Petisi 181 (271) Juta Jiwa Lebih
// Zakirman Tanjung
izinkan saya menikmati kemerdekaan negeri ini, Pak!
saya hanya menghargai jasa pahlawan
kita sama-sama membenci penjajahan kan, Pak?
saya bukan gepeka, hanya penegak
kebenaran sering rebah, Pak
terinjak-injak
saya cuma cari makan
juga membajui Ibu Pertiwi
agar tidak usil dijahili jemari usil
izinkan saya memiliki kemerdekaan negeri ini, Pak!
saya juga cucu-buyut moyang yang berjuang
kemerdekaan ini untuk kita kan, Pak?
bagi mereka telah cukup seliang lahat sebilah papan
barisan doa dari kita yang rela berkhusu’
izinkan saya mempertahankan kemerdekaan negeri ini, Pak!
sebab, masih banyak famili kita yang tertindas di kolong-kolong keserakahan dimulutmanisi janji-janji imitasi
saya bukan gepeka hanya pembela
keadilan sering diomongkosongkan
padahal kita membutuhkannya kan, Pak?
Izinkanlah saya berjuang, Pak!
ternyata kemerdekaan belum sempurna
di sana-sini masih buka praktek penjajahan
entah legal atau tak ada yang berani menjegal
gepeka = generasi penggugat kemerdekaan
Jakarta, 1994
Puisi ‘Petisi 181 Juta Jiwa Lebih’ telah dipublikasikan Surat Kabar Suara Pembaruan, Jakarta, Minggu 12 Februari 1995
====
Bulan Madu Negeri Pengungsian
// Zakirman Tanjung
kita kenyangi lapar ini dengan tawa
aku tak kuasa menatap bola di matamu
getir enggan beranjak
padahal kita begitu sering mengajaknya
mendustai kenyataan
malam ini kuingin mengulum lembut bibirmu
sayang terlanjur pagi kau menelannya
“pengganti sarapan,” cetusmu memelas
kita susuri hamparan retak-rengkah
kau bergelayut di belulang pundakku
trenyuh sapaan kanan – kiri
padahal kita bukan petugas kemanusiaan
aku ingin mengajakmu menyanyi
cacing-cacing di perut kita duluan bersenandung
tertegun, kita bertatapan, menikmati
“aku ngidam lihat hutan pegunungan,” rengekmu mengiris hati
kubawa kau terlelap ke barak
di mimpi kita menceburi sungai siak
kau tersenyum memipil sebelah jantungku
Perbatasan Zaire – Rwanda, 1995
==
Surat Anak Pengungsi
// Zakirman Tanjung
saya ingin menangis, Kak
tapi tak punya airmata lagi
air liur pun kering-kerontang
kamp-kamp pada tandus
perang itu jahat ya, Kak!
Kak, Indonesiamu indah ya?
hutannya sejuk rimbanya teduh
masa-masa sekolah mengasyikkan
oow, Indonesiamu di ujung angan
Kak, kirimi saya sedahan pinus
lapar kami beritamu, tangis kami nyanyianmu
tercetak di koran-koran
tersiar di radio
kau tayangkan di televisi
Kak, kapan hujan akan turun?
kapan saya bias menangis lagi?
Ethiopia, 1989
==
Surat Tawanan Perang
// Zakirman Tanjung
kalau kau pernah merenung sesaat
longoklah kamp-kamp tandus dan gersang
tataplah negeri kami, rengkah tanah merah
genderang, biola dan pembantaian
kalau kau pernah masuk penjara
anak – binimu masih bisa melepas rindu
rasakan derita kami di sini
korban kebuasan nafsu duniawi
kalau kau pernah menanggung lapar
waktu berbuka dating menanti
sekadar tidur tak kami kata
bukan tangis narapidana
Palestina, 1988
(Ketiga puisi di atas telah dipublikasikan Surat Kabar Riau Pos, Pekanbaru, Minggu 4 Mei 1997)
Zakirman Tanjung atau pernah mempopulerkan diri dengan nama pena Zastra Certa (Zakirman Susastra Cancer Tanjung) dan Playboy Pattikawa, lahir 13 Rabi'ul Akhir 1389. Menulis puisi, cerita fiksi, opini dan surat cinta sejak masih di bangku SD tetapi baru mulai mempublikasikannya Agustus 1985. Pernah kuliah di Fakultas Sastra Universitas Andalas (BP 90184041) kemudian keluar setelah memecat rektor, memberhentikan dekan dan membebas-tugaskan dosen-dosen.