Catatan Zakirman Tanjung
PERNAHKAH engkau menerawang ke masa lalumu? Atau, hidupmu mengalir bagai air tanpa menyisakan kenangan? Sejak usia berapa engkau mulai mengingat memori hidupmu?
Alhamdulillah... aku telah mulai ingat memori hidupku sejak berusia 3 tahun. Sejak usia itu, tahun 1972, sejarah hidupku hingga kini terbentang dengan terang dalam ruang memoriku. Sangat detil atau rinci malah. Aku bisa menceritakannya dengan jelas jika engkau mau dan betah mendengarkanku bercerita.
Selama 50 tahun bentangan sejarah hidupku tersusun dengan rapi dalam ingatanku. Entah kapan aku bisa dan punya kesempatan untuk menuliskannya. Mungkin, jika kutuliskan lalu kucetak dalam bentuk buku, bisa mencapai seribu halaman, bahkan lebih, bisa 10.000 halaman.
**
Senin 18 Juli merupakan hari pertama tahun ajaran 1983/1984 tetapi aku masih di Krui. Aku tak ingat apa alasan Amak (panggilanku kepada isteri ayah) belum membolehkanku pulang ke kampung. Amak baru mengantarkanku ke Tanjung Karang, Jumat 22 Juli malam dan sampai esok siangnya. Karena tiket keberangkatanku ke Padang dengan Bus Lampung Jaya hari Minggu jam 11, Amak mencari penginapan. Setelah menaruh barang bawaan di kamar, Amak mengajakku ke luar lagi, pergi berbelanja, bahkan malamnya kami menonton film di bioskop di kawasan Bambu Kuning.
Sesampai di kampung hari Selasa siang, aku baru ke sekolah, Rabu 27 Juli siang. Kampusku, SMP Negeri Pakandangan, berlokasi sekitar 2 km arah selatan SD 2 Lubuk Pandan atau sekitar 4 kilometer dari rumahku. Jarak sejauh itu mesti kutempuh dengan berjalan kaki, kadang melewati SD 2 Lubuk Pandan di Desa Kampung Guci atau lurus arah selatan melalui Desa Kampung Panyalai. Walau aku sudah bisa mengendarai sepeda sejak kelas VI SD, ibu tidak sanggup membelikanku, walau sepeda bekas.
Hari pertama ke sekolah, aku agak telat pula. Lokalku, Kelas I/C, berlokasi nyaris di ujung pekarangan, di kaki Bukit Lagerang. Kami masuk siang karena paginya lokal itu ditempati Kelas III/C. Tahun ajaran 1983/1984 itu SMPN Pakandangan terdiri dari tujuh kelas III, delapan kelas II dan sepuluh kelas I. Sedangkan ruang belajar yang tersedia hanya 15 lokal. Akibatnya, seluruh siswa kelas I masuk jam 13.00 dan pulang jam 17.00.
Masuk kelas, aku disambut Bu Jursiatul Awaliyah yang mengajarkan Bahasa Inggris. Ia menyapa dan menanyaiku dengan bahasa yang tak kumengerti. Aku hanya terbengong-bengong, seisi kelas pun meledak, ketawa. Aku makin grogi, kedua lututku gemetaran. Di Kelas I/C itu hanya tiga orang yang kukenal, yang berasal dari SD 2 Lubuk Pandan. Rasa rendah diriku kian terpuruk.
Bu Jur menyuruhku duduk. Kuedarkan pandangan ke seluruh ruang kelas, cuma ada satu kursi dan meja kosong, terletak paling belakang pada blok ketiga dari pintu, itu pun di sebelah perempuan. Tiada pilihan lain, aku melangkah ke belakang dan duduk diam di bangku itu.
Jam pelajaran ketiga masuk guru cantik, mirip aktris Meriam Bellina waktu masih gadis. Belakangan kutahu namanya Bu Arnarita, beliau mengajar matematika. Baru masuk, ia langsung menuliskan 10 soal di papan tulis untuk kami jawab. Soal-soal itu ternyata ulangan harian atas pelajaran yang dia terangkan minggu lalu. Waktu itu tak ada masa pengenalan lingkungan sekolah alias langsung belajar.
