SUATU hal yang kuingat semenjak berusia 3 tahun hingga kini, saya senantiasa menahan diri supaya tidak meminjam atau - apalagi - meminta bantuan - kepada siapapun. Kalau pun terhentak galah ke napa, kutanggungkan saja sendiri. Namun, saya bersyukur dan berterima kasih jika ada yang mengulurkan bantuan.
Mengapa saya menahan diri supaya tidak meminjam? Karena saya kuatir tidak mampu mengembalikan. Dalam hal ini saya tidak sanggup menghadapi orang yang menagih piutang.
Begitu juga meminta bantuan, merupakan hal yang nyaris tidak pernah saya lakukan. Saya berusaha (dengan memohon pertolongan Allah Yang Mahakuasa, tentu saja) melakukan sendiri hal-hal yang saya butuhkan sebatas kemampuan yang saya miliki. Jika tidak mampu, yaa saya bersabar.
Sikap tidak meminta bantuan ini saya terapkan dalam segala aspek kehidupan, termasuk kepada orang² terdekat seperti saudara, kerabat atau sahabat. Bukan karena terlalu percaya diri, melainkan karena saya malu dan tidak sanggup memikul beban moril dan kehilangan kemerdekaan diri.
Selain itu, sikap tidak meminta bantuan ini saya terapkan dilatari oleh kabar yang pernah saya dengar sewaktu bocah dulu tentang seorang sarjana yang telah sukses tetapi lupa mengabdi ke kampung halaman, padahal semasa sekolah dan kuliah dibiayai orang² sekampung. Juga tentang seseorang yang sukses kemudian diminta menikahi anak orang yang membiayai sekolah dan kuliahnya.
Tak hanya menahan diri dari meminta tolong atau bantuan berupa uang atau materi lainnya, saya juga menahan diri dari meminta tumpangan mobil atau sepeda motor misalnya. Jika berdiri di pinggir jalan raya, saya takkan menyetop mobil yang bukan angkatan umum walaupun saya mengenal pemilik atau pengendara mobil itu. Namun, kalau mobil itu berhenti dan pengendara atau pemiliknya menawarkan tumpangan, Alhamdulillah... saya naik.
Begitu pula ketika berjalan kaki, jangankan meminta tumpangan, saya bahkan menahan leher agar tidak menoleh ke belakang waktu mendengar deru mobil atau sepeda motor. Kalau mobil atau sepeda motor itu berhenti dan pengendaranya menawarkan tumpangan, saya pun naik.
Sikap demikian pun saya terapkan sebagai jurnalis atau wartawan yang sudah mulai saya lakoni semenjak Kelas III SMP tahun 1985. Sebagaimana saya ketahui pada masa itu, dalam bertugas di lapangan, jurnalis atau wartawan umumnya menerima pemberian dari narasumber berita atau panitia pelaksana kegiatan yang mengundang. Pemberian sebagai bantuan uang transportasi itu biasanya diserahkan dalam amplop.
Penghasilan dari kegiatan meliput berita telah mendorong saya terjun secara totalitas ke kancah jurnalistik semenjak tahun 1992.
Hal lain yang melatari, honor tulisan dari redaksi surat kabar atas pemuatan cerpen², puisi² dan opini² saya relatif sangat kecil. Sejak medio 1980-an hingga awal 1990-an saya hanya mampu menembus tiga redaksi surat kabar terbitan Kota Padang, Sumatra Barat.
Saya telah berusaha mengirim tulisan² ke media terbitan Jakarta yang konon honornya lumayan besar. Namun, redaksi surat kabar dan majalah terbitan Jakarta mengembalikan atau tidak menerbitkan tulisan² saya, kecuali satu cerpen saya yang dimuat Majalah Anita Cemerlang tahun 1991 dengan honor Rp80 ribu yang saya terima via wesel pos serta satu cerpen dan satu puisi saya yang dimuat Harian' Suara Pembaruan tahun 1994, masing² dengan honor Rp250 ribu dan Rp90 ribu, juga saya terima via wesel pos.
