Catatan
perjalanan Zakirman Tanjung
Rizki bersama ibunya,
Bupati Indra Catri dan Dokter Rudy
ADA rasa yang tidak bisa saya lukiskan ketika
seorang aktivis terapi autis dari Kota Bekasi – Jawa Barat meminta saya
menghubungkan dan memfasilitasi pertemuan dengan Bupati Agam – Provinsi
Sumatera Barat, Ir H Indra Catri MSP Dt Malako Nan Putiah. Sebab, yang akan dia
pertemukan adalah seorang anak istimewa, siswa Kelas V sebuah SD Negeri di Kota
Bandung.
Saya
menyanggupi lalu menghubungi Bupati Indra Catri. Waktu itu, seminggu lalu, saya
mengajukan permintaan jadwal pertemuan hari Sabtu 10 Februari 2018. Sayangnya,
Pak Indra menyatakan jadwalnya sepanjang Sabtu itu sangatr padat. Ia menawarkan
untuk bertemu dengan Sekretaris Daerah Kabupaten (Sekdakab) Agam.
Mengingat
momen pertemuan itu saya nilai sangat penting bagi si anak istimewa, saya minta
kapan dia punya waktu. Bupati Indra pun menawarkan hari Kamis 8 Februari pukul
10 pagi di kantornya – Lubuk Basung. Kami – saya dan Arneliza Anwar SE (aktivis
/ praktisi terapi autis dimaksud) pun menyetujui.
Tentu
muncul pertanyaan dalam pikiran pembaca, seistimewa apakah anak itu hingga kami
serius benar hendak mempertemukannya dengan Bupati Indra Catri?
***
Namanya
Muhammad Rizki Ramadhan atau biasa disapa Rizki. Informasi tentang anak ini
diperoleh Arneliza (Praktisi & Senior Advance Trainer Smart ABA Indonesia)
dari seorang sopir mobil carteran Indra Noviandri, Desember 2013. Indra
menginformasikan, ada anak penderita autis di Kubang Putiah – Kabupaten Agam dikeluarkan
pihak sekolah dasar (SD).
Menurut
cerita Arneliza, ia meminta Indra mengantarnya menemui anak itu. Kondisi Rizki
– anak itu – terlihat sangat memprihatinkan, seperti penderita autis umumnya.
Ia pun menawarkan kepada orangtua Rizki – Armadanis (kini 44 tahun) dan Mayunis
(kini 48 tahun) untuk membawa si anak ke Bekasi – Jawa Barat guna di-terapi.
Persoalan
pun muncul, yakni masalah biaya. Untuk terapi Rizki, Arneliza menyatakan
gratis. Namun, selama mengikuti terapi, Rizki harus didampingi orangtuanya.
Untuk itu memerlukan biaya hidup – termasuk kontrak rumah, sementara pasangan
Armadanis dan Mayunis keluarga berekonomi lemah. Di Kubang Putiah pun mereka
merantau dan bekerja serabutan. Kampung asal mereka Jorong Sungai Lansiangan,
Nagari Malalak Barat – masih di Kabupaten Agam.
Bupati Indra Catri dan Dokter Rudy terlibat diskusi hangat
“Maka,
muncullah pemikiran untuk meminta bantuan kepada Bupati Agam Indra Catri.
Singkat cerita, Pak Indra Catri menunjukkan respons sangat baik. Beliau
menyatakan bersedia menanggung biaya hidup Armadanis selama mendampingi Rizki
mengikuti terapi autis,” ujar Arneliza.
Namun,
Arneliza tidak langsung memboyong Rizki dan ibunya ke Bekasi, tetapi meminta
Armadanis melakukan perawatan terapi diet dulu terhadap si anak selama beberapa
bulan. Barulah pada tanggal 2 April 2014, ketika kembali berkunjung ke Sumatera
Barat, Arneliza mengajak Rizki dan ibunya berangkat ke Bekasi.
Terapi
terhadap Rizki pun dimulai bertempat di Klinik Intervensi Dini Smart Applied Behavior Analysis (KID
ABA) yang dikelola Arneliza bersama suaminya, dr Rudy Sutadi SpA MARS SPdI –
selaku Konsultan Smart ABA & Smart BIT (Biomedical
Intervention Therapy) untuk Autisme. Waktunya bisa mencapai satu hingga 1,5
tahun sampai si anak dinyatakan sembuh.
