Catatan Zakirman Tanjung
GENDERANG pemilihan kepala daerah (pilkada) untuk
gubernur/wakil plus bupati/wakil dan walikota/wakil se-Sumatra Barat (Sumbar)
sudah berderung-derung. Sejumlah pengurus partai politik yang memiliki kapal laik jalan sudah sejak akhir 2019 menerima pendaftaran para kandidat yang akan
bertarung memperebutkan posisi pemimpin rakyat. Sedangkan kapal-kapal omprengan
sedang dipergandengkan oleh pihak yang berkepentingan supaya bisa berlayar.
Mungkin takkan berbeda dibanding pilkada 2005, 2010 atau
2015, proses perekrutan calon kepala daerah dan wakilnya akan menelan biaya
tinggi dan menyisakan banyak korban. Selanjutnya, pertarungan lebih besar siap
menunggu; merebut suara rakyat.
Baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota se-Sumbar
sudah bermunculan banyak kandidat. Meski satu partai politik hanya boleh
mengajukan satu pasangan calon kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU), kenyataannya
yang mendaftar cukup banyak; dua, tiga, lima figur atau lebih banyak lagi.
Masing-masing akan melakukan lobi, pendekatan dan kalau perlu jual-beli; yang
penting bisa merental kapal untuk mengharungi lautan pilkada.
Di sisi lain, para pengurus parpol pun tak kalah trik.
Mereka membuat bermacam proses perekrutan calon kepala daerah agar rakyat
pemegang hak memilih nanti akan yakin bahwa calon yang diusung parpol tersebut
benar-benar hasil seleksi yang ketat; bukan hasil transaksi jual-beli dengan
harga tinggi.
Dengan maksud berempati, penulis merasa perlu membagi
informasi berikut ini. Tujuannya supaya para kandidat, terutama para ambisiusitor,
tidak terduduk kelak manakala tidak terpilih dan duduk menjadi kepala atau
wakil kepala daerah. Sebab, ajang pertarungan yang bakal Anda hadapi
membutuhkan energi, perhatian dan biaya yang tinggi. Namun, jika anda maju jadi
calon kepala daerah hanya sekadar menjajal kemampuan untuk cari pengalaman atau
memang hobi berjudi, tidak apa-apa, lanjutlah terus.
Berdasarkan pengalaman mengamati beberapa kali pemilu,
pilpres dan pilkada, penulis memperoleh suatu kesimpulan tentang keberadaan massa
pemegang hak memilih dengan kandidat yang maju mencalonkan diri. Dalam hal ini
terdapat setidaknya empat basis massa.
Pertama, massa mengambang. Dari namanya saja bisa diterka
bahwa sifatnya tidak terukur. Massa tipe ini erat hubungannya dengan calon yang
selama ini tidak memiliki aksesibilitas dengan publik secara luas, kecuali
hanya dengan keluarga, kerabat, kolega dan teman-teman dekatnya saja.
Contohnya, ada seorang pengusaha atau perantau sukses yang ingin menjadi kepala
daerah. Dengan uangnya yang tak berhingga ia bisa masuk ke partai politik
dengan praktek jual-beli, selanjutnya membentuk tim sukses untuk menggaet massa
pemegang hak pilih. Menghadapi massa tipe ini tentu membutuhkan biaya besar;
bisa-bisa justru hilang tak berbekas oleh politik terima uangnya tetapi jangan pilih
orangnya.
Kedua, massa pendukung. Dalam hal ini sudah agak bersisih
antara atah dan beras, sudah tampak ragi kain. Akan tetapi, pernyataan dukungan
saja belum dapat dipegang; sewaktu-waktu bisa saja berpindah ke figur lain oleh
sesuatu dan lain hal. Pemilik massa tipe ini antara lain figur-figur calon
kepala daerah yang selama ini sudah cukup banyak berkiprah di tengah masyarakat
tetapi hanya sebatas retorika. Dengan kata lain, figur itu sudah cukup dikenal.
Ketiga, massa simpatik. Figur calon kepala daerah yang
memiliki masa tipe ini diyakini bakal terpilih dengan suara mayoritas dan
melenggang menuju kursi kekuasaan. Biaya yang dia perlukan untuk menghadapi
pilkada sejak dari proses awal tidak akan terlalu besar, cukup hanya menyediakan
dana operasional untuk elit-elit tim sukses serta para saksi yang diturunkan
dalam kegiatan pemungutan suara. Figur ini antara lain para kepala daerah yang
kembali maju untuk masa jabatan berikutnya, tetapi dengan catatan; selama
menjabat periode sebelumnya dia juga memimpin dengan bijaksana dan disimpatiki
publik. Figur lainnya bisa jadi tokoh masyarakat yang benar-benar memasyarakat.
Keempat, massa fanatik. Massa tipe ini hanya dimiliki
oleh figur-figur istimewa seperti ‘ulama kharismatik serta tokoh-tokoh publik
yang selama ini memiliki kiprah, ketauladanan dan nama yang harum. Jika tokoh
ini menyatakan dirinya maju menjadi pemimpin politik seperti kepala daerah,
dapat dipastikan, dia akan meraup suara dukungan tanpa modal yang terlalu besar;
malah dia akan dimodali massa-nya tanpa mengharap pengembalian seperti
proyek-proyek yang bersumber dari anggaran pemerintah. Sayangnya, figur yang
memiliki massa seperti ini bukanlah jaminan bakal menjadi pemimpin kharismatik
dan berkemampuan tinggi, sebab ranah baru yang dimasukinya memiliki perbedaan
yang tajam dibanding aktivitas dia sebelumnya.
Berdasarkan keempat tipe tersebut, para kandidat yang
saat ini sedang berjuang untuk merebut tiket parpol untuk menuju ajang pilkada
dan para pengurus parpol sendiri bisa menilai di mana posisi diri dan kandidat
yang akan dia usung. Khusus bagi pengurus parpol, catatan ini cukup penting
demi kelanjutan simpati massa pada diri dan parpol-nya pada ajang pemilu
berikutnya. (*)