran Masuk Sekolah (KMS) Singgalang yang difasilitasi Gusfen Khairul – Koordinator KMS. Dalam pertemuan di Rattam Room Lantai III Gedung Harian Singgalang, Da Pen – sapaan kami kepada Gusfen – menginformasikan bahwa Da Bas menunggu kami di ruangan kerjanya, lantai II.
Sedangkan pertemuan kedua di ruangan ajudan Wakil Gubernur Sumbar Zainal Bakar. Hanya bertemu dan berkomunikasi sekadar tegur-sapa.
Keterkaitan saya dengan Da Bas hanyalah karena saya pernah menulis (jadi penulis) pada KMS Singgalang mulai edisi minggu kedua Agustus 1985 (saya lupa nomor edisinya). Kemudian, ketika mulai aktif di facebook, saya ajukan permintaan pertemanan dan dikonfirmasi oleh Da Bas.
Maka, komunikasi via telepon Selasa menjelang tengah malam itu merupakan hal yang sangat sesuatu bagi saya. Setelah saling bertanya kabar, Da Bas menjelaskan maksud komentarnya di postingan saya. Selanjutnya komunikasi mengalir. Dengan kesan penuh rasa syukur, Da Bas menceritakan perjuangannya untuk sembuh dari penyakit yang dideritanya sejak tahun 2018.
“Alhamdulillah… setelah setahun berobat, Uda pun pulih. Walau sudah memasuki usia 78 tahun, Uda masih tetap aktif dan nyaris setiap hari ngantor di Singgalang,” ujarnya.
Menanggapi pertanyaan saya, Da Bas menceritakan upayanya mengaderkan penulis dan wartawan. Harian Singgalang menerbitkan suplemen KMS sebagai bagian Surat Kabar Harian Singgalang setiap Selasa mulai Agustus 1984. Mula-mula berupa dua halaman khusus, kemudian menjadi tabloid 16 halaman.
“Alhamdulillah…, Singgalang merupakan surat kabar harian pertama di Indonesia yang menerbitkan suplemen atau halaman khusus pendidikan dengan memberi kesempatan kepada para pelajar menjadi penulis untuk mengisi rubrik-rubrik seperti laporan / berita, opini / artikel, cerpen, puisi, karikatur dan vignet. Kemudian baru diikuti oleh surat kabar-surat kabar lain,” kata Da Bas.
Beberapa tahun kemudian suplemen KMS berganti nama jadi SMS (Singgalang Masuk Sekolah).
Saya termasuk generasi tahun pertama yang bergabung jadi kerabat KMS. Ketika tulisan pertama yang saya kirim dan tiga hari kemudian langsung dimuat atau menghiasi halaman KMS, saya baru saja naik ke Kelas III SMP Negeri Pakandangan, Kabupaten Padang Pariaman. Hingga tamat SMA dan kuliah, saya tetap aktif menulis untuk KMS.
Menurut Da Bas, KMS telah melahirkan ratusan – mungkin ribuan – penulis dan wartawan. Hal itu merupakan obsesinya ketika menerbitkan Singgalang pada usia 25 tahun. Menuliskan pengalaman dan pemikiran merupakan kegiatan kreatif yang bermanfaat bagi banyak pembaca.
“Dunia dan peradaban boleh saja berkembang, teknologi boleh saja melesat canggih tak terbendung, akan tetapi kegiatan menuliskan pemikiran dan pengalaman masih akan tetap dilakukan seseorang secara manual, huruf demi huruf, kata demi kata,” ujarnya lagi.
Da Bas benar! Hingga kini, bahkan sampai kapanpun, tidak ada teknologi yang mampu menyadap pemikiran atau pengalaman seseorang yang kemudian mengubahnya ke dalam bentuk untaian tulisan. Dengan kata lain, seseorang harus menuliskan pemikiran atau pengalamannya huruf demi huruf atau kata demi kata agar dibaca orang lain secara kasat mata.
Kemampuan menulis, lanjut Da Bas, bukan hanya wilayah teritorial yang mutlak dimiliki oleh wartawan atau pengarang, melainkan oleh semua orang dengan profesi apapun jika menginginkan orang lain membaca apa yang dia pikirkan atau alami. Sebab, jika dengan menuturkan pemikiran atau pengalaman secara lisan akan terbentur oleh keterbatasan ruang dan waktu.
Mengapa semua profesi keilmuan dan aktivis kehidupan perlu memiliki atau menguasai kemampuan menuliskan pemikiran dan pengalaman? Sebab, kehidupan merupakan peradaban yang berkesinambungan antar orang dan antar generasi. Hal itu akan terangkai dalam khazanah pengetahuan yang tercatat dan dapat dibaca – walau ada media lain yang dapat didengar.
“Buku-buku fisika, kimia, matematika atau biologi misalnya tidak akan pernah ada jika ahli-ahli atau ilmuwan di bidang-bidang terkait tidak memiliki kemampuan menuliskan pemikiran atau pengalaman mereka,” ulas Da Bas menjelang saya mohon pamit mengingat sudah mendekati tengah malam.
Lubuak Minturun, 3 Februari 2021 menjelang maghrib