Catatan Awaluddin Awe
ADA tiga kutub yang kini bermain dalam ranah Pemilihan Gubernur Sumatra Barat (Pilgub Sumbar). Pertama, kelompok yang mempertahankan kekuasaan. Tidak puas berkuasa selama sepuluh tahun, kini sedang merancang kekuatan baru untuk melanggengkan kekuasaan minimal satu periode kekuasaan baru lagi.
Kelompok ini adalah kelompok kuat karena disokong oleh kekuatan jabatan, kedudukan, posisi dan profesi cerah. Sebab mereka mendapatkan kecipratan kekuasaan. Mereka akan menggunakan posisi mereka untuk mempertahankan kelompok mereka agar tetap berkuasa.
Kelompok ini juga memiliki jejaring sosial politik yang sangat kuat dan berakar. Akan sangat sulit membongkar kesetiakawanan sosial poliitik mereka pada pemilihan gubernur ini. Mereka hanya akan terpecah apabila muncul dalam dua kubu politik internal. Tetapi setakat ini mereka masih satu arah.
Akan tetapi, pada sisi lain, kelompok ini punya rentabilitas tinggi di tengah masyarakat pemilih jamak. Sebab, entitas mereka dianggap mewakili ketidakseimbangan dalam distribusi kesejahteraan. Publik menganggap mereka sebagai penikmat pertama program keseimbangan sosial ekonomi yang dibangun pusat kekuasaan selama bertahun tahun.
Kelompok ini, secara sadar atau tidak, pun dianggap, sebagai gerakan kebaikan karena mampu memperlihatkan kehidupan sosial agama yang baik, santun dan mencirikan kehidupan spritual yang tinggi serta menjadi pola sikap dan pandangan hidup kelompok maju di Sumbar.
Hanya saja, kelompok ini tidak mampu mayakinkan kelompok tradisional di tengah masyarakat dalam memilih dan meneruskan kekuasaan disebabkan adanya kesenjangan dalam distribusi kesejahteraan, akibat keberpihakan kekuasaan tadi.
Namun, karena menguasai sentra kehidupan agama dan ekonomi rakyat, kelompok ini tetap menjadi komunikator kepentingan elit politik kekuasaan, termasuk di dalam proses pemilihan kepala daerah (pilkada) di Sumbar.
Mereka malah menjadi motor pengenalan dan pemahaman tokoh kepada masyarakat lapis bawah. Merekalah menjadi kunci pemenangan dari calon gubernur nanti.
KELOMPOK kedua dalam Pilgub Sumbar adalah kelompok pencari dan penggemar popularitas calon yang memiliki kecendrungan memainkan angka statistik dan survei dalam meyakinkan publik.
Kelompok ini terdiri dari beberapa segmen yang secara keseluruhannya adalah para aktifis politik dan sosial masyarakat yang sangat terobsesi dengan keramat survei. Hampir setiap hari mereka merilis angka-angka elektibilitas calonnya di media massa dan media mainstream.
Tipologi kelompok ini adalah radikal dalam berpolitik dan cenderung meremehkan kelompok lain, sehingga dalam pergaulan dan kompetisi antar kelompok pendukung calon, kelompok ini rada aneh karena selalu beranggapan kelompok mereka sudah berbuat padahal belum pernah menjadi gubernur sama sekali.
Kelompok ini mencoba mentranformasi segala bentuk kegiatan sosial politik mereka terdahulu dan sekarang sebagai bentuk ideologi program di masa depan. Mereka seolah meyakinkan publik, dengan apa yang telah didapat hari ini, dipastikan adalah menjadi milik mereka di masa akan datang.
Kelompok ini lupa bahwa, apa yang mereka miliki hari ini tidak ada relevansinya dengan kebutuhan pemilih pada saat pemilihan gubernur nanti. Sebab akan terjadi perbedaan dalam aksi sosial mereka pada saat sebelum dan setelah menjadi gubernur, termasuk di dalam kepameranan posisi saat sebelum dan sesudah terpilih menjadi gubernur.
Kelompok penganjung populeritas juga gemar membangun paradigma, bahwa hasil survey adalah segala galanya dan menjadi pamor dalam menaikkan bargaining calonnya di mata publik, parpol calon koalisi dan calon pasangan.
Maka terkesan lucu dan terlihat bodoh, seolah olah calon kelompok giat survey ini dibuat seperti mempelai yang banyak menarik perhatian calon penganten wanita dan tiba tiba saja dia akan memilih calon lain yang dianggap juga populer tetapi sebaliknya tidak disukai masyarakatnya sendiri.
Domain dari kelompok propupleritas ini adalah individualisme dan egosentris, sesuatu yang sebenarnya berseberangan dengan sikap orang Minang dan sikap orang Pariaman. Di dalam keseharian orang Minang nyaris tidak dikenal sikap kultus-individu. Bahkan di Pariaman sendiri tumbuh satu sikap sosial yang menolak "ke-akuan" baik dalam posisi politik, ekonomi, keuangan dan sosial budaya.
Orang Minang dikenal sebagai masyarakat egaliter dan menolak pribadi sombong, angkuh dan berlagak diri paling hebat atau santiang. Maka kemudian disitu berkembang satu sikap : kok hebat ang, ndak ka den akui gai doh. Kok kayo ang den ndak kamamintak, kok bapangkek ang den ndak katakuik gai doh.
Artinya, domain yang digembargemborkan kelompok propopuleritas ini, jika tidak pandai merangkai kata katanya akan berhadapan dengan sikap yang hidup di tengah masyarakat Minang dan Pariaman tadi.
KELOMPOK ketiga yang terlihat di proses Pilgub Sumbar ini adalah mereka yang berasal dari pemilik finansial atau keuangan berlebih atau memiliki kekayaan luar biasa atau yang berasal dari kelompok perusahaan sukses.
