Catatan Zakirman Tanjung
TULISAN Bung Andri Satria Masri SE ME, Kesalahan dalam Penulisan Tata Naskah dan Solusinya (canangnews.com), yang diterbitkan media ini pada hari Sabtu 5 Juni 2021 mengingatkan saya pada pengalaman tahun 2002. Waktu itu, saya hendak menguangkan tagihan langganan surat kabar pada Bendaharawan Bagian Umum Sekretariat Daerah Kabupaten (Setdakab) Padang Pariaman.
Namun, Bang Nurdin – si bendaharawan – menolak menyerahkan uang meskipun dokumen tagihan sudah dilengkapi telaah staf Kepala Bagian Informasi dan Komunikasi (Kabag Infokom) Setdakab, bahkan sudah dibubuhi persetujuan Bupati Muslim Kasim.
“Kenapa, Bang?” tanya saya.
“Telaah
staf belum ditandatangani Kabag Infokom,” jawab Bang Nurdin sembari menyerahkan
dokumen tagihan.
Ternyata
memang, ruang di atas nama Kabag Infokum Drs H Zulwaddi Dt Bagindo Kali pada
naskah telaah staf belum ada tandatangan. Padahal, di bawahnya, sudah ada paraf
Asisten I Drs H Nasrul, Sekdakab H Sudirman Gani SH dan Wakil Bupati Drs H
Martias Mahyuddin MSc serta paraf Bupati Drs H Muslim Kasim Ak dengan tulisan “Setuju
dibayar”.
Keluar dari ruang Bagian Umum, saya melangkah menuju ruang Bagian Infokom.
Namun, di depan kantor bupati, saya bertemu Pak Datuak Bagindo Kali. “Pak
Datuak, ternyata (dokumen) tagihan saya belum ada tandatangan Pak Datuak….”
“Sebentar ya, Zast, saya dipanggil Pak Wakil Bupati,” katanya seraya masuk ke
ruangan tempat Pak Martias Mahyuddin berkantor.
Kesempatan itu saya gunakan pergi ke toko tempat jasa fotokopi dan menggandakan
dokumen dimaksud. Tak lama kemudian, saya lihat Pak Datuak Bagindo Kali keluar
dari ruang wakil bupati, saya temui dan ia membubuhkan tandatangan pada naskah
telaah staf tagihan saya.
Kembali ke ruang Bagian Umum, Bang Nurdin pun menyerahkan sejumlah uang sesuai
nominal tagihan yang saya ajukan.
Selanjutnya, terpikir oleh saya untuk menginformasikan hal itu kepada Bupati
Muslim Kasim (untung Pak Datuak dipanggil wakil bupati dan untung saya sempat
mem-fotokopi dokumen tersebut). Saya pun naik sepeda motor ojek ke rumah dinas
bupati.
Melalui
jendela dan pintu yang terbuka, saya lihat bupati sedang menerima dan berbicara
dengan beberapa tamu, di antaranya (yang saya kenal) Kepala Dinas Kelautan dan
Perikanan Ir Yanrileza. Melihat kehadiran saya, Bupati Muslim Kasim
mempersilahkan masuk dengan anggukan kepala.
Setelah
melepas sepatu di depan pintu, masuk ke ruangan tamu, saya menyerahkan lembaran
kertas fotokopi itu. “Bang, ini ada informasi,” lalu balik kanan, kembali ke
luar ruangan.
Namun, ketika saya sedang memasang sepatu, Pak Yanrileza datang menyusul. Ia
menyerahkan kertas yang barusan saya berikan kepada Bupati Muslim Kasim. Saya
terima dan kemudian membacanya.
Pada
ruang kosong di bagian bawah kertas fotokopi itu, Bupati Muslim Kasim (kembali)
membubuhkan disposisi “BKuD, setuju” dan memaraf.
Saya
pun mencari sepeda motor ojek, kembali ke toko jasa fotokopi di Pasar Pariaman.
Setelah itu, balik ke rumah dinas bupati. Muslim Kasim yang saya sapa “Abang”
sedang berdiri di halaman, sepertinya hendak berangkat.
“Ada apa lagi, Dinda?” tanya dia.
Saya memperlihatkan kertas fotokopi yang tadi dia bubuhi disposisi, “Ini, Bang,
saya bukan bermaksud meminta disposisi persetujuan, melainkan memberikan
informasi tentang ….”
“Lah ang fotokopi lo ko? – Apakah sudah
kamu fotokopi pula?”
Dalam beberapa menit selanjutnya, kami berdiskusi tentang hal itu. (***)