Agam, (Sumbar)-Siapa sangka, di tangan Lusya Agustin (42) helai benang yang dipintal bisa menjadi produk fashion yang sangat modis. Berbekal kepiawaian merajut yang diwariskan sang nenek puluhan tahun silam, warga Monggong, Nagari Surabayo, Kecamatan Lubuk Basung ini merintis usaha rajut beragam produk unik dan bernilai jual.
Rabu (3/2) pagi, Lusya Agustin yang akrab disapa Uci, tampak sibuk memintal benang katun berwarna kuning dicampur ungu. Di tangannya itu, domko rajut nan cantik sudah tampak setengah jadi. Aktivitas yang demikian sudah dilakoninya sejak beberapa bulan lalu.
Diceritakan, usaha rajutan yang digelutinya itu mulai serius digarap sejak tahun 2015 silam. Usaha rajutan yang diberi brand Uni Uci itu dirintisnya ketika berada di perantauan.
“Awalnya ini saya mulai ketika merantau di Pulau Jawa, namun karena ada satu dan lain hal, saya ingin mengembangkan usaha ini di sini, di kampung, Insha Allah usaha ini bakal dilirik,” ujarnya.
Sebenarnya, kepiawannya merajut sudah terlatih sejak ia masih berada di bangku kelas 5 SD. Kenangan bersama dengan nenek menjadi awal mengenal kerajinan rajutan.
Dirinya mengaku, saat masih belia sudah tertarik dengan seni merajut yang biasa dilakukan oleh neneknya. Bukan hanya sang nenek, ibundanya pun juga sangat piawai dalam merajut.
“Sejak kecil, sudah bisa bikin alas meja sendiri, tutup jamba, hiasan dinding. Karena memang nenek dan ibu setiap saat mengajarkan cara merajut,” kenang mantan altet silat Satria Muda Agam tahun 1998 itu.
Berbekal pengalaman di rantau, Uci seakan mendapat inspirasi untuk menjadikan kerajinan rajut sebagai bisnis yang menjanjikan. Menurutnya, jika dahulu rajutan identik dengan pakaian, kini kerajinan tangan itu telah merambah ke fashion, seperti sepatu, tas, domko, sweeter, masker, topi, sarung tangan, dan lain-lain
Bahkan, sebut Uci, rajutan juga bisa dikreasikan menjadi dekorasi untuk ruangan, seperti bunga, gantungan bunga, sarung gelas dan sebagainya.
“Sarung bantal dan tempat tisu juga dibuat dengan cara dirajut,” sebut ibu 4 anak itu.
Dimasa pandemi Covid-19 ini, Uci pun berusaha menyesuaikan kreasi rajutannya dengan situasi. Produk-produk rajutannya lebih diarahkan ke alat pelindung diri seperti masker dan holder masker.
“Masker yang dibuat tetap dilapisi kain, sehingga segi keamanan tetap dapat, modisnya juga dapat,” kata dia.
Uci mengaku dalam menghasilkan satu produk, ia tidak membutuhkan waktu lama. Untuk produk baju rajut ia menghabiskan waktu 4 hari, sepatu rajut jika fokus bisa kelar dalam 2 jam, masker kelar dalam 1 jam.
“Sebenarnya sih lama waktunya tergantung mood, jika fokus tidak begitu memakan banyak waktu,” ungkap perempuan yang pernah menjadi guru SDN 58 itu.
Berbicara harga, Uci pun tidak terlalu membandrol produk yang ia hasilkan sendiri itu. Dirinya mengaku harga produk rajutan tergantung seberapa banyak benang yang dihabiskan dan tingkat kerumitannya.
“Untuk baju dan sepatu rentang Rp150-400 ribu, masker cuma Rp25 ribu, tas handphone Rp75 ribu,” sebutnya.
Sejak awal mendirikan bisnis rajutan, Uci mengaku belum mempekerjakan karyawan. Semua dilakukannya sendiri termasuk mendesain model produknya. Bahkan, dalam hal pemasaran pun, dirinya hanya mengandalkan akun media sosial Facebook.
Selain dari lingkaran pertemanan, produk Uni Uci juga sudah diminati berbagai kalangan, mulai dari pelajar hingga kalangan kelas menengah ke atas.
Ihwal merintis bisnis di kampung halaman, Uci mengaku tetap optimis usaha yang digelutinya itu menemukan pasarnya sendiri, seperti halnya ketika ia di Pulau Jawa.
“Di sini Insha Allah prospeknya bagus, tinggal bagaimana kita mengenalkannya ke masyarakat dan memberi edukasi tentang fashion berbahan rajut yang murni handmade,” terangnya.
Ke depan, dirinya berharap bakal memiliki galeri rajut yang dapat disambangi oleh calon pembeli. Dirinya pun berkeinginan membuka kelas rajut untuk siapa saja yang ingin menekuni usaha fashion berbahan rajut.
“Semoga harapan ini tercapai, sebab merajut merupakan kerajinan yang menyenangkan, dan jika ditekuni maka bakal mendatangkan berkah tersendiri,” ujarnya. (AY)