Asuhan Dr H Helmi
MAg, Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Padang Pariaman
Pertanyaan :
Ustadz, akhir-akhir ini sering kita mendengar dan membaca berita di berbagai media cetak maupun elektronik tentang perilaku LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender). Perilaku menyimpang dan sangat tercela
melebihi perzinahan ini hinggap di berbagai kalangan masyarakat. Bahkan kita
bisa saksikan sendiri beberapa publik figur pun terjebak dalam perilaku LGBT
ini.
Bagaimana dalam pandangan Islam perilaku LGBT
ini, Ustadz?
Jawaban:
Ibnu ‘Abbas pernah ditanya: “Apa hadd
pelaku homoseks (liwath)?”. Ia berkata: Dinaikkan ke bangunan paling tinggi di
satu kampung/daerah, lalu dilemparkan dengan posisi terbalik (kepala di bawah
kaki di atas). Setelah itu (jika belum mati), dilempar dengan batu (dirajam).”
(HR. Al-Baihaqi dalam Al-Kubra no. 17024 dan Ibnu Abi Syaibah no. 28925)
Penyakit disorientasi seksual buatan kaum Nabi Luth‘alaihis salam yang durhaka,
yaitu kaum Soddom, ini terwarisi umat manusia
hingga sekarang. Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengabadikan dalam
Al-Quran mengenai disorientasi seksual ini:
أَتَأْتُونَ الذُّكْرَانَ مِنَ الْعَالَمِينَ وَتَذَرُونَ مَا خَلَقَ
لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ عَادُونَ
“Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu
tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu
untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas.” (QS.
Asy-Syu’ara’ [26] : 165-166)
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ
مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ
الرِّجَالَ وَتَقْطَعُونَ السَّبِيلَ وَتَأْتُونَ فِي نَادِيكُمُ الْمُنْكَرَ
“Dan (ingatlah) ketika Luth berkata kepada kaumnya:
"Sesungguhnya kamu benar-benar mengerjakan perbuatan yang amat keji yang
belum pernah dikerjakan oleh seorang pun dari umat-umat sebelum kamu".
Apakah sesungguhnya kamu patut mendatangi laki-laki, menyamun dan mengerjakan
kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu?” (QS. Al-Ankabut [29] : 28-29)
Mengenai surat Al-Ankabut ayat 28 dan 29, Amru bin Dinar
rahimahullah menjelaskan:
عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ:
إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ
الْعَالَمِينَ، قَالَ: مَا نَزَا ذَكَرٌ عَلَى ذَكَرٍ حَتَّى كَانَ قَوْمُ لُوطٍ
Dari ‘Amru bin Dinar tentang
firman Allah ta’ala: ‘Sesungguhnya kamu benar-benar mengerjakan perbuatan yang
amat keji yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun dari umat-umat sebelum
kamu’ (QS. Al-Ankabut : 28), ia berkata: “Tidak ada seorang laki-laki yang
berhubungan badan dengan laki-laki lain hingga kaum Luth melakukannya.” (HR. Ad-Darimi no. 1120)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam kitab tafsirnya:
وقال الوليد بن عبد الملك
الخليفة الأموي، باني جامع دمشق: لولا أن الله، عز وجل، قص علينا خبر لوط، ما ظننت
أن ذكرًا يعلو ذكرًا.
“Al-Walid bin Malik, seorang khalifah Dinasti Umawiyyah yang
membangun masjid Damaskus berkata: ‘Seandainya Allah ‘azza wa jalla tidak
mengisahkan kepada kita kabar Luth, aku tidak pernah membayangkan ada laki-laki
yang mendatangi laki-laki.” (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 3 hal. 445).
Ya, sebagai orang normal, kita tidak bisa membayangkan bagaimana
kejahatan itu terjadi. Akan tetapi setan memang punya banyak muslihat untuk
menyesatkan manusia dari fitrah dan jalan yang lurus.