Akan
halnya Bupati Indra Catri, sebagaimana penuturan Armadanis kepada saya,
ternyata tidak hanya sekadar menyatakan sanggup menanggung biaya hidup
perempuan itu, tetapi secara konsisten mengirimkan uang berkisar Rp1,5 juta
setiap bulan selama 1,5 tahun via transfer rekening bank, bahkan pada tanggal yang sama.
“Kesan
luar biasa inilah yang mendorong kami – saya dan Rizki – meminta bantuan Bu
Arneliza dan Dokter Rudy memfasilitasi untuk bertemu dengan Pak Bupati Indra
Catri,” kata Armadanis.
***
Sesuai
kontak komunikasi seluler saya dengan Arneliza, ia bersama suami mendarat di
Bandara Internasional Minangkabau (BIM)
dari Jakarta hari Rabu 7 Februari 2018. Begitu juga dengan Armadanis dan
Rizki, tetapi keduanya terbang dari Bandung – Jawa Barat. Saya pun bergabung
dengan mereka di Paritmalintang sekitar pukul 17.50 lalu melanjutkan perjalanan
menuju Kota Bukittinggi dengan minibus Innova yang disopiri Indra Noviandri.
Sesampai
di Sicincin ternyata mobil belok kiri. Menurut Indra – sopir – sebelum ke
Bukittinggi mampir dulu ke rumah orangtua Armadanis di Malalak Barat. Maka,
untuk pertama kali saya pun melewati jalur tersebut dalam suasana terang
bercampur gelap.
Rumah
orangtua Armadanis tidak pula di pinggir jalan raya. Belok kiri di Cimpago,
mobil yang kami tumpangi menyusuri jalan kecil tetapi beraspal cukup mulus.
Terkadang menanjak dan menurun, adakalanya menyusuri lereng pebukitan. Suasana
di luar mobil sepi dan gelap.
Dokter Rudy menyerahkan buku karyanya tentang Terapi Autis kepada Bupati Indra Catri
Setelah
menempuh jarak sekitar lima kilometer, Armadanis meminta sopir belok kiri,
memasuki jalan lebih kecil dengan pengerasan beton. Hanya sekitar 200 meter,
kami pun sampai di sebuah rumah sederhana. Rizki pun bertemu dengan kakek,
nenek, bibi dan saudara-saudara sepupunya. Usai menikmati teh hangat, kami
meneruskan perjalanan ke Bukittinggi untuk bermalam.
Kamis 8
Februari sekitar pukul delapan pagi – setelah sarapan – kami meninggalkan hotel
hendak menuju Kantor Bupati Agam di Lubuk Basung. Armadanis dan Rizki menunggu
di Simpang Balingka. Sesuai kesepakatan sebelumnya, kami akan bertemu dengan
Bupati Indra Catri di kantornya pukul sepuluh pagi.
Perjalanan
ke Lubuk Basung kami tempuh dalam waktu sekitar 1,5 jam melewati panorama demi
panorama yang indah, terutama ketika menuruni Kelok 44 dengan hamparan Danau
Maninjau di bawahnya.
Namun,
kami hanya dapat berencana, tetapi Allah Yang Mahakuasa. Ternyata Bupati Indra
Catri tidak berada di kantor. Beberapa staf menyebutkan bupati pergi ke Kota
Padang guna mengikuti rangkaian kegiatan Peringatan Hari Pers Nasional. “Pak
Bupati sangat sibuk hari ini, jadwalnya sangat padat hingga malam nanti,” kata
seorang staf.
Arneliza
dan Dokter Rudy memandang saya – seperti meminta pendapat. Wajar jika mereka
kecewa, sebab sudah jauh-jauh dari Bekasi ke Lubuk Basung. Begitu juga dengan
Armadanis yang terbang langsung dari Kota Bandung.
Saya
menghubungi Bupati Indra Catri via telepon seluler, mengabarkan jika kami sudah
tiba di kantor bupati pukul 09.50. Bupati Indra Catri memohon maaf, “Tiba-tiba
saya harus ke Kota Padang menghadiri undangan gubernur. Ada saran?”