Lantaran soal-soal itu sudah kupahami waktu kelas VI SD dulu, aku bisa menjawab dengan cepat, bahkan siswa pertama yang menyerahkan buku jawaban ke meja guru. Pandangan teman-teman terhadapku langsung berubah. Ketika aku kembali duduk, teman di sebelahku dengan malu-malu mengajak kenalan. Namanya Erni Marlina. Jam istirahat makin banyak teman yang mengajak kenalan. Di antaranya ada Asnimaida, Nurhayati, Asmawati, Sarman, Mulyadi, Hasan Basri, Advi Fuadi dan Eli Nurfa. Kelas I/C berpenduduk 40 siswa, termasuk diriku. Pada jam pelajaran kelima dan keenam, Bahasa Indonesia, gurunya – kata Erni Marlina – adalah walikelas kami, namanya Bu Asmawati.
Bu As tak hanya sangat cantik tetapi juga sangat lembut dan penuh perhatian, tak terkecuali kepadaku, siswa yang paling banyak masalah. Pernah suatu kali, Bu As menyuruhku menulis di papan tulis, ketika hendak kembali ke tempat duduk ternyata telapak sepatuku sebelah kiri copot. Seisi kelas bergaung laksana lebah buncah.
Alhamdulillah... semester pertama Kelas I/C aku meraih juara II, sedangkan juara pertama Sarman dan juara ketiga Asnimaida. Sedangkan semester kedua atau pada rapor kenaikan kelas, aku yang meraih juara pertama, tukar tempat dengan Sarman. Naik ke kelas II, kami dilebur menjadi Kelas II/A hingga II/J. Untuk mengetahui aku dapat lokal mana, pada hari pertama sekolah itu yang kulakukan adalah mempelototi lembaran pengumuman yang ditempelkan pegawai tata usaha di kaca jendela belakang labor fisika / biologi, khususnya pada nomor-nomor bawah lantaran awal namaku huruf Z.
Ketemu di lokal II/F, hal berikutnya yang kulakukan adalah menaikkan pandangan ke atas. Namun, mataku tertumbuk dan terpaku pada nama yang tertera di nomor 9, XX (karena kisah kami berlanjut hingga 30 tahun kemudian, namanya sengaja kutulis dengan inisial). Tak tahu kenapa pandanganku terpaku pada nama itu hingga tak peduli pada 38 nama lainnya yang juga siswa Kelas II/F, rasanya ada hal yang tak bisa kujelaskan.
Ketika berkumpul di lokal, aku merasa tak sabar menunggu Walikelas Bu Westri masuk dan meng-absen kami satu persatu lantaran aku ingin tahu yang mana DP itu. Dan, ketika Bu Westri menyebut nama itu, secepat kilat mataku bergerak mencari siapa yang tunjuk tangan. Ternyata siswi tercantik di lokal kami! Berkulit kuning mulus dengan rambut lurus panjang warna kepirangan hingga melewati pinggang, belum lagi wajahnya yang teduh. Hatiku langsung serasa tersengat.
XX memang bukan gadis pertama yang nyangkut di hatiku. Sebab, waktuKelas V SD saja aku sudah jatuh cinta kepada teman sekelas, Atmi Suryati namanya – kisah dengannya pun berlanjut hingga tahun 2000 dan cukup heroik. Namun, kehadiran DP di lokal II F memacu semangat belajarku dengan kecepatan tinggi. Rasanya aku tak ingin pulang ke rumah alias ingin berada di lokal selama 24 jam, 7 hari seminggu.
Sialnya, XX seperti tak suka sering-sering kutatap dan kupandang. Oya, tempat duduk kami memang agak berjauhan. Selain itu, Kelas II/F merupakan lokal paling sial karena dapat jatah labor sebagai ruang belajar. Jika ada kelas II lokal lain atau kelas III yang hendak menggunakan ruang dan peralatan labor untuk praktek mata pelajaran fisika atau biologi, kami harus pindah ke lokal mereka. Makanya, aku menyebut Kelas II/F sebagai lokal nomaden.
DIPECAT DARI JABATAN KETUA KELAS
Masa-masa remaja di SMP kulalui dengan keprihatinan. Dengan uang jajan Rp100 dan jalan kaki +4 km atau + 8 km pergi dan pulang, aku berusaha belajar dengan giat dan rajin. Alhamdulillah, prediket juara kelas pun tergenggam di tanganku.
Kecuali pada kelas I, karena masuk siang dan pulang menjelang maghrib, aku tetap harus membantu orangtua menggembalakan kerbau dan mencangkul sawah yang hendak ditanami. Hari Minggu dan libur lainnya aku harus full kerja di sawah.
