Catatan
Dr Irwandi Sulin MP *)
SEWAKTU penulis menjadi Ketua Himpunan Pemuda
Pelajar Lubuk Alung (Hippel), pernah terbesit pemikiran untuk menjadikan Lubuk
Alung sebagai kota penyangga. Era itu dicanangkan istilah "Palapa" yang
merupakan singkatan nama Kota Padang, Lubuk Alung dan Pariaman dengan
menempatkan Lubuk Alung sebagai sentral pertumbuhan daerah. Istilah ini pun
dicanangkan oleh Bupati Padang Pariaman 1980 – 1990 H Anas Malik dalam satu
pertemuan dengan generasi muda Lubuk Alung, termasuk Batang Anai, di tahun
1983.
Dalam pertemuan
dengan tokoh masyarakat dan pemuda di Gedung Nasional Lubuk Alung itu terungkap,
pemekaran daerah sudah perlu dipersiapkan dan Lubuk Alung yang dijadikan
sebagai sentra pertumbuhan – sebagaimana ditekankan pada kata "Palapa"
dimaksud. Konsep inilah yang sebenarnya kita tunggu sejak lama. Hanya saja pada
waktu itu kita belum berpikir untuk memekarkan daerah ini.
Kabupaten
Padang Pariaman dikenal sebagai daerah yang amat luas, sehingga muncul anekdot Piaman Laweh. Namun, daerah ini semakin
mengecil setelah beberapa kali mengalami pengurangan luas akibat pemekaran
wilayah. Mulai Kota Padang yang memperluas wilayah dengan mengambil delapan
kecamatan akhir tahun 1970-an.
Setelah
era reformasi, Kepulauan Mentawai memekarkan diri jadi kabupaten sendiri
(1999). Begitu juga dengan Kecamatan Pariaman, juga memekarkan diri jadi kota
otonom (2002). Cerita "Palapa"
pun menghilang dari peredaran. Artinya, Lubuk Alung gagal menjadi sentra
penyangga Padang Pariaman.
Pemekaran
Kota Pariaman didorong dengan konsep pengembangan administrasi dan layanan
teknis pembangunan. Sejalan dengan semakin dibutuhkannya pemerataan
pembangunan, Kota Pariaman pun tagak
surangalias berdiri sendiri yang saat ini akan melakukan pemilihan walikota
untuk generasi ke-4.
Dalam
hal ini perlu keseriusan dalam mengembangkan konsep pertumbuhan daerah.
Kenyataan perubahan sikap mengembangkan daerah ini telah diikuti dengan
semaraknya pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dari berbagai
sektor. Hal inilah yang sebenarnya harus dijadikan sebagai landasaran berfikir
bagi kita masyarakat untuk mengembangkan wilayah.
Secara
monografi, Nagari Lubuk Alung lama yang terdiri dari satu kawasan datar dan
berbukit sedang, merupakan hamparan wilayah dengan luas 111,63 km2,
dengan jumlah penduduk 69.743 jiwa, dengan kepadatan 628 jiwa/km2.
Dibandingkan
Kota Pariaman dengan luas daerah mencapai 73,36 km2 dan dihuni oleh
penduduk sekitar 95 ribu jiwa atau 1.300 per/km2, Lubuk Alung
memiliki wilayah 35 persen lebih luas. Dengan artian, luas Kota Pariaman hanya
65 persen dari luas Kecamatan Lubuk Alung. Kota Pariaman saat ini terdiri dari
empat kecamatan dengan 16 kelurahan dan 55 desa.
Lebih
lanjut, jika kita membandingkan pula dengan Kota Padangpanjang, yang mempunyai
luas 23 km2 dengan kepadatan 4.500 jiwa/km2 (setara
dengan 103.500 jiwa), ternyata luas daerah ini hanya 21 persen dari luas Lubuk
Alung. Kota Padangpanjang terdiri dari dua kecamatan; Padangpanjang Timur dan
Padangpanjang Barat dengan 16 kelurahan.
Melihat
kondisi ini, dapat disimpulkan, dilihat secara luas Lubuk Alung sudah
selayaknya mengalami pemekaran wilayah kecamatan. Tujuannya untuk mempercepat rood mapping pembangunan di kecamatan
yang memiliki 9 nagari ini.
Dibandingkan
dengan data teknis monografi yang lebih signifikan dari dua kota tetangga;
Pariaman dan Padangpanjang, maka sudah selayaknya Lubuk Alung mengalami
pemekaran wilayah, baik dengan memekarkan kecamatan tunggal menjadi beberapa
kecamatan pemekaran – tentu diikuti dengan pemekaran nagari maupun dengan pemekaran
wilayah menjadi kota otonom.
Secara
ekonomi, Lubuk Alung dapat dikatakan sudah mandiri dengan dukungan sumber
penerimaan daerah yang berasal dari kontribusi bahan galian golongan C, pertanian
dan perdagangan. Secara umum struktur ekonomi masyarakat pun sudah sangat baik,
mengingat sekitar 30 persen di antara mereka adalah kaum pendatang. Koloni
pertumbuhan ekonomi yang didukung oleh homogenitas masyarakat sangat mendorong
bagi pertumbuhan daerah dan masyarakat. Tinggal saat ini yang terpenting adalah
sikap dalam menata pertumbuhan ekonomi kecamatan dan nagari.
Dengan
adanya faktor di atas, maka perlu sikap kebersamaan kita masyarakat Lubuk Alung
untuk berpikir secara simultan dan cousal
yang mengarah kepada pernyataan dan sikap untuk mempunyai filosofi secara
bersama guna mendukung mimpi lama, generasi kita untuk menyiapkan daerah ini
demi kesejahteraan masyarakat di masa mendatang.
Pada tanggal
28 Agustus 2017, bertempat di Puncak Bukik Lubuk Alung, di pinggiran Sungai
Batang Anai, telah diadakan kebersamaan dan diskusi guna mencanangkan dan
memantapkan pemikiran untuk mendorong pencapaian pemekaran kecamatan dan
mempersiapkan diri untuk menjadikan Kota Lubuk Alung. Harapan dalam pertemuan
yang dihadiri tokoh niniak mamak, tokoh muda dan bundo Kanduang, beberapa
intelektual telah menyatukan visi, bahwa kita masyarakat Lubuk Alung harus bisa
dan bersama bertekad untuk menjadikan Lubuk Alung sebagai kota otonom.
Dengan
demikian, di masa depan dapat mendorong pertumbuhan dan dinamika ekonomi yang
lebih baik. Rapat menetapkan pengelompokan kegiatan yang diketuai Sondra Mulia,
Landi Efendi selaku sekretaris dan tim dapur yang didukung oleh kelompok
intelektual. Semoga pencanangan ini diberkahi Allah Subhannahu Wa Ta’ala dan
terwujud demi pertumbuhan dan dinamika daerah.
*) Tokoh
Masyarakat Lubuk Alung