Para ulama telah sepakat bahwa kejahatan homoseksual termasuk dosa
besar yang diharamkan sangat keras oleh Islam. Imam Adz-Dzahabi rahimahullah berkata:
قد نص الله علينا قصة قوم لوط في
غير ما موضع من كتابه العزيز، وأنه أهلكهم بفعلهم الخبيث وأجمع المسلمون من أهل
الملل أن التلوط من الكبائر
“Sungguh Allah telah mengisahkan kepada kita kisah kaum Luth di
beberapa tempat dalam Kitab-Nya, dan bahwasannya Dia telah membinasakan mereka
karena perbuatan keji mereka itu. Kaum muslimin dari semua aliran telah sepakat
bahwa perbuatan kaum Luth (homoseksual) tersebut termasuk di antara dosa-dosa
besar.” (Al-Kabair
hal. 52)
Para ulama berbeda pendapat tentang hukuman yang dijatuhkan kepada
pelaku homoseksual, sebagaimana dikatakan Imam At-Tirmidzi rahimahullah:
وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ
فِي حَدِّ اللُّوطِيِّ، فَرَأَى بَعْضُهُمْ أَنَّ عَلَيْهِ الرَّجْمَ أَحْصَنَ
أَوْ لَمْ يُحْصِنْ، وَهَذَا قَوْلُ مَالِكٍ، وَالشَّافِعِيِّ، وَأَحْمَدَ،
وَإِسْحَاق، وقَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ فُقَهَاءِ التَّابِعِينَ
مِنْهُمْ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ، وَإِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ، وَعَطَاءُ بْنُ
أَبِي رَبَاحٍ، وَغَيْرُهُمْ قَالُوا: حَدُّ اللُّوطِيِّ حَدُّ الزَّانِي، وَهُوَ
قَوْلُ الثَّوْرِيِّ، وَأَهْلِ الْكُوفَةِ
“Para ulama berbeda pendapat dalam had pelaku homoseks. Sebagian
mereka berpendapat untuk dirajam, baik yang pernah menikah maupun yang belum
pernah menikah. Inilah pendapat Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq. Sebagian
ulama dari kalangan fuqaha’ tabi’iin seperti Al-Hasan Al-Bashri, Ibrahim
An-Nakha’i, ‘Atha’ bin Abi Rabbah, dan yang lainnya berpendapat : Hadd pelaku
homoseks adalah hadd pelaku zina. Inilah pendapat Ats-Tsauri dan penduduk Kufah.” (Jami’
At-Tirmidzi, Jilid 3 hal. 125)
Imam Al-Baghawi rahimahullah menambahkan bahwa Abu
Hanifah berpendapat hukumannya adalah ta’zir, bukan had. (Syarh As-Sunnah, 10/310)
Pendapat ta’zir ini pun dipegang oleh ulama Nusantara Syeikh
Nawawi Al-Bantani rahimahullah, beliau berkata:
وتساحق النساء حرام ويعزرون بذلك لأنه فعل محرم. قال القاضي أبو
الطيب وإثم ذلك كإثم الزنا، لقوله صلى الله عليه
وسلم إذا أتت المرأة المرأة فهما زانيان
“Hubungan seksual sesama perempuan (sihaq) adalah haram. Pelakunya
dikenakan sanksi level ta’zir karena sihaq merupakan tindakan yang diharamkan.
Qadhi Abut Thayyib mengatakan, ‘Dosa sihaq serupa dengan dosa zina berdasarkan
sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Bila perempuan melakukan
seksual dengan sejenisnya, keduanya telah berzina’,’” (Nihayatuz Zain fi
Irsyadil Mubtadi’in, hal. 349)
Berikut dibawakan beberapa riwayat yang beredar di kalangan para
salaf kita dalam hal ini:
1,
Dihukum bunuh seperti hukuman pelaku zina, yaitu dirajam jika
pelaku pernah menikah atau dicambuk 100 kali jika belum pernah menikah.
عَنْ عَطَاءٍ فِي الرَّجُلِ يَأْتِي الرَّجُلَ، قَالَ: سُنَّتُهُ
سُنَّةُ الْمَرْأَةِ
“Dari ‘Atha’ (bin Abi Rabbah) tentang seorang laki-laki yang
mendatangi laki-laki lain, ia berkata: “Sunnah yang berlaku baginya adalah
sunnah yang berlaku pada wanita (yaitu : hadd zina).” (HR. Ibnu Abi Syaibah no.
