Catatan Prof Dr Duski Samad MA
Tuanku Mudo
A.
Pendahuluan
Suku
Minangkabau adalah orang beradat. Bagi orang Minang sebutan orang tidak beradat
adalah penghinaan yang sulit dimaafkan.
Kata adat berasal
dari bahasa Sangskerta, dibentuk dari kata “a” dan “dato”. “A”
artinya tidak. “Dato” artinya sesuatu yang bersifat kebendaan. Jadi “adat”
pada hakikatnya adalah segala sesuatu yang tidak bersifat kebendaan. Hal ini
merupakan lanjutan dari kesempurnaan hidup, di mana nilai kehidupan tidak
terpaku kepada nilai-nilai benda atau kekayaan yang dimiliki.
Menurut
latar belakang sejarahnya, kesadaran tentang adat muncul semasa masyarakat
hidup makmur, penduduk sedikit sedangkan kekayaan alam berlimpah-ruah. Pada
saat itu manusia sampai kepada kesadaran akan adat, yakni kesadaran bahwa nilai
sesuatu bukan diukur dengan benda. Selagi
manusia masih diperhamba harta-benda, pada saat itu pula manusia dapat
dikatakan belum beradat.
Buah harapan di tengah kegelisahan
Itulah
ungkapan yang menjadi cita-cita, ketika jatuh-bangun kehidupan belum juga
memperlihatkan tanda tercapainya yang dituju. Kata keramat yang sering
dijadikan mantera untuk menerobos kebekuan itu adalah transformasi.
Transformasi
lebih dekat disamakan dengan perubahan. Tranformasi hanya dapat dilakukan oleh
orang yang sudah tercerahkan. Semangat transformasi bermula dari pertanyaan ada
apa yang ada di sekitarnya?
Saatnya
orang harus diam sejenaknya untuk menemukan jawaban bagaimana harus menemukan
situasi baru. Orang harus mampu melakukan perubahan dari dalam dirinya.
Spirit untuk berubah dimulai dari semangat berkorban. Hanya orang-orang yang
memiliki spiritual religius yang dapat melakukan pengorbanan melebihi daya
kemampuan biasa. Perubahan bukanlah mukjizat, ia harus diusahakan dan usaha
itulah yang menjadi asbab adanya perubahan. Dalam kaitannya dengan nilai-nilai
luhur adat Minangkabau, amat patut dilakukan transformasi yang mendasar dan
berkelanjutan.
B.
Beradat di Tengah Perubahan
Perubahan
sosial telah dengan nyata mengerus sistem adat dan sistem sosial yang
sudah mapan. Keterbukaan dan kecepatan perubahan menjadi peluang, sekaligus
ancaman, bagi keberadaan adat. Menjadi beradat yang maksudkan di sini adalah
membuat adat tidak sekadar diketahui, dibincangkan ataupun dipidatokan, akan
tetapi lebih pada memperlihatkan adat dalam setiap denyut kehidupan. Pertanyaan
yang harus dijawab, apakah adat saat ini tidak dapat dilakukan lagi?
Jawabannya
tentu boleh iya atau tidak. Iya, karena memang adat masih ada. Tidak, karena
sebahagian adat tinggal jargon dan selonsong kosong belaka.
Menjadi
beradat di zaman kini dapat dirasakan dari dua sisi, yaitu adat sebagai
kearifan lokal (local wisdom) yang masih kuat di nagari, disebut
sebagai adat salingka nagari, dan adat sebagai nilai (values)
sosial dan kemasyarakatan. Memproteksi (menjaga) adat salingka nagari merupakan
suatu kiat untuk beradat di era global. Setiap nagari mempunyai adat dan
kebiasaan sendiri, biasanya dikemukakan dalam ungkapan, adat salingka nagari
(adat dalam lingkungan nagari), karena itu biasa disebut bahwa nagari di
Minangkabau adalah otonom.
Nagari
membuat orang sa-nagari (yang berasal dari satu nagari)
mempunyai rasa keterkaitan emosional yang tinggi, merasa senasib dan
sepenanggungan, baik di waktu senang maupun susah, suatu perasaan yang tidak
dirasakan oleh orang yang mendiami satu desa di kota. Jika jauh di rantau,
rasa sanagari membuat orang sanagari mempunyai
rasa kepedulian yang tinggi satu sama lain, perantau yang berhasil akan
mengirim bantuan ke kampung halaman, maksudnya ke nagarinya, misalnya
untuk pembangunan nagari. Orang yang berasal dari satu nagari merasa badunsanak.
Tak heran jika ada paguyuban (organisasi kampung halaman) di rantau berasal
dari satu nagari.
