DI ANTARA banyak permasalahan yang kerap memicu pertentangan,
bahkan bisa menyulut tindakan pembunuhan dan penghancuran, adalah perkara
hubungan lelaki dan perempuan. Bukan sekadar hubungan sosial biasa melainkan
secara spesifik menyangkut kebutuhan biologis dan kasih-sayang. Perempuan
memang diciptakan Tuhan untuk melengkapi lelaki.
Dalam pergaulan manusia beradab, hubungan spesifik antara
pria-wanita berupa suami-isteri dilembagakan melalui proses akad-nikah. Segala
bentuk aturan mengenai tata pernikahan inipun telah pula dilahirkan, baik pada
tataran keagamaan, aturan pemerintah maupun budaya masyarakat. Tujuannya agar
tak terjadi kesewenangan.
Sayangnya, ketiga macam ketentuan tersebut nyaris tidak
selalu sejalan. Khususnya – sebagaimana penulis ketahui – terhadap pemahaman
Islam, terkesan banyak orang yang salah tafsir, setidaknya memaksakan pemahaman
secara tidak utuh. Akibatnya, terjadilah penekanan yang mengakibatkan
berlangsungnya penyimpangan hubungan.
Pemahaman tidak utuh dimaksud meluas sedemikian hebatnya
sehingga bagai telah terposisikan menjadi suatu sistem yang dianggap benar.
Siapa saja yang keluar dari sistem itu akan dianggap melakukan penyimpangan;
setidaknya secara sosial, meski untuk membawanya ke kasus hukum memerlukan
delik aduan.
Penyimpangan yang penulis maksudkan adalah melakukan
tindakan poligami atau beristeri lebih dari satu orang. Pihak-pihak yang
menentang poligami umumnya mendasarkan dalilnya kepada Al Qur’an khususnya
surah An-Nisaa’ ayat 3:
Dan jika kamu kuatir tidak akan mampu berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah
perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu
kuatir tidak mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba
sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu
tidak berbuat zalim.
Kalau hanya mendasarkan kepada ayat tersebut, pendapat
anti poligami boleh jadi benar. Kalau tidak sanggup berlaku adil terhadap para
isteri, hendaklah beristeri satu orang saja. Pemahaman ini sepertinya sudah
menjadi pembenaran, bahwa tidak ada suami yang benar-benar berlaku adil
terhadap isteri-isterinya, karenanya melakukan poligami dianggap sebagai suatu
penyimpangan.
Hanya saja, barangkali karena didorong oleh pemikiran
yang sempit atau egoisme hendak menguasai, banyak orang – terutama kalangan
perempuan – yang terkesan tidak mencermati; masih ada kelanjutan firman Allah
Subhannahu Wa Ta'ala tentang poligami tersebut.
Lebih jelasnya, bisa dibaca pada ayat 129 dalam surah
yang sama: Dan kamu
tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat
ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada
yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika
kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka
sesungguhnya Alah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
Dengan kata lain, Allah ï·» sudah memvonis atau
menegaskan, bahwa tidak ada manusia yang benar-benar mampu berlaku adil.
Karenanya, Tuhan hanya menganjurkan, agar suami yang berpoligami tidak terlalu
cenderung kepada isteri yang paling disukainya – biasanya isteri muda, karena
lebih cantik, menarik dan punya daya.
***
MENGAPA poligami
menjadi solusi alternatif, bahkan Tuhan membolehkan dengan mengaturnya secara
khusus di dalam Al Qur’an? Pada sisiNya tentu ada alasan dan pertimbangan!
Namun, secara logika bisa dijelaskan, bahwa tingkat kebutuhan biologis umumnya
lelaki jauh lebih tinggi jika dibanding tingkat kebutuhan biologis umumnya
perempuan.
Sebab, kebutuhan biologis umumnya lelaki tanpa batas
waktu dan usia, terkadang tidak pula terpengaruhi oleh faktor-faktor
psikologis. Malah, penyaluran hasrat biologis bagi lelaki tertentu menjadi
pelepasan beban atas masalah yang dihadapinya. Sebaliknya, perempuan secara
berkala dibatasi oleh munculnya masa menstruasi dan nifas usai melahirkan. Itu
pada masa subur. Kemudian menjelang usia tua, perempuan memasuki fase
monopause.
Akibatnya, entah lantaran imannya lemah ditambah ketidaksanggupan
menahan gejolak serta didukung oleh peluang, lelaki tertentu pun memilih
berselingkuh untuk melabuhkan kapalnya dari ombang-ambing samudera syahwat.
Perselingkuhan itu bisa dilakukannya secara instan dengan membeli kontan atau
dengan teman wanita lainnya.
Selain itu, fakta menunjukkan, jumlah perempuan yang siap
bersuami jauh lebih banyak jika dibanding dengan jumlah lelaki yang siap
beristeri. Ini bukan berdasarkan angka statistik di suatu wilayah, negara atau
dunia melainkan realita kesiapan psikologis dan ekonomi. Syarat bersuami bagi
perempuan tak seberat syarat beristeri bagi lelaki.