Sewaktu kelas I SMP, tiap pulang sekolah aku harus menumbuk beras yang sudah direndam dan ditiriskan untuk dijadikan tepung. Banyaknya berkisar tiga liter dengan upah Rp75 / liter. Kegiatan menumbuk itu kulakukan di lesung milik tetangga yang berlokasi terpisah di belakang rumah. Untuk penerangan, aku memasang lampu teplok atau lampu semprong.
Lesung itu dibuat sedemikian rupa sehingga alu-nya bisa kugerakkan dengan kaki. Alu terpasang pada sebuah pangkal kayu cukup besar sepanjang tiga meter dengan sumbu di tengahnya. Dengan bantalan kayu lain, ujungnya kuinjak secara cepat dan berulang.
Setelah beras halus dan menepung, kayu yang terpasang alu kutopang dengan kayu lain, aku pun mengayak dengan menggunakan baskom besar untuk menampung tepung. Sisanya kucurahkan ke baskom lain, Begitu kulakukan berulang-ulang hingga beras tumbukan di dalam lesung habis kukeruk dengan tangan dan kuayak. Selanjutnya, sisa ayakan kucurahkan lagi ke lesung, kutumbuk lagi, lagi dan lagi hingga sisa ayakan tinggal setengah genggam.
Uang upah menumbuk beras itu dikonversi ibu jadi uang jajanku ke sekolah. Dengan kata lain, ibu takkan memberiku uang jajan lagi. Meski demikian, aku tetap bisa enjoy tanpa pernah mengeluh.
Ada dua peristiwa penting yang kualami selama berada di Kelas II/F SMPN Pakandangan tahun ajaran 1984/1985. Pertama, mendapat hukuman dengan tuduhan melecehkan Kepala Sekolah, Pak Drs Syaifullah. Peristiwa bermula dari adanya kegiatan pemeriksaan untuk mengetahui golongan darah.
Suatu hari kami mendapat pemberitahuan dari guru yang mengajar, bahwa setiap siswa harus mengikuti pemeriksaan untuk mengetahui golongan darah, tempatnya di ruangan lain ~ saat itu Kelas II/F sedang diajar Bu Asnidar yang mengajarkan matematika. Ketika kutanya, Bu Asnidar menyatakan pemeriksaan itu gratis. Aku pun mengikuti pemeriksaan dan saat itulah kuketahui golongan darahku B.
Beberapa minggu kemudian muncul surat edaran (SE) yang ditandatangani kepala sekolah, isinya berupa pemberitahuan bahwa pemeriksaan golongan darah yang telah kami ikuti dikenai biaya ~ kalau aku tak salah ingat ~ Rp1.200/siswa. Biaya tersebut harus kami cicil selama 4 bulan dengan cara ditambahkan ke uang SPP yang Rp1.500/bulan.
Aku tak ingat siapa yang membagikan SE itu ke lokal kami, entah guru yang sedang mengajar atau petugas tata usaha. Yang pasti, seisi kelas langsung heboh dengan suara bergemuruh. Emosiku pun langsung terpancing. Setelah membaca, aku spontan merobek-robek SE itu.
Pada saat itu Pak Syaifullah kebetulan pula berjalan di koridor depan ruang kelas kami dan mungkin melihat aksiku merobek-robek itu. Beliau melongok di pintu dan bertanya, “Siapa itu yang merobek-robek kertas?”
Kami semua terdiam. Mendengar suara Pak Kepsek, aku cepat-cepat menyembunyikan kertas yang kurobek tadi ke laci meja. Namun, teman di sebelahku justru mengambil kertas tersebut dan menyerahkan ke Pak Kepsek. Beliau menatapku sekilas, lalu menyuruhku ikut ke kantor.
Setiba di kantor, Pak Syaiful memanggil Wakepsek ~ Pak Fauzi Thalib ~ dan menyerahkanku padanya untuk “diadili’. Aku ikut ke ruang kerjanya. Dalam tanya-jawab aku menjelaskan mengapa tersulut emosi dan merobek SE itu, yakni karena sebelumnya Bu Asnidar menjelaskan bahwa pemeriksaaan golongan darah gratis.
Pak Fauzi tidak mau menerrima penjelasanku dan tetap bersikeras kalau aku telah melakukan tindakan melecehkan Pak Kepsek karena merobek SE yang beliau tandatangani. Oleh karena itu, Pak Fauzi menjatuhkan hukuman kepadaku berupa membersihkan pekarangan belakang kantor majelis guru dan tata usaha dengan membawa cangkul dari rumah selama tiga hari setelah selesai belajar.