28928)
عَنِ الْحَسَنِ، وَعَنْ أَبِي مَعْشَرٍ، عَنْ إبْرَاهِيمَ، قَالَا:
اللُّوطِيُّ بِمَنْزِلَةِ الزَّانِي
“Dari Al-Hasan (Al-Bashri) dan dari Abu Ma’syar dari Ibrahim
(An-Nakha’i), keduanya (Al-Hasan dan Ibrahim) berkata: “Pelaku homoseks
kedudukannya seperti pelaku zina.” (HR. Ibnu Abi Syaibah no. 28932)
عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، فِي الَّذِي يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ،
قَالَ: يُرْجَمُ إِنْ كَانَ مُحْصَنًا وَيُجْلَدُ، وَيُنْفَى إِنْ كَانَ بِكْرًا،
وَقَالَهُ ابْنُ عُيَيْنَةَ، عَنِ ابْنِ أَبِي نَجِيحٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ
“Dari Ibnu Juraij tentang orang yang melakukan perbuatan kaum
Luth, ia berkata: “Dirajam jika ia pernah menikah serta dicambuk dan diasingkan
jika ia belum menikah.” Dikatakan juga oleh Ibnu ‘Uyainah, dari Ibnu Abi Najih,
dari Mujahid (HR. ‘Abdurrazzaq no. 13484)
عَنِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: يُرْجَمُ إِنْ كَانَ مُحْصَنًا،
وَيُجْلَدُ إِنْ كَانَ بِكْرًا، وَيُغَلَّظُ عَلَيْهِ فِي الْحَبْسِ وَالنَّفْيِ
“Dari Az-Zuhri, ia berkata: “(Pelaku homoseks) dirajam jika ia
pernah menikah, serta dicambuk jika ia belum menikah dan ditambahi hukuman
untuk dijebloskan ke penjara dan diasingkan.” (HR. ‘Abdurrazzaq no. 13485)
عَنْ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: فِي الرَّجُلِ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ
لُوطٍ حَدُّ الزِّنَا، إِنْ كَانَ مُحْصَنًا رُجِمَ، وَإِلا جُلِدَ
“Dari Ibrahim (An-Nakha’i), ia berkata: “Tentang laki-laki yang
melakukan perbuatan kaum Luth, diberikan hadd zina. Jika pernah menikah,
dirajam; dan jika belum pernah menikah dicambuk.” (HR. ‘Abdurrazzaq no. 13487)
2. Dihukum bunuh dengan
dirajam secara mutlak, tidak membedakan antara yang pernah menikah atau belum
pernah menikah.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ قَالَ فِي الْبِكْرِ يُوجَدُ عَلَى
اللُّوطِيَّةِ، قَالَ: يُرْجَمُ
“Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata tentang jejaka yang didapati
melakukan perbuatan kaum Luth, ia berkata: “Dirajam.” (HR. ‘Abdurrazzaq no.
13488)
عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، قَالَ: عَلَى اللُّوطِيِّ
الرَّجْمُ، أُحْصِنَ أَوْ لَمْ يُحْصَنْ، سُنَّةٌ مَاضِيَةٌ
“Dari Sa’id bin Al-Musayyib, ia berkata: “Terhadap pelaku homoseks
dijatuhi hukuman rajam, baik yang pernah menikah maupun yang belum pernah
menikah. Itulah sunnah yang berlaku.” (HR. Ibnu Basyran dalam Al-Amali no. 240)
قَالَ سُلَيْمَانُ بْنُ بِلالٍ سَمِعْتُ يَحْيَى بْنَ سَعِيدٍ،
وَرَبِيعَةَ، يَقُولُ: إِنَّ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ، فَعَلَيْهِ
الرَّجْمُ، أُحْصِنُ، أَوْ لَمْ يُحْصِنْ
“Telah berkata Sulaimaan bin Bilal: Aku mendengar Yahya bin Sa’id
(Al-Amshari) dan Rabi’ah (bin Abi ‘Abdirrahman At-Taimi) berkata: “Sesungguhnya
siapa saja yang melakukan perbuatan kaum Luth, baginya hukuman rajam baik yang
telah menikah ataupun belum menikah.” (HR. Al-Hakim 4/350)
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
وَبِهَذَا نَأْخُذُ يرْجُمُ اللُّوطِيَّ مُحْصَنًا كَانَ أَوْ غَيْرَ
مُحْصَنٍ
“Kami memegang pendapat ini, yaitu pelaku homoseks dirajam baik
yang pernah menikah maupun yang belum pernah menikah.” (Ma’rifatus Sunan wal
Atsar lil Baihaqi, Jilid 6 hal. 349)
إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ الْكَوْسَجُ، قَالَ: قُلْتُ لأَحْمَدَ
يَعْنِيَ ابْنَ حَنْبَلٍ: اللُّوطِيُّ أُحْصِنَ أَوْ لَمْ يُحْصَنْ؟، قَالَ:
يُرْجَمُ أُحْصِنَ أَوْ لَمْ يُحْصَنْ، قَالَ إِسْحَاقُ يَعْنِي ابْنَ رَاهَوَيْهِ
كَمَا قَالَ
“Ishaq bin Manshur Al-Kausaj, ia berkata : Aku bertanya kepada
Ahmad bin Hanbal: “Apa hukuman pelaku homoseks yang pernah menikah atau yang
belum pernah menikah?”. Ia menjawab: “Dirajam baik yang pernah menikah atau
yang belum pernah menikah”. Ishaq bin Rahawaih berkata sebagaimana yang
dikatakan Ahmad. (Dzammul Liwath no. 51)
Al-Baji rahimahullah menukil:
قَالَ مَالِكٌ وَلَمْ نَزَلْ نَسْمَعُ مِنْ الْعُلَمَاءِ أَنَّهُمَا
يُرْجَمَانِ أَحْصَنَا أَوْ لَمْ يُحْصِنَا
“Malik berkata : Kami senantiasa mendengar dari kalangan ulama
bahwa kedua pelaku homoseks dirajam, baik yang pernah menikah maupun yang belum
pernah menikah.” (Al-Muntaqa’, Jilid 4 hal. 150)
3. Dihukum bunuh dengan
dilemparkan dari tempat/bangunan yang tertinggi.
