Catatan Zakirman Tanjung
SELAMA lebih dari 28 tahun lebih melakoni profesi sebagai wartawan secara totalitas, semenjak Oktober 1992, saya sering beraktivitas di lembaga-lembaga pemerintahan. Banyak hal yang saya amati, saya pelajari dan saya peroleh. Dari semula saya berpangkat / golongan ruang II/a, kini saya merasa sudah berpangkat / golongan ruang IV/e.
Beragam tipe, karakter dan perangai pejabat dan staf pemerintahan. Banyak yang berjiwa tulus, tetapi tak sedikit yang berakal bulus. Banyak yang berpribadi ikhlas, tetapi tak sedikit yang bermental culas. Tak berbeda dengan komunitas-komunitas lain, sebagai manusia biasa, para pejabat dan staf pemerintahan pun beragam.
Pengalaman demi pengalaman bergaul dengan aparatur sipil negara mengajarkan saya banyak hal, memberi saya banyak kesimpulan, yang kemudian membentuk karakter saya dalam bersikap dan berperilaku. Menjadi seorang wartawan bukan hal yang gampang jika tanpa memiliki kecerdasan dalam menentukan sikap.
Saya termotivasi menulis opini ini setelah
melihat postingan Prof Dr Zudan Arif Fakhrulloh SH MH di media sosial, Sabtu
(19/12/2020) pagi. Pria yang saya kenal sebagai direktur Kependudukan dan
Pencatatan Sipil pada Kementerian Dalam Negeri dan Ketua Dewan Pengurus
Nasional Korps Pegawai Republik Indonesia ini memosting beberapa foto aktivitas
dirinya dengan judul Office Boy Baru
Ya???
Setelah mengamati beberapa jenak dan membaca lima komentar yang terkesan basa-basi, saya pun ikut menuliskan komentar spontan: Sebenarnya hal biasa, malah bernilai rekreatif. Andai semua pejabat di Indonesia melakukan seperti yang dilakukan Prof Zudan Arif Fakrulloh, mungkin mereka tak perlu teriak-teriak sewaktu menjadi pembina apel pagi atau sore, "Pegawai harus begini dan harus begitu." Satu ketauladanan lebih utama daripada seribu ucapan.
Ketauladanan! Ya, dengan memberikan contoh perilaku yang baik memang lebih utama daripada seribu kali teguran, ajakan dan perintah. Baik di lembaga-lembaga pemerintahan, dunia usaha maupun dalam keluarga dan bermasyarakat, seorang pemimpin selayaknya menunjukkan contoh yang baik bagaimana bersikap, berperilaku dan bertindak. Hal itu akan lebih mengena,lebih cepat dipahami dan diserap daripada menjejali seseorang dengan tiori berupa kata-kata.
Saya sangat sering mendengar keluhan para pegawai di lingkungan lembaga pemerintahan tentang aktivitas apel pagi atau sore yang harus mereka ikuti. Kegiatan itu sebenarnya sangat baik sebagai forum silaturrahim dan koordinasi antara atasan dan bawahan, antara pimpinan dan staf. Namun, jadi membosankan lantaran pembina apel lebih gemar memberi pengarahan kepada hantu alias pegawai yang tidak ikut apel.
Dalam realitas kehidupan cukup banyak kisah
tentang contoh dan ketauladan yang ditunjukkan para pemimpin. Antara lain
Rasulullah Muhammad Shalallahu Alaihi
Wassalam yang membezuk orang kafir yang sakit, yang sebelumnya sering
meludahi Rasulullah; atau menyuapi pengemis buta di sudut Kota Madinah. Pun,
Khalifah Umar bin Khathab Radiallahu'anhu
yang mengantarkan sekarung gandum ke gubuk janda miskin dengan beberapa anak.
Kisah tentang contoh dan ketauladan spontanitas (bukan pencitraan) juga cukup banyak yang kita dengar atau saksikan. Ada bupati yang memungut sampah berserakan di halaman kantornya tanpa memerintah atau memarahi staf, ada polisi yang membantu orang tua menyeberang jalan atau ikut mendorong kendaraan mogok, ada ….
Beberapa waktu lalu saya membaca suatu laporan jurnalistik tentang seorang perempuan yang baru dilantik sebagai kepala dinas pada suatu daerah. Untuk memotivasi jajaran dan para pegawai disiplin masuk kantor, ia datang lebih pagi sebelum jam kerja dimulai. Tidak sekadar tiba lebih dahulu, perempuan itu sengaja berdiri di gerbang kantor dan menyalami satu persatu sekretaris dinas, para kepala bidang, kepala seksi dan staf yang datang kemudian, menyalami dengan senyum dan sapaan ramah.
Aktivitas demikian dilakukan si kepala dinas hingga beberapa hari sejak hari pertama ia mulai bertugas di organisasi perangkat daerah yang dia pimpin. Alhasil, disiplin dan kinerja dinas itu segera membaik. Padahal, sebelumnya jauh di bawah standar.
