Catatan Zakirman
Tanjung *)
KITA tentu sering mendengar ungkapan “politik itu busuk dan kejam”. Namun, anggapan itu tak boleh digeneralisir. Dengan kata lain, tak semua politikus yang bersifat seperti itu, yang suka menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan nafsiah-nya. Hal itu setidaknya ditunjukkan teman masa kecil saya yang kini menjabat bupati di sebuah kabupaten di Pulau Jawa. Namanya sebut saja Mr X.
Saya baru saja mendapat informasi kalau teman bermain saya di kawasan
Rawamangun, Jakarta Timur, tahun 1976 itu terpilih jadi bupati dalam ajang
pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak, 9 Desember 2015. Informasi itu saya
peroleh dari teman yang lain, Mr Y, setelah permintaan pertemanan dia di media
sosial saya konfirmasi.
Mr Y bercerita banyak tentang Mr X, seorang bupati yang difavoriti oleh
hampir seluruh rakyatnya. Padahal dia belum lagi setahun menjabat, padahal
sewaktu pilkada dulu kemenangannya sangat tipis, yakni 41,59 persen dengan
partisipasi pemegang hak memilih hanya 57,85 persen. Artinya, dari sekitar
407.874 daftar pemilih tetap (DPT) di kabupaten itu, warga yang memilih Mr X
yang berpasangan dengan pensiunan pejabat birokrasi hanya 98.134 orang.
Tentu saya jadi penasaran, bagaimana mungkin Mr X bisa jadi bupati favorit
hampir semua warganya yang berjumlah hampir 700 ribu jiwa jika yang memilihnya
cuma 24 persen dari pemegang hak memilih? Mr Y pun menceritakan ikhwal
kepemimpinan Mr X. "Bagi dia politik itu adalah seni dalam memimpin, bukan
alat untuk berkuasa," ujar Mr Y.
Setelah menamatkan pendidikan sarjana pada suatu universitas swasta tahun
1993, menurut cerita Mr Y, Mr X memilih berwirausaha. Berkali-kali terhempas
dan kandas, tidak membuatnya menyerah dan kalah. Dia terus berjuang membangun
dan mengembangkan usaha hingga tahun 1999 ada yang mengajaknya bergabung dengan
partai politik (parpol).
"Mr X baru merasakan jadi wakil rakyat tingkat kabupaten periode 2004
- 2009 sebagai pengganti antar waktu. Pada pemilu 2009, Mr X terpilih jadi
anggota DPRD dengan suara tertinggi partai di daerah pemilihan (dapil)-nya.
Setahun kemudian, dia terpilih secara aklamasi menjadi ketua parpol,"
papar Mr Y.
Kesempatan itu tidak disia-siakan Mr X. Sembari mengemban amanah sebagai
wakil rakyat, ia berusaha maksimal membesarkan parpol yang diketuainya.
Alhasil, pada pemilu 2014, parpol itu meraih suara mayoritas dengan 11 kursi
DPRD.Mr X pun sesuai konstitusi terpilih menjadi ketua DPRD. Dengan posisi itu,
pada pilkada 2015 dia didaulat maju menjadi calon bupati, bersaing dengan 3
pasangan calon lain.
Terpilih jadi bupati dengan dukungan 24 persen suara dari total pemilih,
menurut cerita Mr Y, tantangan yang dihadapi Mr X tentulah tidak ringan.
Demonstrasi penolakan berlangsung di banyak tempat, terutama pada dapil-dapil
basis pasangan calon lain. Namun, Mr X menghadapi semua itu dengan tenang dan
jiwa besar.
Tanpa mengumbar statemen di media massa dan media sosial, Mr X berupaya
melakukan pendekatan demi pendekatan kepada lawan-lawan politiknya. Terkadang
dia menelepon mereka. Adakalanya dengan cara mendatangi. Tak jarang, Mr X
bertamu secara pribadi ke rumah-rumah lawan politiknya secara pribadi, hanya
berdua sopir yang menunggu di mobil.
