Foto : Pohon kelapa sawit tumbuh subur di belakang plang imbauan dari Dinas Kehutanan Sumatera Barat. (ist) |
Painan - Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengatur perubahan peraturan di beragam sektor untuk memperbaiki iklim investasi serta mewujudkan kepastian hukum sepertinya "tumpul" ketika berhadapan dengan praktik pengalihfungsian kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat.
Hal itu karena kasus pengalihfungsian HPK yang secara umum disebut kawasan hutan telah diatur oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yakni pada pasal 110A dan pasal 110B.
Sehingga ketentuan dari kegiatan dimaksud, terutama yang menyangkut sanksi pidananya sebagaimana diatur pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan otomatis dihapus.
Sanksi bagi para pelanggar kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal dari Denda Administrasi di Bidang Kehutanan.
Pada ayat 3 di PP itu, disebutkan, "setiap orang yang melakukan kegiatan usaha pertambangan, perkebunan, dan/atau kegiatan lain yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja, yang tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan, dikenai Sanksi Administratif."
Berikutnya, disebutkan, sanksi administratif dimaksud ayat 2 dan ayat 3 diatur dalam ayat 4, yakni berupa: Penghentian Sementara Kegiatan Usaha; Denda Administratif;
Pencabutan Perizinan Berusaha; dan/atau
Paksaan pemerintah.
Sementara itu, berdasarkan hasil investigasi lapangan dalam sepekan terakhir di kawasan HPK yang berada diantara Kecamatan Lunang, Basa Ampek Balai Tapan, dan Inderapura, Pesisir Selatan kegiatan panen kelapa sawit, pembersihan areal menggunakan alat berat, dan kegiatan perkebunan lainnya masih berlangsung dengan tertib.
Sehingga jika disandingkan antara peraturan dengan temuan dilapangan, maka bisa disimpulkan bahwa UU Cipta Kerja memang benar-benar "tumpul" Di Pesisir Selatan.
Kegiatan pengalihfungsian kawasan ini disebut-sebut telah dilangsungkan sejak tahun 2000-an, dan terus berlangsung secara terus menerus hingga sekarang.
"Kami memperkirakan luas HPK yang mencapai 17.000 hektare telah dialihfungsikan secara keseluhan, lihat saja mana lagi terlihat adanya hutan, semuanya berubah menjadi hamparan kebun kelapa sawit," kata salah seorang sumber di lokasi.
Secara umum pengalihfungsian lahan di sini tidak ada yang mengantongi izin, karena sudah terlanjur dikelola, maka siapa yang memiliki modal, dan jaringan juga bisa ikut mengola, bahkan oknum pejabat dan pengusaha juga banyak terlibat karena mereka punya modal yang kuat, tambahnya.
Ketua LSM Peduli Transparansi Reformasi (PETA), Didi Someldi Putra, menilai terdapat kejanggalan terhadap penegakan hukum dalam kasus pengalihfungsian kawasan HPK di Pesisir Selatan.
Menurutnya, sebelum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja instansi pemerintah terkait terutama Polri, sebenarnya tidak memerlukan energi yang besar untuk menjerat para pelaku karena sanksi pidananya telah diatur melalui Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, seterusnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
"Jika benar pengalihfungsian lahan telah dilangsungkan sejak 2000-an, pertanyaannya dari tahun tersebut sampai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja disahkan dimana posisi aparat negara, apakah cuti atau bagaimana," kata dia.
Apalagi setelah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja disahkan, ternyata sepekan terakhir juga masih ada kegiatan di dalam kawasan apalagi menggunakan alat berat harusnya penegakan hukum harus dilakukan, tambahnya.
"Menurut kami perambahan atau kegiatan usaha yang terbangun di dalam kawasan hutan tanpa izin bidang kehutanan setelah berlakunya UU Cipta Kerja, maka sanksi yang dikenakan bukan lagi sanksi administratif. Melainkan hukum pidana, yang merupakan upaya utama dalam penegakan hukum, dan ini mutlak dilakukan," ungkapnya lagi. (dd)