Catatan Rijal Islami Ch
RABU 9 Februari 2022 - dua hari lalu, ratusan bahkan mungkin ribuan wartawan dari seluruh Indonesia berkumpul di Kota Kendari – Sulawesi Tenggara - untuk memperingati Hari Pers Nasional. Namun, tidak demikian dengan Zakirman Tanjung – seorang teman yang saya kenal sebagai wartawan yang memiliki karakter dan teguh memegang prinsip hidupnya.
Sewaktu saya telepon, Zakirman mengaku sedang berbaring demam di rumah isteri / milik mertuanya di Lubuk Minturun, Kota Padang, bahkan dengan kondisi tidak memiliki uang untuk pembeli bahan makanan. Miris saya mendengarnya.
Terlahir cacat secara fisik, 29 Juni 1969, nyaris sepanjang hidupnya Zakirman bergulat dengan kesusahan dan ketiadaan. Usia 3 tahun, 1972, ia sudah ditinggal ayah yang pergi merantau ke Jambi. Hidupnya bersama ibu selanjutnya sangat sulit > berjuang mencari ayah, bertemu ayah di Palembang, pergi ke Jakarta. Kemudian ayah pergi ke Lampung > meninggalkan Zakirman dan ibunya di Jakarta.
Saya mengenal Bung Zakirman sekitar tahun 1988 di Redaksi Surat Kabar Harian (SKH) Haluan – Jalan Damar, Kota Padang. Sejak beberapa tahun lalu, kami terhubung melalui medsos dan telepon. Ia mengaku mulai jadi penulis lepas untuk surat kabar dan majalah semenjak Agustus 1985, ketika baru naik kelas III SMP. Sejak Oktober 1992 ia aktif sebagai wartawan pada Surat Kabar Mingguan (SKM) Canang terbitan Kota Padang, lalu menyatakan mundur, 11 Desember 2000 dan ia bergabung dengan SKM Padang Pos dengan Pemimpin Umum Drs H Dian Wijaya dan Pemimpin Redaksi Dr Ir H Basril Basyar MM.
Selanjutnya, mulai tahun 2001, ia bergabung dengan SKH Sumbar Mandiri – juga terbitan Kota Padang. Hanya sekitar 8 bulan, pertengahan Desember 2001 SKH itu tak lagi terbit. Sempat menganggur selama sebulan, Januari 2002 ia diterima bergabung oleh Pemimpin Redaksi Tabloid Berita Mingguan (TBM) Zaman yang juga terbitan Kota Padang. Di sini ia bertahan sebagai wartawan dan redaktur selama 8 tahun. Sejak Februari 2010 ia menonaktifkan diri.
“Mungkin sudah jadi suratan, saya terlahir dan beraktivitas sebagai penulis & wartawan pada daerah dan era tanpa gaji atau honor yang layak. Tahun 1985 tulisan-tulisan saya hanya diberi honor Rp200 s/d Rp500 untuk setiap judul yang diterbitkan,” katanya suatu ketika.
Mulai Agustus 1986 ia mengirim aneka ragam tulisan ke surat kabar lain dengan menggunakan nama samaran “Zastra Certa”. Di sini honornya agak lebih baik, berkisar Rp1.000 (puisi), Rp3.000 (artikel) dan Rp5.000 (cerpen). “Namun, total honor yang saya peroleh tiap bulan tidak juga memadai untuk membiayai kuliah dan hidupku,” cetusnya pula.
"Oleh karena itu, awal semester ganjil Agustus 1991 saya mengajukan cuti kuliah pada Fakultas Sastra Universitas Andalas (Unand). Karena merasa tidak mungkin melanjutkan kuliah, Februari 1992 saya memecat Prof Dr Ir Jurnalis Kamil MSc dari jabatan rektor Unand, menonaktifkan Prof Dr Aziz Saleh MA dari jabatan dekan Fakultas Sastra dan membebas-tugaskan dosen-dosen dengan cara tidak lagi menjadi mahasiswa," ujar Zakirman Tanjung dengan gaya bahasanya yang khas.
Setelah totalitas menjadi wartawan pun honor berita yang ia terima juga tak cukup untuk membiayai – bahkan kebutuhan paling minimal sekalipun. Beruntung pada waktu itu di daerah tempat ia beraktivitas ada budaya pemberian amplop (berisi uang tentu saja) dari narasumber kepada wartawan dengan jumlah variatif.
"Alhamdulillah... saya menerima pemberian tersebut selagi tanpa tekanan yang bersifat mengintervensi. Sebaliknya, jika tidak diberi, saya takkan meminta – apalagi sampai nekat memeras. Itulah sebabnya, dalam pergaulan dengan para pejabat pemerintah dan / atau pengusaha, saya enjoy-enjoy saja alias tanpa beban, karena saya tidak berutang moral kepada mereka,” ulasnya pada suatu kesempatan.
Hanya saja, semenjak 5 tahun terakhir, Bung Zakirman yang memiliki seorang isteri dan empat orang putra-putri mengaku penghidupannya semakin sempit dan sulit. Penyebabnya karena narasumber semakin langka yang memberi “amplop”. Kondisi itu sempat tergantikan oleh pola kerjasama publikasi dengan Bagian Humas Pemkab, namun jumlah yang diterima tetap saja tidak memadai. Bahkan, sejak Juli 2018 kerjasama dengan nilai Rp1 juta / bulan itu terhenti karena keterbatasan anggaran.
Kini, Zakirman Tanjung menjadi wartawan yang terlupakan dan bergulat dengan berbagai kesulitan. Selain harus menafkahi istri (Gusmiati Chaniago) dan empat anak (putri sulung mahasiswi Semester VI Polbangtan - Bogor, putri kedua siswi Kelas XI SMK Pertanian, anak ketiga/putra siswa Kelas VII SMP dan anak keempat/putra berusia 6 tahun., ia juga menanggung ibu mertua (Suarni Chaniago) dan dua adik ipar yang menderita lumpuh.
Seorang adik iparnya, Budiman Chaniago (45 tahun - duda), wafat hari Minggu 30 Januari 2022 lalu setelah berjuang melawan penyakit penyempitan pembuluh jantung, sesak napas dan lumpuh selama hampir 6 bulan. Budiman hanya dirawat kakaknya, Gusmiati, di rumah karena tak ada biaya untuk berobat. Begitupun dengan Bu Suarni dan Khaijah Chaniago (47 tahun), juga dirawat di rumah di Kawasan Sungai Lareh - Lubuk Minturun, Kota Padang.
Kalau ada Sanak yang bersimpati kepada Zakirman Tanjung, silahkan hubungi melalui telepon 082384556699. (*)
*) Rijal ICh, wartawan dan devisi iklan Surat Kabar Harian Haluan - Padang tahun 1980-an - 2000