Catatan Zulnaidi SH
TEORI ini lazim dipakai dalam lapangan psikologi untuk memotivasi. Carrot atau wortel diibaratkan umpan, upah atau kompensasi atas prestasi. Sedangkan stick atau tongkat adalah punishment atau hukuman jika tidak sesuai dengan yang seharusnya.
Pendekatan teori ini dapat dipakai untuk mengatasi gurita korupsi dalam lapangan politik dan kekuasaan pada sistem demokrasi melalui pemilihan umum (pemilu), terutama untuk tujuan meminimalisir korupsi yang notabene tak terpisahkan dari politik dan kekuasaan - The Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely.
Ada dua syarat teori bisa diaplikasikan melalui pemilu: Pertama, pemilih yang berdaulat, cerdas secara politik dan tidak bisa disuap; Kedua, sistem pemilu-nya berintegritas dan transparan, yakni asas jujur dan adil terlaksana dengan baik.
Bagaimana sistem ini bekerja melawan korupsi?
Dalam sistem demokrasi, pemilik kedaulatan adalah rakyat dan melalui pemilu mereka memberikan kekuasaan kepada orang-orang yang ditawarkan oleh partai politik, sekaligus mampu menghentikan mandat yang diberikan tersebut. Ketika pemilih memilih partai dan kader partai tertentu untuk berkuasa maka pada saat itu rakyat bagaikan memberi carrot kepada mereka - rakyat memberikan umpan sekaligus harapan sebagai kompensasi untuk dipilih lagi jika amanah.
Selanjutnya, pemilih bisa menggunakan stick-nya untuk memukul dan menghukum parpol dan kader parpol yang tidak amanah/korup selama rentang kekuasaan yang dipegangnya, yakni dengan cara tidak lagi memilih serta mengisolasi parpol tersebut.
Jika teori ini dapat dijalankan dengan efektif maka proses pendekatan kuratif dalam penanganan korupsi akan drastis berkurang, sekaligus akan terjadi pelembagaan politik kekuasaan yang makin matang dan efisien.
Paska reformasi, mewujudkan pemilih berdaulat dan berani menggunakan stick-nya untuk menghukum, sepertinya akan melalui jalan panjang untuk bisa terwujud. Godaan politik uang dan sentimen primordialistik mungkn akan terus bersilantas angan. Entahlah!!!