Catatan Zulnaidi SH
(Praktisi Pemilu)
BEBERAPA hari terakhir perhatian publik seperti tersedot oleh narasi penundaan pemilu 2024 yang dilontarkan beberapa petinggi partai politik (parpol) yang entah dari mana embrio argumen konstitusionalnya berasal. Polemik baru ini muncul hanya berselang beberapa hari setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan dan menyosialisasikan tanggal pemungutan suara pemilu tahun 2024, sesuai Surat Keputusan (SK) Nomor 21/2022 tanggal 31 Januari 2022, yakni sebagai tindak lanjut dari putusan politik nasional pasca Rapat Dengar Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (RDP DPR RI) tanggal 24 Januari 2022 dengan penyelenggara pemilu dan pihak terkait yang menyepakati pemungutan suara tanggal 14 Februari 2024.
Dalam perspektif konstitusi, pemilu 2024 pada prinsipnya merupakan keniscayaan yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang hampir saja tidak ada pilihan alternatifnya, kecuali dua pilihan yang pasti berat: Pertama,melalui amandemen UUD 1945, terutama berkaitan dengan pasal tentang pemilu; atau pilihan tak biasa lain dalam perspektif yurisprudensi, yakni presiden mengeluarkan dekrit seperti yang pernah dilakukan Presiden RI masa lalu.
Ekses Pemilu 2019
Terlepas dari dialektika pemilu sesuai jadwal atau ditunda, ada tema yang lebih substanstif yang perlu kita pikirkan bersama, terutama tentang keberlangsungan demokrasi di Indonesia dan kaitannya dengan peluang rekonstruksi demokrasi melalui pemilu 2024. Tema ini sangatlah urgen, terutama pasca pemilu 2019 yang menyisakan ekses berupa polarisasi politik yang berubah bentuk jadi keterbelahan sosial; penurunan kepercayaan terhadap demokrasi; dan tantangan disrupsi milenial di era media sosial dewasa ini.
Dua di antara tiga hal di atas pernah disinggung oleh Kaka Suminta (Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu/KIPP) dalam forum kuliah umum dengan tema Tantangan Demokrasi Indonesia di Tengah Pandemi Covid-19 yang dilaksanakan oleh Prodi Ilmu Pemerintahan UMY (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta? - red), 15 Mei 2020. Dalam kesempatan yang berbeda di tahun yang sama, Analis politik Exposit Strategic – Arif Susanto (kompas.com – 21/05/2020) mensinyalir Indonesia mengalami kemerosotan demokrasi yang ia tunjukkan melalui 6 indikator, 3 di antaranya yang koherens dengan tulisan ini yakni: meningkatnya ancaman kebebasan berpendapat dan independensi pers; regresi kebebasan berorganisasi; macetnya pembangunan regenerasi kesadaran demokrasi.
Pemilu tidaklah dimaksudkan untuk melahirkan kekuasaan dan kepemimpinan yang membawa masyarakat kepada konflik, pesimisme dan kemunduran demokrasi. Sebaliknya, baik secara implisit maupun eksplisit, konstitusi memberikan panduan yang tegas dan lugas tentang bagaimana kekuasaan - kepemimpinan itu terbentuk dan dijalankan serta memberikan panduan jelas agar kedaulatan rakyat sebagai sumber tertinggi dari kekuasaan dapat termanifestasi melalui pemilu dan menghasilkan kekuasaan dan pemerintahan yang mengabdi kepada rakyat serta tunduk kepada cita-cita Proklamasi dan Pembukaan UUD 1945.
Pemilu sebagai Sarana Koreksi
UUD 1945 secara lugas menyebutkan bahwa kekuasaan pemerintahan dijalankan menurut UUD, dalam mana kekuasaan pemerintahan itu sendiri adalah hasil dari pemilu yang dilaksanakan secara berkala. Pilihan bahwa pemilu dilaksanakan sekali lima tahun pada dasarnya memberikan kita pelajaran bahwa kekuasaan musti dibatasi waktunya dan kekuasaan bisa dikoreksi secara berkala oleh rakyat. Keberkalaan pemilu inilah sarana koreksi yang paling konstitusional dan potensial untuk menghentikan kediktatoran dan pengkhianatan daulat rakyat, jika terjadi.
Dalam konteks pemilu 2019, kajian normatif di atas jika dikomparasi dengan apa yang disampaikan Kaka Suminta dan Arif Susanto tentu membuat kita harus mengelus dada karena ternyata tidak selalu pemilu bisa memberikan hasil sesuai dengan cita-cita awal pemilu itu sendiri dan terbukti dapat menimbulkan ekses yang kadang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Apalagi ekses negatif yang pasti kontra-produktif dengan tantangan perubahan global yang bersifat disruptif dan cita-cita mewujudkan Indonesia emas 2045.
