Agam, -Barangkali Jumri, satu-satunya perajin suntiang yang ada di Lubuk Basung. Dirinya telah menekuni usaha hiasan kepala perempuan Minangkabau itu sejak 1975. Pria berusia 60 tahun itu, masih konsisten membuat suntiang hingga sekarang. Ratusan suntiang buatannya telah menyebar ke seluruh wilayah di Sumatera Barat.
Jumri mengaku mulai menggeluti pembuatan suntiang sejak kelas 5 Sekolah Dasar. Semasa kecil, dirinya memang hidup di lingkungan para perajin aksesoris di Kota Padang.
“Waktu itu saya coba mukul-mukul, dilarang orang punya, mukul-mukul lagi, dilarang lagi, akhirnya karena gigih saya diajari betul,” ujarnya saat dijumpai, Rabu (12/8) di tempat usahanya di kawasan Monggong, Lubuk Basung.
Tahun 1975 sekitar kelas satu SMP, sambungnya, Jumri sudah bisa membuat aksesoris untuk sunting. Dirinya mulai membuka usaha sendiri ketika duduk di bangku SMA.
“Boleh dibilang biaya pendidikan diperoleh dari membuat sunting ini,” kata pria asal Andaleh, Kota Padang itu.
Diakuinya, melalui membuat kerajinan suntiang dia bisa menamatkan perguruan tinggi dan memperoleh gelar Diploma Ekonomi.
Pria yang sempat mengabdi sebagai dosen itu menyebut pemesanan suntiang saat ini jauh menurun. Bahkan dalam enam bulan terakhir dirinya sama sekali tidak mendapatkan pesananan.
“Namun apa boleh buat, sudah banyak pekerjaan yang dicoba, sudah banyak juga rantau yang didatangi, dari membuat suntiang inilah saya menemukan kenikmatan,” kenang Jumri.
Butuh waktu paling sedikit satu Minggu bagi Jumri menyelesaikan satu suntiang. Waktu tersebut akan lebih lama lagi untuk pembuatan suntiang menggunakan kawat tembaga.
Dijelaskan Jumri, suntiang sendiri dirangkai menggunakan kawat ukuran satu perempat yang dipasang pada kerangka seng aluminium seukuran kepala.
Pada kawat itu kemudian dipasang sedikitnya lima jenis aksesoris atau penghias. Disebutkan, hiasan itu dinamakan suntiang pilin, suntiang gadang, mansi-mansi, jurai-jurai, dan bungo.
Ukuran sebuah suntiang pun bervariasi tergantung jumlah mansi atau kawat. Dikatakan, suntiang paling besar ukurannya 25 mansi, kemudian 23 mansi, dan 21 mansi.
“21 mansi yang paling umum dipakai saat ini,” katanya
Kemudian, sambungnya, ada juga suntiang yang ukurannya lebih kecil. Suntiang ini biasa dipakai pelajar saat pawai peringatan 17 Agustusan dan acara lainnya.
Bahan suntiang pun dibagi jadi tiga jenis berdasarkan bahan. Yang lebih berat dan mahal terbuat dari seng aluminium kuningan.
Kemudian mansi biasa, dan yang sekarang mulai banyak dipakai, terutama untuk pelajar, suntiang dari plastik yang jauh lebih ringan.
“Untuk sunting ukuran standar atau menengah saya menjualnya Rp. 1,4 juta. Tapi semua tergantung ukuran dan kerumitan pembuatan,” ujarnya.
Saat ini dirinya mengaku hanya menerima pemesanan suntiang anak daro dan sunting pasumandan.
Meski saat ini pemesanan suntiang terbilang sepi, Jumri mengaku akan terus menekuni pembuatan suntiang. Bahkan, jika ada yang berniat belajar membuat suntiang dirinya bersedia membuka kelas kursus.
“Tapi saya melihat, minat anak muda sekarang ke hal seperti ini sangat minim, semua suka pekerjaan yang serba instan, membuat suntiang butuh kesabaran,” ulasnya. (BJR)