Saya
menyatakan, kami langsung menuju Kota Padang, nanti menghubungi dia lagi dan
meminta waktunya untuk bertemu agak satu hingga dua menit. Bupati Indra Catri
menyatakan setuju.
Jarak tempuh
dari Lubuk Basung ke Kota Padang via Kota Pariaman 97,6 km saya perkirakan
menelan waktu sekitar dua jam. Arneliza dan Dokter Rudy menyatakan setuju
meneruskan perjalanan. Yang penting, kata mereka, misi mempertemukan Rizki
dengan Bupati Indra Catri tercapai.
Beberapa
kilometer menjelang batas Kota Padang, Arneliza meminta berhenti di Restoran
Pasia Piaman untuk makan siang. Sebelum turun mobil, saya memberitahu Bupati
Indra Catri via SMS (Short Message
Service). Waktu menunjukkan pukul 12.23.
Saat
kami selesai makan, masuk SMS dari Bupati Indra Catri: Kegiatan kami sudah
selesai di Hotel Bumi Minang, biarlah kami menyusul ke sana (Restoran Pasia
Piaman). Saya membalas: Kami tunggu.
Selang
beberapa menit, Bupati Indra Catri memasuki ruangan restoran. Bertemu Rizki, ia
langsung merangkul pundak anak itu. “Sudah sudah tidak sanggup menggendongmu
seperti lima tahun silam karena sekarang Rizki sudah besar dan tumbuh sehat,”
ujarnya.
Entah
karena terkesima, saya menyesal tidak sempat mengabadikan momen mengharukan itu
dengan dengan kamera ponsel milik Indra Noviandri. Ya, saya memang terkesima!
Sebab, itulah pertama kali saya bertemu dengan Bupati Indra Catri setelah lebih
dari empat tahun terhubung pertemanan di media sosial dan berkomunikasi via
telepon seluler. Di pikiran saya spontan tersusun ribuan kata berupa kesan
sangat positif terhadap pemimpin Rang Agam itu.
Tak
cukup waktu semenit atau dua menit, Bupati Indra Catri malah menghabiskan
waktunya hingga hampir satu jam bersama Rizki dan ibunya serta Arneliza dan
Dokter Rudy. Mereka terlihat berbincang sangat akrab seperti layaknya satu
keluarga yang sudah bertahun-tahun tidak bertemu.
Kemudian
Bupati Indra Catri pamit hendak kembali ke Kota Padang setelah memberi sejumlah
lembaran seratus ribu rupiah dari dompetnya kepada Rizki yang meraih rangking 5
di kelas disertai kalimat-kalimat motivasi. Ia kembali ke Kota Padang untuk
mengikuti rangkaian kegiatan Peringatan HPN yang sempat ia tinggalkan.
***
Ternyata
perjalanan kami belum berakhir. Armadanis meminta kami kembali ke rumah
orangtuanya di Sungai Lansiangan, Malalak Barat. Kata dia, pihak keluarganya
sangat mengharapkan kehadiran kami karena semalam tidak sempat menghidangkan
jamuan makan.
Brosur KID Smart ABA
Muhammad
Rizki Ramadhan hari itu memang jadi bintang. Kehadirannya di kampung yang jauh
di pelosok itu dielu-elukan banyak anggota keluarganya. Kampung kecil itu
seperti tampak sumringah dengan kepulangan Rizki si “Habibie” dari Malalak,
kata kakeknya – Masri Sutan Pamuncak – mengutip ucapan Bupati Indra Catri
sewaktu berkunjung ke Sungai Lansiangan beberapa tahun silam.
Hari
ini Rizki dan ibunya sudah berada kembali di Kota Bandung. Mereka terbang dari
BIM, Jumat sore kemarin, dan sampai di rumah pukul 19.30. Di rumah itu Rizki
tinggal bersama ibu, ayahnya yang membuka usaha warung nasi dan kakaknya yang
nomor dua. Sedangkan kakak sulungnya kuliah di Universitas Islam Negeri (UIN)
Riau – Pekanbaru.
Ayahnya,
Mayunis, menyusul ke Bekasi setahun setelah Rizki diboyong Arneliza. Ia kemudian
membuka usaha warung nasi dan mereka menetap di Kota Bandung. (***)
Masya Allah..
BalasHapus