Karenanya, banyak kejadian lelaki memaksa pacar yang
terlanjur ia hamili untuk menggugurkan kandungan. Kalau menolak, ya ditinggal
pergi atau secara tak berprimanusiaan membunuh perempuan yang telah memberikan
kenikmatan kepadanya. Alasan yang mengemuka umumnya ketidaksiapan lelaki itu
bertanggungjawab.
Lalu, lelaki mana sesungguhnya yang relatif lebih
memiliki kesiapan bertanggungjawab secara formal? Jawabnya, tiada lain
tentulahumumnya lelaki yang sudah beristeri. Artinya, lelaki dimaksud – dengan
kriteria tertentu – siap secara psikologis beristeri lagi; satu, dua atau tiga
orang sekali jalan.
***
ITU baru
dari sisi lelaki! Dari sisi perempuan, poligami bisa menjadi satu solusi untuk
mendapatkan hak bersuami. Selain karena alasan jumlah perempuan yang siap
bersuami jauh lebih banyak jika dibanding dengan jumlah lelaki yang siap
beristeri, banyak janda yang kesulitan mendapatkan calon suami. Sebab, jika mengharapkan
lelaki lajang akan cukup mustahil, sedangkan duda punya kecenderungan mencari
gadis.
Solusinya, sistem dan hukum pernikahan harus disesuaikan,
baik dengan hukum Islam maupun dengan realita yang ada. Upaya ke arah itu
sebenarnya sudah gencar dilakukan pihak tertentu semenjak undang-undang (UU)
nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan diberlakukan. Namun, hingga hari ini UU
itu masih tetap tegar.
Terakhir, Kamis 10 Mei 2007, seorang pengusaha asal
Jakarta Selatan M Insa mengajukan permohonan uji materiil pasal pembatasan
poligami yang diatur dalam UU 1/1974 itu. Yakni pasal 3 ayat (1) dan (2), pasal
4 ayat (1) dan (2), pasal 5 ayat (1), pasal 9, 15 dan pasal 24.
Intinya, seseorang harus mendapatkan izin pengadilan
untuk melakukan poligami. Dalam hal ini, pengadilan hanya bisa memberikan izin
poligami kepada suami yang isterinya tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai
isteri karena cacat badan atau tidak dapat memberikan keturunan. Persetujuan
isteri pertama (sebelumnya) juga menjadi hal yang utama.
Bila dibanding dengan paparan penulis di atas, alasan
yang dikemukakan UU 1/1974 jelas sangat tidak logis. Menurut M Insa pula,
berpoligami merupakan haknya dan hak calon isteri kedua, ketiga dan keempat
sebagaimana maksud Al Qur’an surat An-Nisaa’ ayat 3 dan 129. Lelaki ini pun tak
mau melakukan pernikahan sirri atau di bawah tangan untuk melindungi hak anak
hasil poligami, terutama menyangkut hak waris dan hak memperoleh pelayanan
hukum seperti akte kelahiran.
***
TERLEPAS dari
pandangan hukum dan sistem kemasyarakatan yang terlanjur mengikutinya, praktik
poligami selayaknya dilegalkan demi melindungi hak-hak kaum lelaki yang
membutuhkan dan hak-hak sebagian perempuan yang kesulitan mendapatkan calon
suami. Sudah saatnya menghentikan pandangan negatif terhadap poligami!
Menjelang kampanye pemilihan umum (pemilu) legislatif
tahun 2004 yang mengharapkan keterwakilan perempuan di lembaga wakil rakyat
minimal 30 persen, penulis sempat terlibat dialog dengan narasumber calon
legislatif (caleg) perempuan melalui satu stasiun radio. Melalui telepon dalam
siaran on air itu penulis, menyatakan kuota 30 persen itu takkan tercapai.
Secara hampir bersamaan, pemandu acara dan narasumber pun
mempertanyakan alasan penulis. Secara gamblang penulis jelaskan, karena sesama
perempuan tidak terbangun jaringan solidaritas yang solid. Jadi, akan sangat
dikuatirkan, mayoritas perempuan pemilik hak suara pemilu tidak akan memilih
caleg perempuan pula.
Apa dalil anda menyatakan sesama perempuan tidak
terbangun solidaritas? tanya pemandu acara yang juga seorang perempuan. Jawab
penulis; kalau saja perempuan memiliki solidaritas, para isteri akan
menganjurkan suaminya menikahi perempuan lain, gadis atau janda, demi
menyelamatkan perempuan itu dari kemungkinan tidak dapat calon suami.
Bahkan, dalam berbagai kesempatan penulis kerap
mengemukakakan, isteri yang taat menunaikan ibadah kepada Khaliknya serta patuh
dan mengabdi kepada suami, di antaranya dengan mengikhlaskan suami beristeri
lagi, niscaya di akhirat kelak pintu-pintu surga akan terbuka untuknya.
Pemandu acara dan narasumber di studio radio itu
terdengar heboh dengan menandaskan, kalau menyuruh suami berpoligami – itu
bukanlah solidaritas. Sebab, mana ada isteri yang rela suaminya menikah lagi?
(Kalau dikibuli suami dengan cara berselingkuh, tidak apa-apa bukan?-pen).