Sekira tahun 2001 saya pernah mendengar
informasi tentang sikap Wakil Gubernur Sumatra Barat Prof Dr Ir Fachri Achmad
yang menyuruh stafnya mengembalikan uang perjalanan dinasnya ke kas daerah. “Saya
menggunakan biaya perjalanan sebagai Rektor Universitas Bung Hatta,” ujarnya
waktu itu.
Sangat banyak sebenarnya contoh dan ketauladan yang mungkin ditunjukkan para pemimpin, lebih dari sekadar marah-marah dan memerintah. Fragmen berikut ini pernah saya sarankan kepada beberapa kepala dan wakil kepala daerah sebagai upaya mengayomi jajaran pemerintahan yang mereka pimpin. Namun, saya tidak tahu, apakah saran saya itu mereka laksanakan atau tidak.
Dalam perjalanan menuju atau dari kantor misalnya, Anda mampir ke kantor-kantor organisasi perangkat daerah (OPD), tetapi tidak dengan maksud melakukan inspeksi mendadak walau tanpa memberitahu rencana kedatangan. Singgah saja, baca salam, sapa staf yang ada. Namun, jangan sekali-kali menanyakan daftar absen atau siapa-siapa yang tidak hadir, termasuk kepala OPD jika tak terlihat. Yaa sekadar bersilaturrahim.
Di kantor-kantor itu Anda boleh saja menumpang ke toilet atau minta dibuatkan teh atau kopi hangat. Berbincang sekira 10 menit, lalu pamit. Akan tetapi, akan lebih baik misalnya jika Anda, “Saya sebenarnya ingin mengajak rekan-rekan makan siang. Namun, karena barusan ada panggilan ke kantor gubernur, rekan-rekan makan bareng saja yaa,” sembari meninggalkan uang Rp150 ribu – kalau staf yang ada tujuh orang.
Kunjungan-kunjungan dimaksud, meski terkesan
mendadak, Anda program dengan sebaik-baiknya dengan menyuruh ajudan mencatat.
Jika ke kantor A misalnya Anda berkunjung menjelang waktu istirahat siang,
usahakan berkunjung lagi seminggu atau dua minggu kemudian pada waktu pagi
dengan modus menumpang shalat dhuha atau sore menjelang bubar jam kerja. Begitu
juga dengan kantor-kantor lain, seperti tanpa terencana dengan modus berbeda.
Dengan inovasi berupa kunjungan ini, saya yakin, akan mengubah disiplin dan meningkatkan kinerja pada OPD dimaksud. Kedatangan Anda akan diceritakan staf yang hadir ke staf lain atau pimpinan yang tidak hadir. Apalagi jika Anda berkunjung lagi ke kantor yang sama, seminggu, 9 hari atau 17 hari kemudian, maka akan tertanam di benak staf; Anda sewaktu-waktu bisa datang berkunjung. Dampaknya, mereka akan disiplin dan bekerja dengan baik.
Dalam praktek kepemimpinan, lebih baik menjadi figur yang disegani; Anda akan selalu dihormati – daripada jadi penguasa yang ditakuti; Anda hanya dihormati ketika sedang berhadapan. Pemimpin akan melahirkan kader-kader kepemimpinan, sedangkan penguasa cendrung menumbuhkan bawahan-bawahan penjilat.
Ayah saya, Ramli (kini berusia 80 tahun menurut hijriyah), bekerja sebagai tukang jahit sejak sebelum saya lahir. Beliau berdomisili di Kota Krui – Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi Lampung, semenjak tahun 1975. Saya pernah beberapa kali mengunjungi beliau; tahun 1983, 1988, 1989, 1996 dan 1999. Hal yang saya cermati, beliau mengajarkan cara membuat pola, menggunting bahan dan menjahit pakaian dengan menyuruh anak buah dengan melihat cara beliau bekerja. Maklum, pendidikan ayah saya hanya hingga Kelas II Sekolah Dasar.
Saya mengenal nama Zudan Arif Fakrulloh dari Muhammad
Fadhly, kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Padang
Pariaman – Provinsi Sumatra Barat, awal tahun 2016. Saya pun mengikuti
pemikiran, inovasi dan aktivitas pria kelahiran 24 Agustus 1969 ini melalui
postingan-postingannya di media sosial. Zudan merupakan teman yang responsif.
Saya pernah bertemu Zudan ketika ia berkunjung ke Kantor Bupati Padang Pariaman di Parikmalintang dalam kegiatan Sosialisasi Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan serta Pemanfaatan NIK & KTP-el untuk Pelayanan Publik, Jumat 27 April 2016 siang. Waktu itu saya sempat mewawancarai dia sekira dua menit.
Ketika berada di ruangan kerja Direktur Jenderal Otonomi
Daerah Kementerian Dalam Negeri – Jakarta, Senin 6 Januari 2020 pukul 08.20 WIB,
saya coba mengontak Zudan via whatsapp, apakah mungkin saya berkunjung ke
ruangan kerjanya(?), Zudan membalas, “Maaf, Uda, saya mau menghadiri rapat
koordinasi dengan Pak Menteri Dalam Negeri.” (*)