Wujud nyata
yang melanggengkan nagari dengan sistem adat yang melingkupinya adalah karena
ada sistem kekerabatan matrilineal, menurut garis keturunan ibu. Karena sistem
kekerabatan ini merupakan sistem keturunan tertua. Yang menjadi penting
untuk ditilik lebih dalam dan akhirnya terus diupayakan dilaksanakan adalah
menjadikan sistem keibuan ini sebagai simpul adat salingka nagari. Sisi lain
yang juga tak boleh terabaikan adalah menjadikan adat salingka nagari sebagai
basis dalam pembangunan nagari sesuai semangat kembali ba-nagari.
Adat sebagai sistim nilai
Nilai-nilai
kehidupan yang pada mulanya bersifat kebersamaan, di masa sekarang cendrung
bersifat individual. Nilai-nilai kehidupan selama ini tumbuh di nagari,
sekarang kecendrungan masyarakat lebih suka hidup di perkotaan. Pada masa doeloe norma
kehidupan berpegang kepada budi dan rasa malu, sekarang cenderung mulai meninggalkan
sifat tenggang rasa. Fenomena seperti itu sering menjadikan adat Minangkabau
yang mempunyai banyak sekali nilai-nilai ideal itu mulai jadi bahan cercaan.
Nilai-nilai
universal dalam masyarakat Minangkabau berkaitan dengan nilai-nilai adat dan
syarak dapat dikategorikan ke dalam 6 kelompok, yaitu: (1) nilai-nilai
ketuhanan, (2) nilai-nilai kemanusiaan, (3) nilai-nilai persaudaraan atau
ukhuwah Islamiyah / kesatuan dan persatuan, (4) nilai musyawarah dan demokrasi,
(5) raso pareso / akhlak / budi pekerti, (6) gotong royong / sosial
kemasyarakatan.
Keenam
nilai-nilai tersebut semestinya sangat dipahami oleh para ninik-mamak pemangku
adat Minangkabau dan menjadi perilakunya sehari-hari, karena ninik-mamak adalah
suri-teladan bagi sanak-kemenakannya.
Kenyataannya
tidak terlalu sulit menunjukkan bahwa menjadikan nilai-nilai itu sebagai perilaku
masih jauh panggang dari api, kalau tidak mau dikatakan banyak sekali yang
sudah tidak mengindahkan lagi. Di sinilah pentingnya menjadikan beradat sebagai
tekad bersama untuk kebaikan di masa datang.
Dari segi
realitas sosial budaya dan moralitas masyarakat falsafah, kepribadian dan nilai
ABS SBK (Adat Bersendi Syara’, Syarak Bersendi Kitabullah – editor) tidak
sepenuhnya dapat ditunjukkan pada perilaku masyarakat Minangkabau, jika tidak
dikatakan terjadi kebangkrutan nilai, etika dan style hidup masyarakat
Minangkabau kini dari apa yang dituntun oleh ABS SBK itu.
Konsep dasar
adat Minangkabau (Adat Nan Sabana Adat) adalah kesadaran kolektif berupa
pandangan dunia dan pandangan hidup manusia – hal itu diungkapkan melalui
bahasa. Keseluruhan pepatah, petitih, mamang, bidal dan pantun yang berisikan
gagasan-gagasan bijak itu dikenal sebagai kato
pusako. Kato pusako itu yang kemudian dilestarikan secara
formal lewat pidato-pidato adat dalam berbagai upacara adat.
Sastra lisan
juga merekam kato pusako dalam
kemasan cerita-cerita rakyat, seperti Cindua Mato. Gagasan dan pandangan hidup
masyarakat Minangkabau juga diungkapkan melalui seni musik (saluang, rabab),
seni pertunjukan (randai), seni tari (tari piriang) dan seni bela diri (silek
dan galombang). Benda-benda budaya (karih, pakaian pangulu, mawara dll), bangunan
(rumah bagonjong) serta artefak lain-lainnya sehingga masing-masing menjadi
lambang dengan berbagai makna.
Konsep inti
Adat Minangkabau (Adat Nan Sabana Adat) itulah kemudian yang memengaruhi sikap
umum dan tata-cara pergaulan, yang lebih dikenal sebagai Adat nan Diadatkan dan
Adat nan Taradat serta adat istiadat. Sinkronisasi adat dan Islam itu kemudian
menjadi pribadi dan konsep diri setiap individu orang Minangkabau. Itu pulalah
sebabnya orang Minangkabau terkenal dengan adatnya yang kuat. Adat sangat
penting dalam kehidupan masyarakatnya. Oleh karena itu dalam petatah Minangkabau
diungkapkan, hiduik dikanduang adat.
C.
Adat, Syarak dan KNMN
Hubungan
adat dan syarak sudah final dan mengikat semua anak nagari Minangkabau.
