Catatan Werry Darta Taifur
BERJARAK tidak lebih dari 10 km dari Kota Bukittinggi, Banto Royo
merupakan destinasi baru wisata di Provinsi Sumatera Barat. Peresmian Banto Royo yang berlokasi di Jorong Kaluang, Nagari
Kapau, Kecamatan Tilatang Kamang, Kabupaten Agam, ini sebagai objek wisata
dilaksanakan tiga bulan lalu. Oleh sebab itu, semua fasilitas yang tersedia
serba baru dan bahkan sebahagian masih sedang proses konstruksi.
Meskipun masih baru, objek wisata Banto Royo telah
dikenal banyak orang. Hal ini dapat dibuktikan dari jumlah pengunjung yang
cukup ramai pada hari Sabtu, 19 Januari 2019, ketika saya (penulis red) datang berkunjung. Dua lahan parkir yang
tersedia hampir dipenuhi kendaraan roda dua, roda empat dan bus ukuran sedang.
Konsep yang ditawarkan pengelola adalah wisata alam dengan memanfaatkan lahan yang tersedia di kaki bukit menjadi danau buatan. Selanjutnya pengelola membangun jembatan dari bambu, papan dengan berbagai variasi sekeliling danau buatan tersebut. Pengunjung dapat mengelilingi danau tersebut dengan berjalan kaki.
Sebagai alternatif, selain berjalan, pengunjung juga
dapat menggunakan sampan dengan berbagai ukur untuk berkeliling danau. Tentu
pengunjung yang menggunakan sampan harus mengeluarkan biaya lagi sebagai
sewanya menurut waktu yang digunakan. Sangat menarik, sambil mendayung sampan,
pengunjung dapat menyaksikan kumpulan ikan sepanjang lintasan yang dilalui.
Bagi pengunjung yang membawa anak-anak, cukup banyak tersedia pilihan arena dan jenis permainan, termasuk kolom renang. Permainan yang menantang juga tersedia, seperti flying fox, jembatan dari tali dan lain-lain.
Saat ini telah tersedia balkon untuk menjual makanan seperti yang ditemui pada objek wisata Ah Poong di Kawasan Sentul City, Bogor. Namun, belum tertata dengan baik. Hal ini mungkin disebabkan karena keberadaan objek wisata ini masih baru.
Destinasi wisata Banto Royo terlihat telah dikelola dengan
baik. Semula saya menduga objek wisata ini milik Badan Usaha Milik Nagari
(BUMNag) setempat dengan memanfaatkan dana desa. Ternyata dugaan saya meleset.
Informasi yang peroleh dari petugas Banto Royo, destinasi ini dibangun dan
dikelola investor – Andi Sahrandi, putra asli nagari setempat yang berdomisili
di Jakarta.
Akses menuju ke objek wisata Banto Royo sudah sangat bagus. Jalan sudah beraspal hot mix dan hanya memerlukan waktu tempuh tidak sampai 30 menit dari Kota Bukittinggi.
Harga karcis masuk berbeda pada hari akhir minggu atau libur dengan hari biasa. Pada hari libur, harga karcis masuk untuk satu orang dewasa Rp 20.000.
Semoga objek wisata Banto Royo terus berkembang karena
akan mampu mengerakkan ekonomi desa (nagari) dan dapat menciptakan lapangan
kerja baru.
***
Tanggapan Bupati Agam, Dr Ir H Indra Catri MSP
Terimakasih, Prof Werry Darta Taifur, atas
reportasinya terhadap Tempat Rekreasi Banto Rayo. Untuk menggenapi, berikut saya
tambahkan beberapa informasi agar masyarakat bisa memahaminya secara lebih
utuh. Begini ceritanya:
Tempat Rekreasi Banto Rayo itu berawal dari kesediaan Bang
Sahrandi memperbaiki Masjid Kaluang di Kapau. Setelah masjid selesai, beberapa
tokoh masyarakat – termasuk saya – meminta beliau memikirkan bagaimana membantu
membangun kampung agar bisa lebih cepat maju, sekaligus mendorong peningkatan
kesejahteraan mayarakat.
Di Kaluang ada rawa seluas kurang lebih 6 hektar yang
tidak terurus dan tidak terpakai. Awalnya ada pemikiran untuk menjadikannya
sebagai tabek gadang atau embung.
Mungkin karena beliau seorang arsitek dengan “jam terbang yang tinggi”, beliau justru
berpendapat lain.
Bang Sahrandi mengusulkan agar kawasan rawa tersebut
dimanfaatkan sebagai tempat rekreasi. Usul ini kemudian dirundingkan dengan
tokoh masyarakat, niniak-mamak, para pemuda dan lain-lain. Kesimpulannya:
masyarakat setuju.
Selanjutnya beliau dengan tim menyusun perencanaan dan
membangunnya dengan nama Tempat Bermain Banto Royo. Seluruh biaya dari beliau,
sedangkan seluruh hasil untuk masyarakat. Menurut laporan beliau, seluruh
tukang dan pekerja berasal dari masyarakat Kaluang.
Bang Sahrandi sama sekali tidak mengambil hasilnya.
Seluruh investasi beliau anggap zakat dan sedekah saja. Partisipasi masyarakat
dalam pembangunan terbukti cukup tinggi, bahkan aparat Kecamatan, perangkat
nagari, dan masyarakat sekitar ikut ambil bagian dalam pembangunan secara
gotong-royong.
Taman tersebut belum selesai 100%, mungkin baru 60%, tetapi
permintaan masyarakat agar segera dibuka untuk umum sangat besar. Menurut Bang
Sahrandi, permintaan tersebut sebaiknya diakomodasikan, sekalian dimaksudkan
agar crew bisa belajar mengelolanya.
Sekarang tempat itu sangat ramai dikunjungi. Penghidupan
masyarakat pun sangat tertolong, padahal fasilitas pendukungnya seperti area
parkir dan berjualan belum memadai. Sebagian persyaratan perizinan masih dalam
proses. Bahkan logonya saja belum selesai dan masih kami perdebatkan.
Karena kunjungan pada hari libur sangat padat, maka
belakangan ini diambil kesepakatan memberlakukan tarif masuk lebih tinggi pada hari
Minggu dan hari-hari libur lainnya dibandingkan hari biasa. Hal ini dimaksudkan
untuk mengurangi pengunjung. Sebab, pengunjung yang terlalu ramai akan kurang
menyenangkan. Mengambil “tuah ka nan
manang” (belajar kepada yang sudah sukses – red), beberapa tempat rekreasi
di Kota Bandung dan Jakarta juga memberlakukan ketentuan demikian.
***
Editor Zakirman Tanjung, mobile 0823 8455 6699