Kelompok ini menjadi bayang bayang ketakutan bagi kelompok pertama dan kedua karena mereka bisa membeli apa saja yang mereka inginkan, termasuk membeli calon pemilih dalam tanda kutip (").
Kelompok ini didukung oleh kekuatan pengusaha berpikiran kekuasaan dan kelompok kekuasaan berorientasi keuangan. Sindikasi kedua kelompok ini mulai berhasil membangun keyakinan publik bahwa mereka adalah calon yang paling menggiurkan.
Kelompok tajir ini merupakan paling berbahaya di dalam perebutan jabatan gubernur Sumbar. Sebab mereka mampu melakukan apa saja dalam pilgub Sumbar ini, terutama dalam hal sosialisasi ke tengah masyarakat.
Masyarakat yang kemudian kita sebut sebagai kelompok dan penggembira politik memang suka dengan kelompok peserta pilgub Sumbar seperti ini, sebab inilah tipikal pemain pilgub sebenarnya : siap secara niat, itikad dan back up. Artinya kelompok finansial dalam pilgub Sumbar ini dinilai sebagai paling realistis dalam berpolitik.
Tetapi kelompok finansial ini menjadi ancaman bagi partai dan calon lainnya sebab akan menjadi batu penarung yang besar dan berat bagi mereka untuk memenangkan pilgub. Sebab itu pula, kelompok finansial ini paling banyak diserang dengan menggunakan isu supaya tidak nyaman.
Kelompok finansial menjadi ancaman di pilgub Sumbar karena ditakutkan akan menguasai sektor ekonomi jika nanti berkuasa. Sedangkan tidak memiliki wakil saja dalam pemerintahan, kelompok ini paling pandai memanfaatkan kekuasaan, apalagi kini memiliki figur yang kuat pula secara personality.
Arah Dukungan Publik
Tetapi jamaknya pemilihan gubernur, pada saat kontestasi setiap pihak atau calon sah sah saja mengedepankan posisi diri mereka masing masing. Sebab itu adalah perwujudan dari demokrasi di pemilihan gubernur. Orang boleh saja membuat tampilan dan ukuran masing masing.
Target dari semua itu adalah bagaimana membuat arah dukungan publik bisa mengalir kepada calon masing masing. Simpul kekuasaan, populeritas dan finansial di dalam politik adalah satu keniscayaan. Tidak ada dalam proses politik yang tidak menggunakan kekuasaan, populeritas dan uang.
Makanya sangat lazim jika kemudian ada yang berkata bahwa para pemenang pilkada adalah mereka yang berasal dari kelompok kekuasaan, memiliki populeritas dan tak lupa punya uang banyak. Sebab dunia politik itu dunia transaksi, jual beli kepercayaan dan keyakinan politik, bahwa bersama si A, atau si B atau si C, daerah dan pendukungnya akan baik masa depannya.
Arah dukungan publik pada Pilgub sangat ditentukan oleh seberapa besar pengaruh dan kekuatan kekuasaan dalam memainkan peran mereka kepada masyarakat, dan seberapa kuat pengaruh calon dalam memberikan keyakinan kepada pemilih, plus seperti apa simbol keuangan bisa meneduhkan hati para pemilih.
Namun belajar dari pengalaman pemilihan gubernur Sumbar sebelumnya, kata kunci yang menjadi jurus pemenang pilgub Sumbar itu, sudah ada ditangan para pemilih. Apa itu, yakni paham Alua jo Patuik, Patuik jo Mungkin.
Paham ini sudah hidup bersama masyarakat Minang sejak demokrasi ada. Paham ini juga dipakai dalam memilih calon menantu. Paham itu mereka pakai untuk menilai kepribadian calon, bukan yang melekat dibadan calon, tetapi kesepadanannya juga dinilai. Apakah patut atau mungkin, atau sebaliknya.
Banyak calon kadang lupa bahwa diri mereka kemudian dinilai. Ukuran yang dipakai itu adalah ukuran gubernur. Sudah layak atau belum jadi gubernur, kalau belum tunggu dulu, dipilih yang benar benar layak, benar benar patut jadi gubernur. Patut itu juga dilihat dari bawaan tubuh. Keseimbangan saat berjalan. Sebab gubernur tidak boleh jalannya oleng, menengadah atau mengangkang. Sebab gubernur itu Penghulu di Ranah Minang. Pucuknya menjulai tinggi, dahannya rimpak untuk berteduh, batangnya kuat untuk bersandar, rantingnya kuat bersigayut.
Artinya profilisasi dari seorang gubernur Sumbar itu adalah seorang ninik mamak. Pahamnya dianut, katanya didengar, tunjuknya lurus, kelingking tak berkait, berkata benar dan lurus, gemuk tidak membuang lemak, kepalanya disungkup kupiah abadi.
Sejak saisuak, gubernur Sumbar itu bukan saja seorang pamong, tetapi juga seorang warih bajawek pusako ditolong, pai tampek batanyo, pulang tampek mangadu, sandaran di anak jolong gadang, anak dibari kamanakan dibimbiang, urang kapuang dipatenggangkan.
Kok bajalan basamo samo, duduak surang basampik sampik, saku indak pabanjaik, baju lapang dan balangan panjang, pandang jauh dan baalang lapang, indak suko mambuang fitanah.
Gubernur itu diibaratkan dengan sebuah pohon besar seperti pohon beringin. Tumbuh di tempat yang besar dan tinggi. Jadi pelindung semua tanaman yang ada di bawahnya.
*) Penulis adalah wartawan senior dan penulis profil calon kepala daerah, berdomisili di Kota Padang Panjang, Sumatra Barat, Indonesia