Spontan aku menolak hukuman itu dengan menyatakan tidak manusiawi. Sebab, fisikku cacat dan lemah, bagaimana mungkin aku bekerja mengayunkan cangkul untuk mempersihkan areal yang cukup luas dan lumayan semak?
Setelah setengah jam bersoal-jawab, Pak Fauzi menyerah. Ia pun menyerahkan perkaraku ke Pak Anwir Tuanku Mudo, guru agama yang ditugasi juga sebagai guru BK. Pak Anwir pun dapat kutaklukkan dengan jawaban-jawaban logis dan argumentatif. Namun, beliau membujukku agar menerima hukuman menyapu ruangan labor. Dia beralasan, untuk menghormati Pak Kepsek yang merupakan ‘orang dekat’ Kakanwil Depdikbud Provinsi Sumbar.
Iyalah, kuterima, menyapu labor mulai Senin hingga Rabu pagi. Teman-teman yang mengikuti ‘persidangan’ku segera menyiarkan hukuman yang kuterima dari mulut ke mulut. Selanjutnya, apa yang terjadi? Ternyata ruang labor hingga ke teras sudah bersih ketika aku datang beberapa menit menjelang lonceng masuk berbunyi. Ternyata, tiga konco-ku telah mendahului menyapu labor. Mereka adalah Antoni, Syahrial dan Zalkhairi.
Kenyataan itu kemudian dipermasalahkan Walikelas II/F, Bu Westry. Ia mremanggilku dengan marah. “Zakirman! Kamu yang kena hukum, mengapa teman-teman yang kamu suruh mengerjakannya?”
“Saya tidak pernah menyuruh, Buk. Mereka sendiri yang mendahului saya menyapu labor hingga bersih. Mungkin karena solidaritas, Buk,” jawab saya. Bu Westry pun diam.
Peristiwa kedua, Bu Westry memecatku dari jabatan ketua kelas secara terbuka dan secara tidak hormat. Penyebabnya karena Nu Westry sangat marah gara-gara aku tidak melaksanakan tanggungjawab.
Kejadiannya begini, untuk memenuhi himbauan kepsek agar setiap lokal membuat taman di halaman kelas masing-masing, kami sepakat merencanakan taman dengan menggunakan potongan-potongan bambu kecil sebagai pagar. Di dalamnya, akan kami tanami aneka jenis bunga.
Untuk pengadaan bambu kecil berdiameter 1,5 s/d 2 cm yang kami sebut sariak menjadi tugas laki-laki (siswa) mencari dan membawa ke sekolah. Setiap siswa harus membawa 10 batang sariak dengan panjang berkisar 3 s/d 4 meter. Sedangkan perempuan (siswi) bertugas membawa bibit atau tanaman bunga.
Pada hari yang disepakati ternyata tak seorang siswa pun yang membawa sariak, termasuk diriku. Sedangkan yang membawa bibit tanaman bunga hanya dua siswi. Padahal kami selokal terrdiri dari 19 siswa dan 21 siswi. Mengetahui hal itu, Bu Westry pun marah-marah. Ia memerintahkan kami mencari sariak dan bibit bunga saat itu juga dengan mengorbankan dua jam pelajaran biologi yang dia gurunya.
Aku otomatis bertugas mengkoordinir kelompok siswa. Sedangkan kelompok siswi dikoordinir Agustinar dan Rita Rozana. Kami, para siswa, segera menuju pinggiran sungai Batang Ulakan untuk mencari sariak dengan berbekal beberapa parang yang kami pinjam dari warga di sekitar sekolah.
Tak seperti yang kami perkirakan, ternyata kami tidak menemukan tumbuhan sariak di lereng semak-belukar pinggiran sungai. Aku pun menyerah. Entah siapa yang punya ide, kami pun duduk-duduk di atas pasir, lalu mengumpulkan uang untuk membeli dua bungkus rokok filter. Gagal mencari sariak, kami pun menikmati kepulan asap rokok.
Selanjutnya, menjelang akhir jam pelajaran biologi, kami kembali masuk kelas. Kepada Bu Westry kulaporkan jika kami tidak menemukan tumbuhan sariak di pinggir sungai. Mendengar laporanku, Bu Westry langsung marah.