سُئِلَ ابْنُ عَبَّاسٍ: " مَا حَدُّ اللُّوطِيِّ؟ قَالَ:
يُنْظَرُ أَعْلَى بِنَاءٍ فِي الْقَرْيَةِ فَيُرْمَى بِهِ مُنَكَّسًا، ثُمَّ
يُتْبَعُ الْحِجَارَةَ "
Ibnu ‘Abbas pernah ditanya: “Apa hadd pelaku homoseks (liwath)?”.
Ia berkata: Dinaikkan ke bangunan paling tinggi di satu kampung/daerah, lalu
dilemparkan dengan posisi terbalik (kepala di bawah kaki di atas). Setelah itu
(jika belum mati), dilempar dengan batu (dirajam).” (HR. Al-Baihaqi dalam
Al-Kubra no. 17024 dan Ibnu Abi Syaibah no. 28925)
4. Dihukum dengan ta’zir,
bukan had.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan bahwa
sanksi homoseksual tidak sampai batas hudud, level sanksi terberat dalam hukum
Islam seperti rajam. Mereka hanya dikenakan ta’zir, satu tingkat sanksi di
bawah hudud. Beliau berkata:
المفاخذات ومقدمات الوطء وإتيان المرأة المرأة لا حد فيها
“Aktivitas pemenuhan seksual dengan mempertemukan paha,
pendahuluan-pendahuluan dalam bersetubuh (foreplay), dan tindakan lesbian,
tidak dikenakan sanksi hudud,” (Raudhatut Thalibin, Jilid 8 hal. 415)
Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah dalam
Tuhfatul Muhtaj yang pun berpendapat demikian yang kemudian diuraikan lebih
jauh oleh Ibnu Qasim Al-Abbadirahimahullah, beliau berkata:
ولا حد بمفاخذة وغيرها مما ليس فيه تغييب حشفة كالسحاق عبارة المغني
ولا بإتيان المرأة المرأة بل تعزران ولا باستمنائه باليد بل يعزر اما بيد من يحل
الاستمتاع بها فمكروه لأنه في معنى العزل لعدم الإيلاج السابق
“Tiada sanksi hudud bagi tindakan seksual dengan paha dan
aktivitas seksual lain yang tidak sampai memasukan kelamin laki-laki seperti
sihaq,” redaksi dalam Mughni, “Tiada sanksi hudud bagi pelaku lesbian. Keduanya
cukup dita’zir. Begitu juga mereka yang melakukan masturbasi dengan tangannya.
Mereka dita’zir. Sedangkan masturbasi pria dengan menggunakan tangan istri atau
budak perempuannya, hukumnya makruh karena masuk kategori ‘azal’ karena tidak
ada masuknya kelamin laki-laki seperti keterangan lalu,” (Hawasyi Tuhfatil
Muhtaj, Jilid 9 hal. 104)
Terdapat satu riwayat mengenai Ta’zir ini dari kalangan salaf,
seperti sebuah atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah rahimahullah dalam
Al-Mushannaf:
عَنِ الْحَكَمِ فِي اللُّوطِيِّ: يُضْرَبُ دُونَ الْحَدِّ
“Dari Al-Hakam (bin ‘Utbah Al-Kindi) tentang pelaku homoseks:
“Dipukul yang bukan termasuk hukuman had." (HR. Ibnu Abi Syaibah no.