Kekhasan hubungan yang sudah menjadi pandangan hidup orang Minangkabau
dinyatakan dalam empat prinsip adat yang tak lapuak dek hujan dan tak lekang
dek paneh.
(1). Sistim Nilai. Adat yang secara konsisten
berlandaskan syariat Islam. Filosofi Adat Basandi Syarak, Syarak
Basandi Kitabulllah (ABS SBK) adalah pilihan kata cerdas, bijak dan
adaptif dengan sistem pemikiran yang terus berkembang, termasuk pemikiran
keislaman itu sendiri. Filosofi ABS SBK itu tidak dibiarkan multitafsir, akan
tetapi dijelaskan dengan syarak mangato adat mamakai (SMAM).
Kemudian diperkuat lagi dengan kajian empiris, alam takambang jadi guru (ATJG).
Kemudian diberi isi dengan kaidah Syarak Nan Qawi, adat nan lazim (SQAL).
(2). Sistim kepemimpinan. Pemimpin ditempatkan pada posisi
yang memadai; dari, oleh dan mengabdi pada yang dipimpin. Didahuluan
salangkah, ditinggian sa-ranting, tumbuh dek ditanam, tinggi dek dianjuang,
gadang dek dilambuak. Ini menegaskan bahwa kepemimpinan di Minangkabau
tidak menganut sistem aristoraksi dan feodalistik.
(3). Sistim pengambilan keputusan. Adat Minangkabau dengan bijak
menetapkan pengelolaan masyarakat sesuai tingkatnya pada asas musyawarah, bulek
air dek pambuluh, bulek kato jo mufakat.
(4). Sistem
Kolektifitas. Kedudukan
Tungku Tigo Sajarangan, Tali Tigo Sapilin (TTS) yang unsurnya adalah ninik-mamak,
‘alim-‘ulama dan cadiak-pandai adalah satu-kesatuan dalam tupoksi (tugas pokok
dan fungsi – ed) yang berbeda. Dengan demikian maka terbangun semangat
kekeluargaan sa-hino sa-mulia, kaba baiak baimbauan kaba buruak
bahambauan.
Pada alur,
alir dan aras pemikiran yang empat seperti di atas, mestinya dikembangkan dalam
meneruskan kesatuan adat dan Islam. Pemimpin adat dan pemimpin formal kini
tidak cukup kuat untuk mewariskannya. Peremehan nilai, norma dan aturan adat
dan agama dalam prilaku individu, keluarga dan institusi – karena kuatnya gaya
hidup hedon, materialistik, dan lemahnya mentalitas pemimpin – adalah bahaya
besar bagi masa depan anak nagari Minangkabau.
Ditambah
lagi dengan kondisi terkini, di mana tengah terjadi keruntuhan wibawa institusi
formal pemegang taraju adat dan syarak, LKAAM (Lembaga Kerapatan Adat Alam
Minangkabau – ed) dan MUI (Majelis ‘Ulama Indonesia – ed) di mata pemerintah
daerah sama saja dengan organisasi sosial kemasyarakatan biasa, tidak diberi
bantuan setiap tahun, tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan penting,
hanya dimintai bantuan sebagai “pemadam
kebakaran” dalam masalah sosial kemasyarakatan dan untuk menjadi penanti
tamu dalam acara serimonial. Tak dapat dipungkiri, kondisi tak menentu ini
berdampak bagi melemahnya peran TTS di segala lini.
Mengapa itu
terjadi? Rabab sajo-lah nan manyampaikan.
Di
tengah-tengah perubahan pola pikir dan kecepatan informasi yang sulit
menyaringnya, kehadiran Kerapatan Ninik Mamak Nagari (KNMN) adalah secercah
harapan di tengah kegalauan. Bagaikan cahaya lampu di tengah gulita. Harapan
ini dapat berbuah saat niat, landasan dan tujuan pemimpin organisasi KNMN
selalu kokoh berada pada garis shiratal mustaqim. Ketika niat sudah
berubah, landasan bergerak dan tujuan beralih pula, maka alamat biduk ini akan
karam sebelum mencapai pulau cita-cita. Semoga kearifan, keikhlasan dan
ketulusan menjadi sikap hidup sang pejuang KNMN, aamiin.
Wallahumusta’anu
‘ala matshifun. Terimakasih –
Duski Samad, 10082018.
*) Penulis adalah Guru Besar
Universitas Islam (UIN) Imam Bonjol – Padang, materi di atas dipaparkan Duski
Samad pada acara Pengukuhan KNMN Padang Pariaman, Sabtu 11 Agustus 2018 > http://www.canangnews.com/2018/08/gubernur-sumbar-kukuhkan-knmn-padang.html -- editor Zakirman Tanjung (email
> tzakirman@gmail.com)