“Zakirman, kamu bohong! Ibu dapat laporan jika kalian para siswa tidaklah mencari sariak, tetapi hanya duduk-duduk di pinggir sungai sembari merokok-rokok. Detik ini juga kamu Ibu pecat sebagai ketua kelas. Sekarang kita pilih ketua kelas yang baru,” kata Bu Westry dengan suara tinggi.
Aku tak berdaya dan tak berani membela diri. Toh, tuduhan Bu Westry memang benar. Aku hanya kesal pada siswi yang kuduga melaporkan kegiatan kami lepada Bu Westry. Siswi yang suka menjilat itu memang sudah lama tidak menyukaiku.
Pemilihan ketua kelas penggantiku langsung dilaksanakan. Muncul dua nama calon berdasarkan usulan terbuka. Selanjutnya kami diminta memilih Erijon atau Erwansyah dengan menuliskan pada secarik kertas. Lantaran masih kesal karena dipecat, aku menulis kedua nama itu hingga kembali menyulut kemarahan Bu Westry. Alhasil, Erwansyah meraih suara terbanyak.
Alhamdulillah..., meski dua kali berkasus, prediket juara kelas, 1/40, tetap tertera di raporku, baik pada semester tiga maupun semester empat. Begitu juga perpanjangan beasiswa dari Mendikbud RI sebesar Rp7.500/bulan tetap kuterima melalui BRI Pariaman.
Suatu hal yang masih melekat pada ingatanku adalah saat siswi tercantik Kelas II/F yang sangat kusukai (mungkin sangat kucinta) ~ XX ~ menyanyikan tembang di atas pentas perpisahan siswa kelas III. Hatiku bergetar mendengarnya, apalagi mendengar selentingan kalau XX akan pindah ke SMP di Kota Padang. Aku pun menunggu XX di tangga sisi kiri pentas.
Namun, usai menyanyi XX malah turun melalui tangga sisi kanan. Aku berusaha mengejar. Sayangnya, karena harus jalan memutar, aku kalah cepat. XX telah naik boncengan sepeda motor papanya, seorang bintara TNI. Aku terpaku kecewa.
Sebegitu berkesannya bagiku, tembang yang dinyanyikan XX masih kuingat dan hafal olehku hingga kini ....
Biarlah biar hatiku hancur berantakan
Asalkan dikau bahagia di dunia
Bukanlah bukan ku tak cinta padamu lagi
Nasib dirilah yang tiada mengizinkan
Hati ini susah mata ini basah
Bila mengenang dirimu, oh kekasih
Senyum dan tawa di wajahmu
Terhapus oleh derita
Aku tak ingin tak ingin terus begini
Bibir dan matamu yang sayu
Melukiskan derita itu
Biarlah biar kupergi dari sisihmu
Cinta taklah selamanya mesti bersatu
Biarlah nanti di surga kita bertemu
GAGAL MASUK SMA 3 PADANG
Naik ke kelas tiga SMPN Pakandangan, mulai Juli 1985, aku dapat lokal III/C, sekelas kembali dengan Erijon. Teman-teman lain yang masih kuingat di antaranya Adianoveri, Nasyiatul ... (Upik), Agusrida, Dian Mutia, Fetdawati, Yetri Gusni, Ayang Mageni, Lusiana Fitri, Rohana, Syafrianto, Mississipi dan Yuliana. Walikelas kami waktu itu Bu Afrida Yetti.
Walau prestasiku cukup bagus, pada semester V masih meraih juara kedua, kalah oleh Adianoveri, semangat belajarku di kelas III SMP itu sesungguhnya sudah dibawa pergi oleh XX yang pindah, konon ke SMPN xx Kota Padang. Jarak antara sekolahku dan sekolahnya hanya sekitar 27 km, tetapi bagiku waktu itu sangat jauh.
Namun, pada hari pertama evaluasi belajar tahap akhir nasional (ebtanas), Selasa 1 April 1986 pagi, Yetri Gusni menemuiku sembari menyerahkan sesuatu, “Dari XX di SMPN xx Padang,” katanya. Kuterima, ternyata sehelai isi buku tulis terlipat 16.
Setelah kubuka, ternyata berisi tulisan XX. Ada setengah halaman. Di antara yang masih kuingat, XX mengucapkan selamat menempuh ujian disertai doa semoga kami sama-sama lulus dengan nilai gemilang.