28813)
Hanya saja riwayat diatas menyelisihi riwayat sebelumnya yang
menyatakan hukuman pelaku homoseks adalah seperti hukuman bagi pezina.
Kemungkinan memang ada dua pendapat yang ternukil darinya, namun penulis belum
mengetahui pendapat mana yang paling akhir darinya.
Ada beberapa riwayat dari kalangan shahabat seperti Abu Bakr,
‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, dan Ibnuz Zubair radhiallahu ‘anhum dalam
bahasan ini, namun kualitasnya lemah semua. Adapun riwayat marfu’ dari
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallamyang menjelaskan tentang hukuman
homoseksual atau liwath, juga lemah.
Kesimpulan
Dari berbagai pendapat diatas, pendapat yang paling kuat dalam hal
ini adalah pendapat kedua dan ketiga yaitu dihukum dengan cara dibunuh secara
mutlak baik dirajam atau dilempar dari tempat yang tinggi dengan alasan:
Allah subhanahu
wa ta’ala telah menyebutkan perilaku kaum Luth dengan Al-Fahisyah,
yaitu dengan alif lam ma’rifah. Artinya, perbuatan homoseks itu adalah diantara
perbuatan penyimpangan yang paling keji diantara perbuatan-perbuatan keji yang
ada.
Qiyas
antara homoseks dengan zina adalah qiyas terhadap sesuatu yang berbeda, karena
homoseks lebih keji dibandingkan zina.
Allah subhanahu
wa ta’ala mengadzab kaum Luth dengan menimpakan batu kepada mereka
dari langit, sebagaimana firman-Nya:
فَأَخَذَتْهُمُ الصَّيْحَةُ مُشْرِقِينَ فَجَعَلْنَا عَالِيَهَا
سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ إِنَّ فِي ذَلِكَ
لآيَاتٍ لِلْمُتَوَسِّمِينَ
“Maka mereka dibinasakan oleh suara keras yang mengguntur, ketika
matahari akan terbit. Maka Kami jadikan bahagian atas kota itu terbalik ke
bawah dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang keras. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Kami) bagi
orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda.” (QS. Al-Hijr [15] : 73-75)
فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا
وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ مَنْضُودٍ مُسَوَّمَةً عِنْدَ
رَبِّكَ وَمَا هِيَ مِنَ الظَّالِمِينَ بِبَعِيدٍ
“Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu
yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari
tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan
siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim.” (QS. Hud [11] : 82-83)
Para shahabat telah berijma’ akan dibunuhnya pelaku homoseks
secara mutlak, sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
وفى السنن عن النبى من وجدتموه يعمل عمل قوم لوط فاقتلوا الفاعل
والمفعول به ولهذا اتفق الصحابة على قتلهما جميعا لكن تنوعوا فى صفة القتل
“Dan dalam hadits-hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
(dinyatakan): ‘Barangsiapa yang engkau dapati melakukan perbuatan kaum Luth,
bunuhlah pelakunya dan orang yang dijadikan objeknya’. Oleh karena itu, para
shahabat bersepakat untuk membunuh kedua-duanya, akan tetapi mereka
berbeda-beda dalam sifat (cara) pembunuhannya.” (Majmu’ Fatawa, Jilid 11 hal.
543)
Kesepakatan ini juga dinukil oleh Ibnu Qudamah rahimahullah dalam
Al-Mughni, Jilid 10 hal. 160-162 dan Ibnul Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah dalam
Al-Jawabul Kafi, hal. 240.
Kesepakatan ini membatalkan pendapat pertama sehingga pengqiyasan
terhadap zina termasuk qiyas rusak (faasid) atau tidak sesuai dan juga pendapat
keempat.
Pelaku LGBT memang pantas mendapatkan hukuman itu, apalagi mereka
yang terang-terangan dan mengkampanyekannya. Mereka adalah kaum paling hina
yang binatang ternak pun enggan meniru perbuatan mereka. Sungguh ketika seekor
anjing jantan dilanda birahi pasti mereka akan mencari anjing betina, lalu
mengapa mereka para pelaku LGBT justru mendatangi sejenisnya?? Na’udzubillahi
min dzalik. Semoga kita, keluarga kita dan saudara-saudara kita dilindungi
oleh Allah subhanahu wa ta’aladari perilaku menyimpang ini.
Amiin. Wallahu a’lam bish shawwab. Semoga bermanfaat.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ
لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