Catatan
Zakirman Tanjung *)
MIRIS! Itulah kesan pertama
saya ketika mendapati banyak postingan bernada sumpah-serapah di media sosial
semenjak Jumat (11/5/2018) dinihari terkait kekalahan Arif Firman (tidak masuk
grand final) pada ajang liga dangdut pada satu televisi swasta nasional. Dapat
saya pastikan, para pemosting adalah pendukung fanatik, pengagum atau bahkan
pemuja Arif.
Kehadiran
Arif sebagai peserta pada ajang tersebut sejak tayangan perdana, Kamis 18
Januari 2018, sepertinya langsung menyedot perhatian masyarakat Kabupaten Padang
Pariaman khususnya dan masyarakat Provinsi Sumatera Barat umumnya, baik yang
berdomisili di kampung halaman maupun di perantauan. Terlebih setelah Arif
berhasil maju tahap demi tahap, anak muda berkebutuhan khusus itu seakan jadi
fenomenal.
Namun,
perjuangan mahasiswa Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri Padang itu harus
berakhir, Kamis malam atau Jumat dinihari, setelah dewan juri ajang liga
dangdut itu menyatakan Arif tidak masuk grand final. Dia harus puas menerima
posisi sebagai juara ketiga dengan hadiah konon sebesar Rp200 juta.
Dari
postingan di media sosial yang saya baca, para pendukung Arif sepertinya sangat
kecewa. Mereka mengecam panitia penyelenggara dan dewan juri yang mereka tuding
tidak fair alias tidak sportif atau tidak jujur. Sebab, menurut mereka, dewan
juri seharusnya Arif sebagai peserta terbaik dengan memaparkan keunggulan pria
asal Kenagarian Kasang, Kecamatan Batang Anai, itu dari segala sisi.
Sayangnya,
mereka – para pendukung Arif – sepertinya lupa, bahwa penyelenggara ajang
tersebut bukanlah lembaga publik super independen dengan integritas teruji
seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), melainkan televisi swasta yang dikelola
pengusaha dengan orientasi bisnis. Selain itu, mereka sepertinya juga lupa,
yang namanya perjuangan tak selalu berujung manis. Sejak dahulu telah ada
ungkapan, kegagalan adalah keberhasilan yang tertunda.
*
Dalam
hal ini, saya tertarik pada dan sengaja mengutip postingan Tomi Tanbijo pada
media sosial, Jumat (11/5/2018) pukul 11.11 WIB > https://web.facebook.com/tomi.tanbijo/posts/10204647587586469
Kalau dihitung-hitung memang mahal untuk
jadi seorang artis idola itu. Apalagi kalau wadah sang artis dilahirkan dari
panggung pencarian bakat.
Bagi pendukung yang dikedepankan mendukung
calon artis idola itu ada landasan primordialisme, fanatisme, faktor kemampuan
maupun rasa iba.
Semua rasa dari pendukung itu diwujudkan
dengan sumbangan materi, baik melalui pengiriman SMS maupun melalui aplikasi
berbasis internet.
Mengirim dukungan via SMS maupun via
aplikasi internet itu tak gratis. Semua pakai duit alias uang atau biaya.
Semua rasa yang muncul dari pendukung itu
oleh pihak penyelenggara acara sengaja dipupuk, karena di sanalah kesempatan
bisnis itu ada.
Bagi pendukung sang calon artis yang
dikedepankan itu rasa, sedangkan oleh penyelenggara acara pencarian bakat yang
dikedepankan itu bisnis.
Arif Firman putra Kasang, Padang Pariaman
yang ikut ajang Liga Dangdut Indosiar misalnya. Tak terbayangkan sudah berapa
duit dihabiskan oleh para pendukung untuk mendukung Arif. Sebaliknya, entah berapa
duit pula yang dikumpulkan penyelenggara acara, baik dari royalti SMS maupun
dari penggunaan paket data dukungan melalui format aplikasi di salah satu situs
belanja online.
Coba hitung kasar saja berapa duit
pendukung menguap dari SMS premium. SMS premium dukungan acara tersebut
tarifnya Rp2.200 per-SMS.
Kalau diambil rata-rata, setiap kali Arif
Firman tampil misalnya ada 1 juta SMS dukungan dikirim, kalau dikalikan
Rp2.200, maka Rp2,2 milliar uang menguap melalui SMS. Kalau dalam acara
pencarian bakat itu katakanlah Arif tampil 10 kali,sama dengan 10 juta dukungan
SMS. Artinya ada Rp22 milliar uang pendukung Arif menguap begitu saja untuk
ajang tersebut.
Itu baru dari satu peserta. Kalau ada 10
peserta, angkanya Rp220 milliar. Sebanyak itulah duit dikumpulkan penyelenggara
dari acara tersebut.
