Catatan Bagindo Yohanes Wempi
AKHIR-akhir
ini media nasional dan media daerah menuangkan berita-berita yang menggambarkan
kondisi masyarakat sedang sakit dan memprihatinkan seperti tingginya tingkat
kemiskinan, penangkapan pengedar dan pemakai narkoba setiap hari, kekerasan
seksual terhadap anak, pemutusan hubungan kerja perusahan besar.
Namun
di sisi lain, kondisi berbeda terlihat, pengelola pemerintah baik pusat dan
daerah menampilkan potret bahwa masyarakat dalam kondisi sejahtera seperti
meriah ivent berbiaya mahal, kegiatan pemerintah penuh glamor dengan biaya
tinggi dilaksanakan dan acara lain yang memperlihatkan kesuksesan
semu.
Dua
potret ini nampak berbeda, terkadang para ahli pun kesulitan
memberi indikator pembanding. Apakah antara kebijakan atau iven-iven pemerintah
nyambung dengan perbaikan kondisi serta keinginan masyarakat.
Penulis
menyimpulkan bahwa saat ini antara kebijakan, program dan iven-iven tidak
nyambung dengan kebutuhan masyarakat. Pemeritah disibukkan oleh perilaku onani
iven dan masyarakat tidak merasakan kehadiran pemerintah.
Istilah
onani, mungkin tabu dibaca dalam budaya ketimuran, perilaku ini terkait soal
memuaskan seks secara pribadi tanpa melibatkan orang lain. Istilah onani sudah
meluas dipakai oleh penulis, ada penulis memberikan istilah onani serimonial
ivent, onani politik, onani budaya, dan onani-onani lainnya.
Saat
ini banyak pejabat daerah demi menjaga citranya sukses di tengah masyarakat.
ternyata mereka terjebak melakukan onani serimonial iven melalui kaca media,
media memoles sedemikian hebat.
Maksudnya
adalah para pejabat suka melakukan kegiatan, acara-acara untuk memuaskan diri
sendiri dengan tampil di depan kaca media masa mempertahankan pencitraan. Pada
dasarnya acara dan kegiatan tersebut pejabat saja yang mendapatkan kesenangan,
namun tidak berefek positif pada masyarakat atau tidak bersentuhan langsung
dengan keinginan masyarakat.
Onani
serimonial iven para pejabat tersebut hanya dinikmati oleh mereka sendiri
(institusi), seperti acara peresmian-peresmian dan festival-festival. Yang
terlibat membuat acara mereka sendiri, yang hadir mereka juga, yang bergembira
dan senang hanya in group institusi
pejabat yang berkaitan dengan acara tersebut.
Jika
dilihat di lapangan ternyata masyarakat yang ada di sekitar acara
tersebut tidak peduli dan tidak mau tahu dengan acara tersebut karena
masyarakat merasakan hal itu tidak bermanfaat baginya.
Penyakit
onani serimonial iven ini sudah sangat menguatirkan. Para kepala daerah sibuk
membuat acara seolah-olah beliau dekat dengan masyarakat, seolah-olah cinta
masyarakar, seolah-olah bupati/walikota ini hebat dengan membuat acara
pertemuan tingkat nasional dan internasional.
Terkadang
onani serimonial iven ini sudah keterlaluan dilakukan kepala daerah seperti
mengadakan pertemuan internasional, sedangkan kepala daerahnya tidak bisa
bahasa inggris, dan diambil juga posisi Ketua Asosisasi Internasional tersebut.
Kata
cimeeh orang Minang “gadang lo singuluang
pado baban” atau kojo dak kojo se,
yang penting dianggap hebat kepala daerah tersebut.
Selain
hal seperti di atas, ada juga kepala daerah mengadakan acara peresmian gapura
yang harganya milyaran, entah apa manfaat gapura itu terhadap masyarakat, tapi
sang kepala daerah ikut berbangga di media.
Mati
kita ketuk pintu hati mereka dengan akal sehat. Coba dana milyaran tersebut
diberikan pada keluarga miskin, bisa membantu rakyat miskin ratusan kepala
keluarga, pasti rakyat senang.
Pemerintah
daerah dan anggota dewan idealnya harus menghentikan kegiatan serimonial tersebut
yang beranggaran besar dan mubazir. Saatnya kepala daerah buat program atau
acara yang menyentuh kebutuhan masyarakat seperti beri bantuan dana
langsung, bantu rakyat yang tidak punya rumah dengan rumah tipe 36 agar
keadilan dan kemakmuran bisa dirasa.
Jika
onani yang dijelaskan di atas terjadi terus-menerus, maka daerah ini bisa
hancur, tingkat kecemburuan akan selalu meningkat dan NKRI bisa runtuh
akibat kepercayaan masyarakat terhadap para pejabat tidak ada lagi.
Mari
selamatkan negeri ini dari perilaku onani iven para pejabat untuk
mempetahankan pencitraannya tapi masyarakat tetap susah [*]