Catatan Asrul Khairi
Aktivis Suara Komunitas
SEPERTI dilansir banyak media, Presiden Joko
Widodo baru-baru ini telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) No 19/2018
tentang Pembayaran Penuh Tunjangan Hari Raya (THR) Pegawai Negeri Sipil (PNS), Prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI), Anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia
(Polri), Pejabat Negara dan Pensiunan. Jumlah kalkulasi anggaran yang
harus dibayarkan sebesar Rp35,7 triliun, jauh melambung naik jika dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya berjumlah Rp17,9 triliun.
Selaras dengan itu, Kementerian
Dalam Negeri (Kemendagri) dengan sigap menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor:
903/3387/SJ tertanggal 30 Mei 2018. Terbitnya sepucuk surat sakti Kemendagri ini dinilai banyak pihak
berpotensi besar menimbulkan kegaduhan APBD(Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah –red). Penerbitan SE yang bersifat segera tersebut ditujukan
kepada Walikota / Bupati di seluruh Indonesia dengan muatan perintah
pembayaran THR dan Gaji ke-13dibebankan
langsung pada APBD masing-masing daerah.
Kontan saja dengan beban
tambahan yang menunggangi APBD di tengah tahun
berjalan memberikan efek kejut
yang sangat luar biasa bagi rasionalisasi anggaran daerah. Seperti memotong
jalur, SE Kemendagri –tak pelak – membuat bertumbuh-tambahnya anggaran belanja pegawai.
Viralnya SE Kemendagri ini
mendapat berbagai corak tanggapan dari masyarakat, maupun netizen di jejaring sosial.
Menurut mereka, rata-rata pemerintah daerah sudah
sangat tinggi mengakomodir belanja pegawai. Hal ini bisa diintip dari pos anggaran
belanja pegawai APBD berada di kisaran 60%-an, bahkan ada kabupaten/kota yang menganggarkan lebih, ditambah lagi beban baru APBD untuk THR +
Gaji 13.Wallahu’alam bisawab.
Sebut saja Kabupaten Padang
Pariaman.Tahun 2018 APBD kabupaten ini Rp1,4 triliun. Kalau kita intip BPS (Badan Pusat Statistik-red), sumber data dari Badan
Kepegawaian dan
Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSM) Padang Pariaman, jumlah PNS dalam lingkungan pemerintah kabupaten ini mencapai 7.858 ribu orang – belum termasuk tenaga honorer ditambah
anggota DPRD beserta pimpinannya, dengan jumlah angka sebanyak itu kita yakin
dan percaya pemerintah daerah harus putar otak untuk merealisasikan pembayaran dana
tersebut (THR + Gaji ke-13).
Sekarang bagai mana nasib kabupaten/ kota yang
APBD-nya rentan devisit?
Sesuai dengan instruksi Mendagri Tjahjo Kumolo, untuk
mengupayakan perealisasian pembayaran THR + Gaji ke-13, pemerintah daerah diperkenankan
menggeser anggaran kegiatan yang sudah fix tanpa harus menyesuaikan nomenklatur.
Hal ini diyakini memicu munculnya persoalan baru di daerah.
Tentu saja imbas dari
pergeseran kegiatan tersebut tercoretnya anggran kegaiatn lain yang seyogyanya
dari awal sudah masuk dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD).
Sungguh disayangkan, ketika
sebuah kegiatan sudah masuk pada tahap pra-realisasi harus disurutkan kembali. Sudah lazim
di negara kita, terkadang proses kegiatan untuk sampai mendapat mata anggaran
menelan waktu yang sangat panjang, mulai dari proses identifikasi, usulan yang berjenjang
dari bawah (masyarakat – RT/RW – kelurahan / desa / nagari – kecamatan hingga ke kabupaten/kota), berjuang masuk
daftar tunggu, hingga menuju prioritas kegiatan, setelah itu baru sampai pada
realisasi mata anggaran.
Bongkar muat kegiatan APBD
di tengah jalan ini tentu tidak segampang
yang kita bayangkan seperti bongkar muat barang di pelabuhan kargo, ekspektasi publik tentu
saja kepala daerah dituntut konsistensinya untuk mempertaruhkan visi pembangunan
kabupaten/kota.
Sekarang, tentu kepala
daerah berserta jajarannya sibuk
mengotak-atik ulang anggaran kegiatan. Perlu
diingat, kalau tidak hati-hati dalam penggeseran mata anggaran, sang kepala
daerah dan pimpinan bisa dianggap sebagai aktor penyalah -gunaan anggaran. Tentu bisa berdampak
tragis terhadap penerapan undang-undang Tipikor KPK nomor 31 tahun 2001, pasal
3 dan 8 tentang keuangan negara.
Pada dasarnya kita sepakat,
bahkan sangat mengapresiasi perhatian pemerintah pusat terhadap peningkatan
kesejahteraan pegawai melalui THR + Gaji ke-13. Namun, perhatian yang berlebih ini kita
harapkan tidak menjadi cinta buta. Mesti harus mempertimbangkan dampak
rasionalisasi yang tinggi. Terakhir, tentu saja setiap rencana itu mesti ada
kajian dari awal, tidak semerta-merta datang menyeruduk menjadi beban bagi yang
ditumpanginya. (*)