Catatan Zakirman Tanjung **)
SEWAKTU masih
menjadi murid sekolah dasar (SD) aku didorong masyarakat di kampungku
bercita-cita menjadi dokter atau insinyur. Namun, ketika memasuki jenjang
pendidikan pada Sekolah Menengah Pertama (SMP), menjadi dokter atau insinyur
bukan bidang yang kuminati.
Maklumlah,
minatku mengarah ke bidang kepenulisan, jurnalistik dan psikologi. Awal kelas
III SMP Negeri Pakandangan, Kabupaten Padang Pariaman, karierku di bidang
kepenulisan dan jurnalistik pun bermula dengan dimuatnya satu tulisanku di
surat kabar terbitan Padang, Agustus 1985. Menulis dan menulis, kemudian
beraktivitas sebagai wartawan, menjadi keseharianku sejak saat itu hingga kini.
Namun,
ternyata tidak mudah! Kemauan yang kuat saja tidaklah cukup. Aku berhadapan
dengan realita; tidak memiliki mesin tik, sementara redaksi surat kabar atau majalah
cendrung tak menerima naskah bertulis tangan. Tak hilang akal, aku pun
mendekati kepala desa dan sekretaris desa; aku diperbolehkan meminjam mesin tik
selepas jam kantor dan boleh membawa pulang tetapi harus mengembalikan
pagi-pagi.
Tamat
SMP aku ingin melanjutkan ke SMA Negeri 3 Padang. Motivasiku agar dekat dengan
redaksi tiga surat kabar harian yang terbit waktu itu. Sayangnya, karena nilai
ebtanas murni (NEM)-ku hanya 37,26 (rata-rata 6,21), aku tak diterima. Jadilah
aku bersekolah di SMA Negeri Sicincin, Kabupaten Padangpariaman (50 km utara
Kota Padang).
Di
SMA karier kepenulisanku makin berkembang. Tulisan-tulisanku seperti cerpen,
puisi dan artikel dimuat tiga surat kabar terbitan Padang. Konsekuensinya aku
memakai 3 nama berbeda: Zakirman (di
Koran Singgalang, Zastra Certa (Haluan) serta Playboy
Pattikawa & Z Susastra Cancer Tanjung (Mingguan Canang).
Mulai
kelas I SMA aku pun mulai menjajal dunia jurnalistik; meski di SMA pula aku
mengalami sejarah terburuk, meraih rangking penghabisan atau 41/41 di kelas.
Akan
tetapi, impianku menjadi pribadi mandiri tidak juga kesampaian. Entah karena
honorarium terlalu kecil di koran terbitan daerah atau lantaran keterbatasan
kemampuan fisikku dalam berproduktivitas.... Yang jelas, meski
tulisan-tulisanku sudah menghiasi halaman surat kabar, membeli mesin tik pun
aku tak mampu.
Untunglah,
memasuki semester genap kelas I SMA terbit surat keputusan (SK) Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) tentang pemberian beasiswa kepadaku
selama satu tahun Rp144.000.- Ketika menerima termen pertama untuk enam bulan,
awal 1987, kuserahkan kepada Kepala SMPN Pakandangan Drs Syaifullah Rp60.000
untuk dibelikan mesin tik bekas di Kota Padang. Ternyata Pak Syaiful memberikan
mesin tik baru seharga Rp100.000 dengan menambah kekurangannya.
Alhamdulillah...
dengan mesin tik sendiri produktivitas menulisku makin tinggi. Namun, tetap
saja belum menembus media-media cetak terbitan Jakarta lantaran aku tak mencoba
mengirim ke media tersebut.
Tamat
SMA meski dengan NEM lima besar terbaik di sekolah (52,92 dengan rata-rata
7,56) aku tak berhak mengikuti program tanpa tes masuk perguruan tinggi negeri
(PTN). Sebab, rangkingku dari semester I hingga VI tak beraturan. Semester I
21/40, II 25/40, III 41/41, IV 34/41, semester V dan VI rangking 1/40.
Alhasil,
aku mengikuti ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN) dengan pilihan
pertama Psikologi Universitas Indonesia (UI) dan kedua Sosiologi Universitas
Andalas (Unand); ternyata tak diterima. Kepala Desa lalu menawari aku jadi
sekretaris desa.
Selama
hampir setahun aku berusaha menjadi abdi masyarakat. Kantor desa kubuka tiap
hari, dari pagi hingga sore. Dengan penduduk sekitar seribu jiwa, tak banyak
urusan yang kulayani. Dalam seminggu belum tentu satu atau dua warga yang
berurusan. Di kantor aku lebih banyak menghabiskan waktu menulis cerpen, cerita
untuk anak atau beragam jenis opini.
Tahun
1990 aku kembali ikut UMPTN dengan program studi Jurnalistik Unpad (Universitas
Padjadjaran) sebagai pilihan pertama. Alhamdulillah...
aku lulus meski pada pilihan kedua; Sastra Indonesia (Sasindo) Unand. Pada saat
itu aku baru saja sekitar tiga bulan diangkat sebagai pejabat sementara (Pjs)
kepala desa.
Setelah
menyelesaikan seluruh proses pendaftaran ulang, menjelang kuliah dimulai, aku
mengumpulkan para pemuka masyarakat. Dalam rapat aku menyatakan pengunduran
diri dan malam itu disepakati Pjs Kepala Desa penggantiku.
Kuliah
dengan uang berkisar lima hingga tujuh ribu seminggu sangat melelahkan jiwaku.
Tetapi, sebegitulah kemampuan ibuku. Honor tulisan tak bisa diandalkan. Mesin
tik-ku pun sudah reot dan rusak total. Alhasil, aku kuliah hanya dua semester.
Setelahnya, aku meninggalkan kampus dengan terlebih dahulu memecat rektor,
memberhentikan dekan dan membebas-tugaskan dosen-dosen.
SUATU malam,
ketika masih kuliah, terpikir olehku menulis surat pembaca dan langsung kubuat
dengan meminjam mesin teman. Judulnya: MOHON BANTUAN MESIN TIK dan malam itu
juga kusiapkan untuk beberapa media cetak terbitan Jakarta.
Karena
kelelahan, aku pun tertidur di lantai kamar kos....
Ternyata,
semua media yang kukirimi memuat suratku pada rubrik surat pembaca; lengkap dengan
nama, nomor BP dan alamat kampusku selaku mahasiswa Sasindo Unand. Karuan saja,
waktuku tersita oleh kesibukan menjemput paket pos yang berisi mesin tik baru.
Bukan satu atau sepuluh, tetapi hingga 500-an paket dari pengirim berbeda. Aku
pun bingung akan menyimpan di mana.
Praktis,
aktivitas menulisku terhenti. Kuliah kuabaikan. Atas saran dan bantuan seorang
pegawai kantor pos, aku mengontrak satu petak toko di Pasar Raya Padang;
mulailah aku berbisnis mesin tik....
Mendadak,
semuanya buyar ketika ibu kos menggedor pintu kamarku. Ternyata sudah hampir
jam tujuh pagi. Tanpa sempat mandi dan cuci muka, dengan hanya mengenakan baju
dan celana yang kupakai tidur, aku pun berangkat ke kampus naik biskota....
*) merupakan bagian dari pernak-pernik yang kutulis secara acak untuk bahan autobiografiku
**) Rakyat jelata yang tidak punya jabatan apa-apa, bukan pegawai pemerintah ataupun swasta: nomor rekening: 5476 01 016502 53 5 pada BRI atas nama Zakirman Tanjung