Beberapa ketika, anganku kembali menerawang ke XX. Ah, ternyata dia masih mengingatku! Kenangan tentang XX yang sungguh cantik ~ gadis tinggi semampai berkulit kuning mulus dengan rambut panjang melewati pinggang hitam kepirangan ~ menari-nari di ruang ingatanku.
Kenangan lain semasa Kelas III SMPN Pakandangan, kami melakukan studi-banding ke SMPN Talawi – Sawahlunto, Sabtu – Minggu 27 – 28 Desember 1985. Sampai Sabtu siang, bersama seorang teman aku main ke pekarangan belakang sekolah, ternyata ada Sungai Batang Ombilin dengan jembatan gantung sepanjang lebih 100 meter menuju Desa Kolok.
Dekat jembatan aku sempat berkenalan dengan seorang cewek cantik bertubuh bongsor dengan kulit kuning dan rambut ikal sebahu. Ketika jemari kami bergenggaman, cewek itu menyebut namanya Nita, lengkapnya Sulvianita, siswi kelas I/D SMPN Talawi. Kami langsung akrab. Nita menemaniku turun ke sungai, kemudian menyeberangi jembatan dan jalan-jalan sore hingga memasuki Desa Kolok.
Sabtu malam, pihak tuan rumah menyelenggarakan pentas seni. Aku berkesempatan membacakan puisi yang kuciptakan sendiri. Dari atas pentas sempat kulihat Nita memberikan aplaus tepuk-tangan. Minggu pagi, pamit dari SMPN Talawi, kami berziarah ke Makam Mr Muhammad Yamin, tokoh Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Sayangnya, aku tak sempat pamit pada Nita. Sebab, pagi itu aku tak melihatnya di sekolah. Namun, aku bertekad akan mengiriminya surat via pos. Selama lima bulan kemudian aku dan Nita saling berkirim dan berbalas surat, minimal sekali seminggu. Setiap surat yang kukirim pasti dibalas Nita, termasuk ketika dia berlibur ke tempat mama dan papanya di Perumahan Helvetia, Kota Medan.
Kenangan lain, awal aktivitasku sebagai penulis dan wartawan surat kabar pun bermula ketika aku bersekolah di SMPN ini. Tulisan pertama yang kukirim langsung dimuat Koran Masuk Sekolah (KMS), suptemen Harian Umum Singgalang – Kota Padang, Selasa kedua Agustus 1985. Di bawah judul tulisan tertera : Oleh Zakirman, Kelas III/C SMPN Pakandangan, Kabupaten Padang Pariaman.
Sejak saat itu, hampir setiap Selasa berbagai tulisanku menghiasi halaman KMS Singgalang. Sekali terbit bisa dua, tiga atau empat tulisan. Selain opini, terkadang cerpen, puisi, berita kegiatan sekolah atau bentuk tulisan lain. Bahkan, aku sudah berani mencari bahan berita ke sekolah lain, misalnya ke SMPN Sicincin.
Karena itu pulalah aku berkeinginan melanjutkan sekolah ke SMA Negeri di Kota Padang. Motivasiku tiada lain agar dekat redaksi tiga surat kabar harian yang terbit waktu itu, yakni Harian Singgalang, Haluan dan Semangat serta Mingguan Canang yang mulai terbit perdana Agustus 1986. Sembari sekolah, aku ingin mengembangkan kemampuan menulis.
(Catatan tentang kegiatan menulis ini telah kutulis sebelumnya dengan judul Sejarah Ringkas Kepenulisanku)
Hanya saja, Tuhan berkehendak lain. Nilai Ebtanas Murni (NEM)-ku ketika tamat SMP hanya 37,26 untuk enam bidangstudi atau dengan rata-rata 6,21. Bahkan untuk bidangstudi IPS hanya 3,47. Meski demikian, aku tetap memasukkan lamaran ke SMA 3 Padang di Gunung Pangilun. Namun, pada lembaran pengumuman, namaku tertera pada nomor 62 di bawah garis spidol merah.
Untunglah pada kesempatan yang sama aku pun memasukkan lamaran ke SMA Negeri Sicincin, rayon resmi bagi tamatan SMPN Pakandangan. Alhamdulillah... aku diterima. Terhitung mulai hari Senin 14 Juli 1986 aku resmi menjadi siswa Kelas I/1 SMA Sicincin yang berkampus di Desa Bari, sekitar 1 km jalan kaki dari Pasar Sicincin.
CATATAN DI ATAS BAGIAN DARI LIFE STORY: MENERAWANG KE MASA LALU