Itu baru dari akumulasi SMS premium
dukungan, belum lagi pendapatan dari penyedotan paket data oleh penyedia
aplikasi dukungan.
Belum pula pendapatan penyelenggara dari
tayangan iklan, pendapatan dari sponsor dan sumber lain sebagainnya. Begitu
benar hebatnya bisnis acara.
Apapun cara penyelenggara dalam meraup
keuntungan, itu kejelian dan hebatnya mereka mengemas acara pencarian bakat
menjadi bisnis.
**
Timbul
pertanyaan, apakah analisa yang dipaparkan Tomi Tanbijo itu terpikirkan oleh
para pendukung fanatik Arif? Jawabnya, mungkin tidak. Jika seseorang sudah
dikuasai emosional, logikanya cendrung tidak berfungsi, apalagi iman. Padahal,
Tuhan memberi kita otak untuk berpikir. Dalam hal ini, otak (olah, teliti,
analisa, kesimpulan) merupakan organ tubuh yang memungkinkan seseorang berpikir
dan bertindak cerdas.
Terlepas
dari berapa uang yang mereka hamburkan unttuk mendukung Arif, toh itu uang
mereka, selayaknya sedari awal mereka memahami, ajang liga dangdut itu adalah
iven bisnis, tidak murni upaya mencari peserta terbaik. Kalau Arif tertahan
masuk grand final, pun selayaknya dapat
mereka pahami, tidak langsung memaki-maki dewan juri atau penyelenggara.
Lain
halnya kalau wujud dukungan kepada peserta dalam bentuk SMS ditentukan “satu
nomor ponsel hanya boleh satu kali mengirim” – kalau perlu tidak berbiaya alias
gratis seperti mengirim data registrasi ke nomor 4444 – barulah dapat disebut
agak profesional. Dengan demikian, logislah jika para pendukung mempertanyakan
keputusan dewan juri.
Tetapi
ini – sekali lagi(!) – ajang bisnis. Sejak awal kita melihat, penyelenggara
tidak melibatkan pihak independen sebagai dewan juri. Dengan kata lain, dewan
juri – dapat kita duga – merupakan bagian dari penyelenggara. Maka, boleh jadi,
keputusan dewan juri pun diatur oleh penyelenggara untuk prospek bisnis mereka.
Oleh
karena itu, masyarakat Sumatera Barat selayaknyalah dapat menerima pencapaian
yang diperoleh Arif. Tak mesti meluapkan emosional. Toh, dengan pencapaian
tersebut, sudah sangat luar-biasa bagi Arif yang konon berasal dari keluarga
miskin dengan status anak yatim pula.
Hal
berikutnya – ini yang perlu dikawal(!) – dalam penampilan Arif pada ajang liga
dangdut, kita menyaksikan sejumlah pejabat pemerintah di Sumatera Barat
menyuarakan janji akan memberi Arif hadiah tambahan. Ada yang menyatakan hendak
memberangkatkan plus membiayai Arif bersama ibu dan dua saudaranya menunaikan
ibadah umrah ke Tanah Suci, ada yang berjanji membuatkan keluarga Arif rumah
layak huni dan ada yang berjanji membiayai kuliah Arif sampai tamat.
Setelah
ternyata Arif tidak masuk grand final, apalagi menjadi peserta terbaik, apakah
para pejabat itu akan merealisasikan janji mereka? Sekali lagi(!) ini yang perlu
dikawal. Dalam hal ini, sepertinya tidak mungkin bagi Arif menagih janji-janji
para pejabat tersebut, terlebih karena janji itu hanya mereka ucapkan (lisan),
tidak tertulis dengan akte notaris yang memiliki kekuatan hukum. Namun, di sisi Allah Yang Mahakuasa, janji yang
terucap itu adalah utang yang wajib dibayar!
***
Walaupun
secara emosional kedaerahan saya cukup dekat dengan Arif, terus-terang saya tak
pernah satu kali pun mengirim SMS dukungan dan / atau memberikan vote pada
aplikasi sponsor. Bukan karena tidak mendukung Arif, melainkan lantaran saya
menilai pola penyelenggaraan ajang tersebut tidak profesional.
Jangankan
terhadap Arif, andaikan anak kandung saya sekalipun yang mengikuti ajang seperti itu, saya tetap
takkan memberikan dukungan dalam bentuk mengirim SMS bertarif premium.
Dengan
menulis opini ini, saya ingin menyatakan, hasil yang diperoleh Arif pada ajang
liga dangdut merupakan pencapaian terbaiknya. Artinya, saya sama sekali tidak
kecewa lantaran dapat memahami kebijakan penyelenggara bersama dewan juri. (****)
*) redaktur CanangNews.Com – WA 0823 8455 6699
Yg di sesali Arif tampil terakhir dan lagu nya bagus. MAU dukung SMS DAN VOTE. gangguan. Disini yg bikin kesal nya
BalasHapus