Meskipun ada budaya amplop dari narasumber atau panitia kegiatan, saya menahan diri untuk meminta jika tidak diberi. Dengan kata lain, saya tidak pernah meminta kepada pejabat pemerintah atau pengusaha yang menjadi relasi saya sebagai wartawan, bahkan walau banyak di antara mereka yang menawarkan, "Kapan Bung butuh, katakan saja."
Sekali lagi, saya tidak meminta bukan karena tidak butuh, tetapi karena malu dan tidak ingin harga diri saya melorot yang pada gilirannya saya kehilangan kemerdekaan diri. Padahal, banyak teman yang menyarankan agar saya memanfaatkan kedekatan dengan para pejabat - bahkan - untuk memperkaya diri.
Tidak!!! Jangankan untuk memperkaya diri dengan cara mendapatkan uang secara tidak halal seperti memeras pejabat atau pengusaha, sekadar meminta ongkos atau minta diajak makan siang pun tidak saya lakukan. Uang hasil dari memeras atau sogokan jelas tidak berkah.
Memasuki era reformasi, Mei 1998, situasi berubah drastis. Media² massa bermunculan laksana cendawan tumbuh di musim hujan, diiringi pertumbuhan wartawan yang sangat pesat. Lahan saya pun menjadi kering dan semakin sempit.
Awal tahun 2000 saya bertemu jodoh dan menikah. Tidak sebagaimana impian sebelumnya, saya menghadapi pahit-getir pernikahan yang komplit. Hingga kini, setelah dikaruniai Allah dua putri yang telah remaja (21 & 16 tahun) dan dua putra (13 & 5 tahun) , saya bahkan masih nebeng atau menumpang di rumah amat sangat sederhana milik mertua bersama ibu mertua dan keluarga adik ipar. Pondasi rumah yang saya rintis tanggal 12 Oktober 2008 sampai sekarang masih berupa pondasi, berlumut, tertimbun tanah dan rerumputan.
Sejak dua tahun terakhir, sering musibah pandemi, ekonomi saya benar² lumpuh. Aktivitas kewartawanan saya antara ada dan tiada. Saya nyaris tak pernah lagi pergi melakukan peliputan kecuali jika ada yang mengundang, itupun belum tentu 2x dalam sebulan.
Alhamdulillah... kehidupan saya bersama keluarga masih terus berlanjut. masih makan. Putri sulung masih terus kuliah di Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan) Bogor, begitu pula putri kedua dan anak ketiga masih terus sekolah. Ada² saja rizki tak terduga yang kami terima.
Mayoritas rizki yang kuterima berasal dari transferan teman² facebook yang bersimpati atau mungkin kasihan membaca postingan²ku. Walau tak selalu dan tak banyak, biasanya ada saja yang mentransfer ketika kondisi keuanganku sudah sangat kritis.
Meskipun demikian, saya tidak pernah meminta kepada teman² facebook atau whatsapp, misalnya via messenger. Saya hanya menyatakan keadaan diri dalam postingan tanpa menandai akun siapapun.
Catatan ini sengaja saya tulis sebagai klarifikasi terkait banyaknya tudingan yang saya terima yang menuding saya pemalas atau menghinakan diri. Tidak! Saya terus melakukan berbagai usaha sesuai kemampuan yang miliki dan saya nilai halal. Akan tetapi, jika Allah Yang Mahakaya berkehendak menahan rizki untuk kami - sebagaimana firmanNya dalam banyak ayat Al-Qur'an, antara lain pada surah ke+29 Al-Ankabut ayat 62 - apalah dayaku?
Saya tidak hanya cacat secara fisik sejak lahir, tetapi juga menderita beberapa penyakit fisik yang menyulitkan saya dalam melakukan aktivitas usaha.
Kontak whatsapp saya 083180225955