Catatan ZakirmanTanjung *)
SEKITAR 12 tahun silam saya pernah menulis
dan menurunkan liputan khusus di suatu tabloid berita. Lipsus tersebut tentang
upaya mengentaskan kemiskinan di republik tercinta ini. Dasar pemikiran
menurunkan liputan dimaksud untuk menyambut kedatangan Presiden Republik
Indonesia (waktu itu) Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke Parikmalintang,
Kabupaten Padang Pariaman – Provinsi Sumatera Barat, Kamis 21 September 2006, guna
melakukan Pencanangan Pengentasan
Kemiskinan dengan narasumber antara lain Ir Jhon Farlis
Ironisme
bangsa yang kaya dengan sumber daya alam ini memang berkait erat dengan
kemiskinan. Tidak hanya miskin secara materi, tetapi – lebih-lebih miskin
secara moral. Tidak hanya rakyat, tetapi juga oknum-oknum aparat. Saking
miskinnya, mereka bagaikan tak pernah merasa cukup, apalagi bersyukur.
Jumlah
rakyat miskin di negara ini mungkin sangat banyak, mungkin tak semuanya terdata
oleh aparat terkait dan masuk data resmi yang dijadikan acuan pihak pemerintah
dalam membuat kebijakan dan merealisasikan program. Sebaliknya, data rakyat
miskin yang diterbitkan lembaga resmi pun belum tentu seluruhnya berisi nama
orang-orang miskin.
Inilah
yang penulis maksud dengan miskin mental. Selain karena keterbatasan kemampuan,
ada sinyalemen, dalam melakukan pendataan oknum-oknum aparat punya kecendrungan
mengutamakan kerabat dekat. Sedangkan pada sisi rakyat, sepertinya masih banyak
yang mengaku-ngaku miskin supaya dimasukkan oleh petugas pendata ke dalam
daftar keluarga miskin.
Mengapa
oknum-oknum aparat punya kecendrungan mengutamakan kerabat dekat dan mengapa
banyak rakyat yang mengaku-ngaku miskin? Penyebabnya – dapat dipastikan –
karena pemerintah, khususnya semenjak kepemimpinan Presiden SBY, menyediakan
beragam jenis bantuan sebagai upaya pengentasan kemiskinan.
Akibat
ulah rakyat dan oknum-oknum keparat yang miskin mental ini, upaya pemerintah
melakukan pengentasan kemiskinan tidak pernah benar-benar berhasil. Banyak
program sosial yang digagas dan dilaksanakan pemerintah dari tahun ke tahun –
termasuk program CSR BUMN / Swasta – tetapi tak jua berhasil mengentaskan rakyat
yang benar-benar miskin secara materi.
Para
ahli ekonomi tentu saja sudah berusaha maksimal melakukan riset guna mencarikan
formulasi atau cara untuk mengentaskan kemiskinan di negeri ini, nyatanya orang-orang
miskin masih saja menggurita. Muncul pertanyaan, apa yang salah?
Dalam
diskusi dengan Ir Jhon Farlis sembari saya menulis laporan khusus tersebut di
redaksi muncul pemikiran sebagaimana gambar pada bagian atas artikel ini.
Intinya, menghadapkan mereka dengan Allah, Dzat Yang Mahakuasa.
Ya Allah Yang
Mahakaya, jika keluarga ini benar-benar miskin,
makmurkan dan
sejahterakanlah mereka!
Namun, jika mereka
mengaku-ngaku miskin, kami sadar azabMu sangat pedih.
(Al-Qur’an surah ke-14 Ibrahim ayat 7)
Format
sebagaimana gambar pada bagian atas artikel ini kami sarankan agar digunakan
pemerintah untuk dijadikan semacam stiker gunakan ditempelkan pada pintu depan
rumah-rumah warga yang masuk data sebagai keluarga miskin. Ukuran dan warnanya
dibuat cukup mencolok supaya dapat terlihat oleh orang-orang yang lewat di
jalan depan rumah dimaksud.
Dengan
pemasangan stiker ini diharapkan agar memberikan efek psikis kepada keluarga
yang mengaku-ngaku miskin – padahal mereka mampu menghidupi diri dan keluarga
secara wajar. Pengertian mampu di sini berupa kenutuhan dasar seperti pangan,
sandang, tempat tinggal (rumah), kesehatan dan pendidikan anak-anak hingga
sekolah lanjutan tingkat atas.
Teknis
pembuatan, pemasangan dan evaluasi stiker ini tentunya dilaksanakan oleh
pemerintah melalui unit kerja terkait seperti Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan
Pemerintahan Desa / Kelurahan pada tingkat kabupaten / kota dan / atau lembaga
pemberdayaan masyarakat independen yang berafiliasi dengan pemerintah.
Setelah
dilakukan pemasangan, seminggu atau sebulan kemudian petugas melaksanakan
evaluasi dengan cara mengunjungi rumah-rumah dimaksud untuk melihat apakah
stiker tersebut masih terpasang atau sudah dicopot dan dibuang oleh pemilik
rumah. Jika masih terpasang, berarti rumah tersebut memang dihuni oleh keluarga
miskin.
Sebaliknya,
jika sudah terlihat lagi karena dicopot pemilik rumah, maka petugas menandai
nama keluarga bersangkutan pada daftar keluarga miskin untuk selanjutnya
dicoret dari data. Dengan demikian jumlah keluarga miskin akan otomatis
berkurang. (***)
*) Penulis adalah
rakyat miskin tanpa gelar akademik dan jabatan apapun, berdomisili di Pinggiran
Kota Padang – Provinsi Sumatera Barat, ponsel 0823 8455 6699 – redaksi media lain boleh mengutip sebagian
atau seluruh naskah tulisan di atas dengan syarat terlebih dahulu menghubungi
penulis dan mentransfer honorarium secara layak ke rekening bank: BRI (002) 5476 0101 6502 535 atas nama Zakirman Tanjung