Suatu pagi, sekitar pukul 05.45, usai shalat subuh dan marathon, Mr X
mengetuk pintu rumah seorang lawan politiknya yang paling keras. Saat itu dia
tentu saja masih berpakaian stelan olahraga dengan tubuh dan wajah berkeringat.
Ketika pintu terbuka, Mr X mengucapkan salam dengan senyum akrab. Pemilik rumah
spontan terlihat kaget.
"Kalau Tuan Rumah berkenan, saya ingin dapat jamuan segelas teh
hangat. Soalnya belum ada warung yang buka," katanya bersahaja.
Karena tak punya pilihan lain, tuan rumah mempersilahkan Mr X masuk. Tak
lama teh hangat plus penganan ringan pun terhidang. Selanjutnya, dengan
kepiawaiannya berkomunikasi, pembicaraan berlangsung hangat. Dalam waktu
sekitar setengah jam, kebekuan dan ketegangan selama ini mencair begitu saja.
"Suatu hal yang perlu kawan ketahui, dalam melakukan pendekatan, Mr X
semata-mata mengedepankan silaturrahim, tanpa materi apalagi menyodorkan
janji-janji seperti akan membagi proyek atau jabatan birokrasi kepada
orang-orang lawan politiknya. Modalnya semata-mata kecerdasan berkomunikasi dan
ketulusan hati hendak membangun daerah," urai Mr Y.
Hasilnya luar biasa! Dukungan politik ke Mr X mengalir deras. Kegiatan
pembangunan dapat terlaksana dengan baik, termasuk kegiatan pembebasan lahan
untuk proyek-proyek pemerintah pusat, provinsi, kabupaten dan investor. Pemerintahan
kabupaten yang dia pimpin berjalan dengan sangat baik dalam melayani
kepentingan publik.
Saya tentu saja takjub dan terkesima. Setelah berkali-kali berbicara via
telepon, saya meminta Mr Y menghubungkan saya dengan Mr X, si bupati favorit
itu. "Itu mah perkara gampang. Aku pun udah menceritakan tentangmu ke dia
via telepon. Aku carilah waktu yang tepat, aku akan menelepon dia dan kau
bersamaan," ulas Mr Y yang mengaku domisili beda provinsi dengan Mr X.
Di luar dugaan, Mr Y membangunkan saya jam dua dinihari. Setelah saya
terima, dia menyatakan telepon itu juga tersambung dengan Mr X. Kami pun saling
mengucapkan salam. "Eh, kau sudah shalat tahajjud? Kalau belum, shalat-lah
dulu, nanti kita sambung seperempat jam lagi," pinta si bupati.
Tepat 15 menit setelahnya, ponselku kembali berbunyi. Kami pun berbincang
hingga menjelang adzan subuh waktu Jawa. Banyak hal yang kami omongkan bertiga,
termasuk kenangan masa kecil tentu saja. Mr X pun mengundangku berkunjung ke
daerahnya. "Kau kirim-lah KBTP via SMS?" pinta saya.
"KBTP apa?" tanya dia.
"Kode booking tiket pesawat," jawab saya.
Mr X pun tergelak lalu terdiam. Dia mengaku sedang tak punya uang. Dia
meminta agar saya talangi dulu, nanti akan dia ganti setelah kami bertemu.
Saya pun mengalihkan pembicaraan. Sebab, tak mungkin-lah saya mengaku
sedang tak beruang pula. Jangankan untuk membeli tiket pesawat ke Jawa, untuk
pembeli beras saja sedang ketar-ketir. Belum lagi biaya sekolah tiga anak saya,
Banyak proposal biaya yang mereka ajukan dan mesti saya penuhi, termasuk biaya
hidup si sulung yang sedang menjalani kegiatan praktek kerja lapangan (PKL)
sebagai siswa SMK Pertanian di daerah lain, 125 km dari rumah kami.
---
*) Rakyat jelata yang
tidak punya jabatan apa-apa, bukan pegawai pemerintah ataupun swasta: nomor
rekening: 5476 01 016502 53 5 pada BRI atas nama Zakirman Tanjung
</ head>