Catatan Fauzi Al Azhar
AHAD 31 Oktober 2021 hari ini, sebanyak 29 nagari di Kabupaten Padang Pariaman dijadwalkan menyelenggarakan pemungutan suara untuk pemilihan walinagari (pilwana) .serentak. Iven ini merupakan ajang pemilihan untuk menentukan nakhoda pemerintah nagari dalam enam tahun ke depan. Nakhoda yang akan mengendalikan kapal nagari sehingga mampu melaju cepat dalam masa pandemi.
Dalam proses pemilihan pemimpin di tengah masyarakat, baik Padang Pariaman maupun Sumatera Barat, akan selalu terkait konsep takah, tokoh dan tageh serta ratak tangan. Dari berbagai literatur yang penulis baca, secara sederhana dapat dijelaskan takah berkaitan dengan kepantasan, tokoh berkaitan dengan kejelasan asal-usul, sedangkan tageh merupakan kemampuan untuk bersikap tegas dan konsiten. Terkait ratak tangan adalah kemampuan dalam berbuat yang membawa kemashlahatan kepada masyarakat.
Konsep tersebut merupakan sesuatu hal yang substansial dikaitkan dengan dinamika kehidupan individu seseorang maupun terhadap perannya dalam kehidupan bermasyarakat. Sebuah cerminan perjalanan hidup seseorang dan dampaknya terhadap masyarakat. Sehingga melalui cerminan tersebut, menjadi pancaran untuk masa depan. Dengan konsep personifikasi maka diharapkan terpilih pemimpin yang bisa merealisasikan harapan masyarakat.
Dalam konsep yang berbeda, AM Lilik Agung - sebagaimana dimuat pada laman https://nasional.kompas.com/read/2018/05/21/08313531/empat-kriteria-memilih-pemimpin-daerah - mengemukakan empat pilar kepemimpinan, yaitu integritas, kapabilitas, otoritas, karitas. Empat Kriteria Memilih Pemimpin Daerah
Melalui optimalisasi empat pilar tersebut, suatu organisasi diharapkan berjalan dengan baik serta memiliki fleksibilitas terhadap dinamika lingkungan. Kondisi yang terjadi di nagari saat ini adalah: pertama, pandemi yang membawa dampak terhadap semua sektor kehidupan.
Kedua, pada sisi internal kemampuan nagari dalam mengelola sumber daya masih rendah. Hal ini menjadi sebuah lingkaran yang saling keterkaitan dengan sumber pendapatan nagari. Nagari memiliki banyak potensi tetapi tidak menjadi sumber pendapatan asli nagari. Pada sisi keuangan, pendapatan nagari dalam APBNagari masih bergantung kepada dana transfer dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang bersumber dari dana transfer, baik melalui dana desa, alokasi dana nagari maupun bagi hasil pajak dan retribusi daerah.
Ketiga, Otonomi Nagari dalam bentuk Nagari mandiri sebagaimana tujuan dari Undang-Undang Nommor 6 tahun 2014 belum muncul. Walaupun dalam indikator pengukuran indeks desa membangun ada beberapa Nagari yang masuk kategori mandiri.
Kemandirian dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat belum menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Keterlambatan proses peranggaran merupakan isu yang berulang setiap tahun. Pada sisi lain kemampuan melakukan inovasi belum muncul. Faktanya kegiatan aparatur nagari dalam bentuk studi tiru atau studi komparasi ke luar daerah tidak dibarengi dengan munculnya inovasi di nagari.
Keempat, dinamika politik Nagari. Pilwana merupakan proses politik. Walaupun pada level bawah tetapi memiliki dinamika tingkat tinggi. Hal ini terkait pertarungan sosiologis di Nagari. Sebagai sebuah proses politik, maka fleksibilitas sangat menentukan kepada siapa pilihan ditetapkan.
Kondisi ini lebih dominan dilatarbelakangi oleh faktor kepentingan. Kesamaan kepentingan akan menentukan besarnya dukungan dan tingkat keterpilihan. Sedangkan terkait aspek sosiologis, faktor kesukuan merupakan sebuah hal dasar penentu pilihan. Kondisi ini biasanya dibarengi dengan faktor geografis seperti korong atau satuan wilayah yang termarginalkan.
Sebagai sebuah proses politis dan sosiologis di nagari, dinamika pilwana akan membawa kondisi yang tidak baik jika melahirkan pemimpin yang tidak mampu mengelola dinamika tersebut. Dinamika politis dan sosiologis akan menjadi rutinitas sehari-hari di nagari. Masyarakat akan terkotak-kotak ke dalam kelompok pemenang dan kelompok yang kalah, sehingga berpengaruh terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.
Oleh karena itu, pilwana selayaknya menjadi titik awal, saatnya masyarakat bersatu untuk maju dengan memilih pemimpin yang mampu merangkul semua.
Berkaca kepada dua kutub tersebut - syarat pemimpin dan kondisi nagari - maka sudah saatnya pemilih memperhatikan syarat tambahan dalam menentukan pilihan terhadap calon walinagari. Pemimpin yang visioner merupakan prasyarat mutlak untuk kemajuan nagari.
Calon pemimpin yang mampu menterjemahkan kondisi masa depan melalui kebijakan yang ditetapkan hari ini. Mereka yang mampu membaca cewang di langik tando ka paneh, gabak di hulu tando ka hujan sudah selayaknya diberi kesempatan menjadi pemimpin.
Tiada pilihan lain, pilwana hendaklah jadi momentum dalam menentukan nagari mau ke mana dengan memilih pemimpin berdasarkan kemampuan membaca kondisi ke depan dengan diimbangi indikator takah, tokoh, dan tageh -- bukan hanya menentukan pilihan karena memenuhi faktor politis dan sosiologis.
Berdasarkan uraian di atas, marilah kita kembali merenung beberapa menit sebelum mencoblos surat suara, berpikir sejenak untuk sebuah jawaban "nagari mau ke mana?"
Fauzi Al Azhar SAP MAP, mahasiswa PDSK Fisip Unand