Kenyataannya, hasil pemilu legislatif 2004 tidak
menunjukkan terpenuhinya kuota keterwakilan 30 persen anggota legislatif
perempuan, meski syarat itu lebih ditujukan sebagai imbauan kepada pimpinan
partai politik dalam menyusun daftar caleg. Fakta lain, Calon Presiden RI
Megawati Soekarnoputri tak berhasil meraup semua suara perempuan pemegang hak
pilih, terlepas dari persoalan politik atau lainnya.
***
KETIKA mubaligh
kondang Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) mengakui dirinya telah melakukan poligami,
beragam tanggapan miring pun teralamatkan kepada dirinya. Ujung-ujungnya, pamor
Aa Gym yang sedang meroket tiba-tiba merosot tajam. Ia bukan hanya tidak lagi
dielu-elukan melainkan ditinggalkan bahkan dibenci.
Padahal, mudah-mudahan, apa yang dilakukan Aa Gym
merupakan tindakan jihad untuk meluruskan pemahaman ummat Islam sendiri tentang
poligami. Sayangnya, suara isteri pertama Aa Gym, Ninih Muthmainah, yang
menyatakan ikhlas suaminya menikah lagi bagai tidak diapresiasi. Malah, banyak
orang meragukan ketulusan pengakuan itu!
Masalahnya, mungkin, Aa Gym mendadak saja melakukan
poligami. Andai saja sebelumnya ia menyosialisasikan rencana akan berpoligami
dengan memaparkan visi-misinya, barangkali reaksi publik takkan begitu negatif.
Sebaliknya, bisa jadi, poligami akan diterima masyarakat sebagai suatu
alternatif solusi dalam mengatasi permalahan ummat.
***
MEMANG, tindakan
melakukan poligami bagi suami bukanlah pilihan mudah. Persoalan yang bakal
dihadapi kemudian tidak semata-mata menyangkut kemampuan memenuhi nafkah lahir
berupa materi dan nafkah batin berupa kemampuan melakukan hubungan biologis,
tetapi lebih dari itu, mengelola perasaan para isteri.
Karenanya, pilihan melakukan poligami mesti disikapi
secara cermat dengan melakukan kajian menyeluruh sebelum melakoninya. Faktor
kemampuan ekonomi tentunya tetap menjadi perhatian utama meskipun hal itu tidak
mutlak. Sebab, ada perempuan yang butuh bersuami bukan karena hendak
menggantungkan diri secara materi melainkan lebih didorong kebutuhan memperoleh
pasangan hidup.
Bagaimanapun, walau melakukan poligami dibolehkan Tuhan
sebagaimana termaktub dalam Al Qur’an, suami tetap saja tidak dibolehkan
melakukannya dengan semena-mena. Aspirasi isteri dan anak-anak tetap wajib
menjadi perhatian kendati tidak dalam bentuk persetujuan yang dipaksakan.
Kuncinya terletak pada kepiawaian suami dalam melakukan
pencerahan terhadap isteri menyangkut ajaran dan pemahaman Islam. Bangunan
demokrasi yang utuh di dalam keluarga diyakini akan membuka cakrawala berpikir
tentang betapa pentingnya makna berbagi kepada sesama. Perilaku egoisme justru
akan menjauhkan seseorang dari nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki.
Guna mewujudkan pola perilaku dan tatanan berpoligami
yang santun, mau tak mau, keterlibatan pihak lain dalam bentuk bantuan
konsultasi akan sangat mendukung. Dalam hal ini, pihak-pihak yang bisa
diharapkan perannya antara lain para ‘ulama yang memahami bidang ini.
Di sisi lain, secara kelembagaan pemerintah, Kementerian Agama sendiri sudah menyediakan layanan konsultasi untuk ini. Namanya Badan
Penasehatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) yang berbasis pada
semua Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan di seluruh Indonesia.
Tausiyah mencerahkan tentang poligami, Maa Syaa Allah
= Penulis adalah pemerhati masalah-masalah sosial dan
kemanusiaan serta penggagas & pengelola Biro Jasa Fasilitasi Poligami
(BJFP), bermukim di Sumatera Barat – CP WA 083180225955
Terimakasih, makin mencerahkan dan menguatkan pemaham ttg poligami secara legal formal sebagai solusi dari illahi Rabbi
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapushadeeuuh kebanyakan alasan, excuse, pembenaran, padahal udah jelas2 beristri satu aja, kemudian klo semakin tua ya fokus lah dengan melepaskan hal2 keduniawian, dekatkan diri ke Tuhan, ini malah banyakan gaya kawin dengan wanita lain.
BalasHapusini namanya nafsu dibiarkan bebas, harusnya nafsu itu di disiplinkan, agar jiwa kita semakin bersih dan dekat dengan Tuhan. setia lah pada 1 istri hingga akhir hayat, jadikan dirimu inspirasi akhlak yang baik bagi anak cucu mu. jangan mengumbar nafsu dengan mengawini banyak wanita, kita ini manusia yang derajatnya paling tinggi, bukan hewan. bersyukurlah krn kita bisa menentukan jalan hidup terbaik utk mencapai Tuhan.
BalasHapus