Pilihan untuk menerapkan demokrasi di negara ini dipercaya menjadi prasyarat eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jika ini benar maka pemilu sudah seharusnya benar-benar dijaga secara bersama-sama, dengan satu keyakinan progesif bahwa ketika pemilu tidak lagi bisa dipercaya menghasilkan kekuasaan pemerintahan yang sejalan dengan tujuan bernegara dan bermasyarakat atau bertentangan dengan tujuan demokrasi, maka pada saat itu sesungguhnya negara ini sedang berada di pinggir jurang kehancuran.
Bagaimana Pemilu Dapat Merekonstruksi Demokrasi?
Sebagaimana kita singgung sebelumnya, pemilu secara praktis mempunyai beberapa fungsi, di antaranya berupa fungsi koreksi dan fungsi konsolidasi. Fungsi koreksi bisa kita pahami dengan cara bahwa pengaturan pemilu berkala sekali lima tahun dimaksudkan agar kekuasaan tidak terkonsolidasi pada satu orang atau satu kelompok kepentingan dalam jangka waktu tak terbatas, kekuasaan musti bisa dikoreksi secara masif oleh rakyat melalui pemilu; sedangkan fungsi konsolidasi bisa bekerja efektif dengan cara pendekatan evaluatif terhadap mandat konstitusional yang telah diberikan kepada pemimpin dan wakil rakyat, lalu ditindaklanjuti dengan melakukan perbaikan terhadap regulasi dan tatacara pemilu yang makin menguatkan substansi demokrasi.
Dua fungsi di atas menjadi kunci agar pemilu dapat jadi media rekonstruksi demokrasi, meskipun kadangkala kita terjebak pada dilema bahwa penentu perubahan berada di tangan partai politik yang kadangkala tidak selalu searus dengan aspirasi publik (pelajari penyebab batalnya revisi UU Pemilu 17/2017). Namun ruang optimisme masih terbentang lebar, yakni pendekatan dari aspek publik melalui pendidikan politik dan penguatan masyarakat sipil & pers.
Berkaca dari pemilu 2019, hal mana dinamika politik bercorak polarisasi yang dipenuhi dengan diksi destruktif seperti SARA (suku, agama, ras, antar-golongan), hoaks, ujaran kebencian dan propaganda adu domba (lihat catatan Perludem dalam gatra.com - 10/01/2020), maka pemilu 2024 harus jadi momentum rekonstruktif melalui 3 pendekatan: Pertama, penguatan dan konsolidasi penyelengara pemilu; Kedua, pelibatan dan pemberdayaan masyarakat sipil & pers; Ketiga, pendidikan politik milenial & pemanfaatan media sosial (medsos).
Penguatan dan konsolidasi penyelenggara dimaksudkan untuk membangun kepercayaan publik terhadap penyelenggara sebagai satu di antara faktor penting terbangunnya kepercayaan publik terhadap hasil pemilu, hal mana akan berdampak lanjutan pada kepercayaan terhadap pemerintah dan wakil rakyat terpilih; Pelibatan dan pemberdayaan masyarakat sipil & pers adalah pilihan strategis setelah beberapa waktu lalu kita merasakan betapa minimnya peran kekuatan sipil yang dilibatkan dalam kontestasi pemilu, juga kuatnya kesan negatif bahwa pers saat pemilu lalu dianggap tidak netral, padahal diharap berperan lebih sebagai pilar demokrasi; Sedangkan pendidikan politik milenial & pemanfaatan medsos menjadi keniscayaan, hal mana dalam sudut pandang bonus demografi - generasi Z musti dikelola dengan baik sebagai kader bangsa masa depan.
Di sisi lain, pemanfaatan medsos sebagai wahana pendidikan politik juga bersifat mutlak, terutama untuk menangkal pesimisme terhadap pemilu dan demokrasi, serta menangkal hoaks dan propaganda adu domba.
Yang paling menantang dalam rangka rekonstruksi demokrasi pemilu 2024 ini adalah membangun kesadaran dan wawasan politik warga, terutama kaum milenial, karena dalam beberapa dekade terakhir bidang ini tidak terlalu tergarap akibat paradigma pemilu kita cenderung formal-prosedural (partisipasi), yakni dipandang sebagai rutinitas biasa. Demokrasi substantif tidak dapat dilepaskan dari pemilu yang berkualitas, sedangkan kualitas pemilu itu subyek pamungkasnya adalah pemilih yakni saat mereka berada di tempat pemungutan suara (TPS). Ketika setiap kepala pemilih berisi pemahaman komprehensif tentang substansi normatif-ideologis dan urgensi memilih pemimpin kaitannya dengan masa depan bangsa dan negara serta paham implikasi dari kekeliruan saat mencoblos, maka secara bertahap wajah politik kita akan semakin baik, bersih dari korupsi dan partai politik yang tidak komit dengan amanat konstitusi akan dipaksa tunduk pada kehendak pemilih. (*)
Baca juga Carrot & Stick Theory, Upaya Mengatasi Gurita Korupsi