Catatan Zakirman Tanjung *)
PERTANYAAN yang paling sering dihadapkan kolega dan teman kepada saya... selalu terkait dengan materi alias harta kekayaan. Mereka beranggapan, sebagai penulis dan wartawan dengan masa aktif sudah 35 tahun, saya semestinya sudah memiliki banyak hal dalam ukuran materialistik. Setidaknya, menurut ukuran mereka, kepribadian saya sangat memadai. Antara lain saya tentu sudah memiliki rumah dan mobil pribadi.
Menghadapi pertanyaan demi pertanyaan serta anggapan demi anggapan senada sejak – minimal – sepuluh tahun silam, saya kerap tercekat dan tercenung. Setiap kali pertanyaan atau anggapan demikian teralamat kepada saya, saya susah-payah menanggapinya. Jawaban apa adanya – menurut yang saya jalani – nyaris selalu mereka tolak. Anggapan berikutnya pun muncul; saya sebenarnya memiliki banyak uang. Namun, sengaja menyimpan atau tidak menggunakannya.
Pilihan terakhir; saya pun tidak menanggapinya. Toh, saya sendiri yang tahu kondisi sesungguhnya – karena saya yang tahu dengan diri saya – dan saya pula yang akan mempertanggungjawabkannya.
Dalam suatu diskusi relatif sehat, seorang kolega menyatakan, berprofesi sebagai wartawan sangat berpeluang mendapatkan materi sebanyak yang diinginkan. Sebab, wartawan itu sangat dekat petinggi dan aparat, baik di instansi pemerintah maupun swasta, yang memegang kekuasaan dan uang. Wartawan, dengan ancaman bom publikasi yang dipegangnya, akan dengan mudah mendapatkan uang, baik dia minta maupun tidak.
Pembicaraan itu pun saya amini juga. Sebab, kalau saya perturutkan, bisa-bisa saya bakal ikut-ikutan merasa bodoh lantaran selama ini tidak memanfaatkan profesi yang saya geluti untuk memperkaya diri lantaran – memang – peluang untuk itu selalu terbuka luas. Lebih celaka lagi, saya kuatir akan benar-benar menerjuni perilaku demikian.
Kalau boleh jujur, saya memang pernah tergoda untuk mengakali pejabat atau pengusaha agar mereka memberi saya uang dalam jumlah banyak. Namun, karena kuatir uang demikian tidak berkah, saya menepis godaan tersebut. Saya kuatir, jika menerima uang yang tak berkah, belum sempat pulang ke rumah saya mengalami musibah: atau bisa saja keluarga saya yang terkena musibah. Lalu, uang tak berkah itu tidak cukup untuk mengobati atau mengatasi musibah yang kami alami.
Jangankan mendapatkan uang dengan cara mengakali pejabat atau pengusaha, meminta dengan cara baik-baik pun saya berusaha menahan diri. Saya lebih memilih menahan rasa lapar ketika berada di lingkungan tempat bertugas ketimbang memberitahu teman atau relasi agar mengajak saya pergi makan. Saya takkan menyetop mobil dinas pejabat yang sangat saya kenal pun untuk menumpang, karena saya merasa tidak berhak melakukan hal itu.
Bahkan, rencana membangun rumah yang telah saya mulai sejak 12 Oktober 2008, hingga kini masih saja berupa pondasi: keadaannya belum juga berubah satu inchi pun dibanding kondisi sore hari Minggu 12 Oktober 2008 usai menggali dan membuat pondasi secara bergotong-royong dengan melibatkan dua keluarga, keluarga asalku dan keluarga isteri.
Saya mencoba menelaah mengapa korupsi mewabah di negeri ini, setidaknya begitulah anggapan yang berkembang. Bahwa, bisa dilihat dan didengar dari banyaknya pemberitaan tentang kasus-kasus dugan korupsi yang dilakukan oknum pejabat dan pengusaha; bisa dijadikan sebagai indikasi praktek korupsi tumbuh subur di Indonesia, bahkan tanpa mengenal musim seperti cendawan.
Mengacu pada banyaknya pertanyaan dan anggapan yang terlontar kepada saya serta pada diskusi dengan berbagai pihak, bisa dikira penyebab mewabahnya praktek korupsi tak hanya didorong oleh adanya tuntutan pemenuhan kebutuhan dan peluang yang terpapar tetapi juga dipicu oleh perasaan bodoh jika tidak melakukannya.
Dorongan berikutnya adalah anggapan diri terhadap orang lain, terutama rekan kerja, sejawat,bawahan atau atasan, juga melakukan korupsi dan mereka nyaman dan aman-aman saja. Kalau pun ada satu-dua atau beberapa yang terjerat aparat penegak hukum, hanyalah kecelakaan dan mungkin sedang apes saja. Dalam hal ini, waskat (pengawasan melekat) yang kemudian diplesetkan menjadi pengawasan malaikat tidak terlalu menjadi persoalan.
Dengan adanya generalisasi praktek korupsi (jika memang demikian), figur-figur yang mencoba bertahan tidak melakukannya sering terpojok sendiri. Misalnya, jika tidak mau menerima bagian hasil korupsi (umpamanya di lingkungan tempat kerja) risikonya akan disisihkan, lalu dicurigai bakal jadi pengkhianat di belakang hari. Artinya, tekanan untuk ikut menikmati korupsi begitu kuat. Belum lagi tekanan dari pihak keluarga!
Tekanan-tekanan demikian bisa teramat kuat, bahkan bisa mengalahkan rasa takut terhadap ancaman Tuhan. Logika ekonomi dan spritual pun tak lagi menjadi perhatian. Bahwa kekayaan hasil korupsi tidak akan berkah; cenderung diabaikan. Orang-orang yang sudah terhipnotis oleh keinginan korup takkan memperhitungkan apakah kelak anak-anaknya menjadi brengsek atau mobil yang dibelinya bakal mengantarkannya masuk rumah sakit; boro-boro tentang surga dan neraka.
Menyadari fenomena demikian, para pemegang kekuasaan negara (mudah-mudahan tidak berjiwa korup pula!) semestinya mengubah cara dan pola pemberantasan korupsi. Tindakan menghukum secara keras dan terbuka (misalnya digantung di depan umum sampai mati) terhadap pelaku yang terbukti melakukan korupsi diyakini akan memberikan efek jera kepada oknum-oknum yang akan melakukannya. Dalam hal ini, penerapan hukum dan hukuman semestinya tidak mengenal rasa kasihan.
Jika pemerintah berketetapan hati memberantas korupsi, semestinya presiden menempuh cara cepat untuk menangani para pelaku yang terbukti melakukannya.
Baca juga SEJARAH RINGKAS KEPENULISANKU
*) rakyat jelata tanpa gelar dan jabatan, bukan atas bawahan siapa-siapa - rek. BRI 5476.0101.6502.535 atas nama Zakirman Tanjung