Jonpriadi beserta isteri di Tanah Suci, Makkah Almukarramah,
saat melaksanakan rangkaian ibadah haji
SIANG itu, Rabu, 13 September 2017, kami, TPHD
(Tim Pendamping Haji Daerah – red) Padang Pariaman beruntung. Sebab,
berkesempatan untuk berbincang-bincang ringan bersama Pak Jonpriadi, sekretaris
Daerah Kabupaten (Sekdakab) Padang Pariaman. Meski aktivitas ibadah haji yang
padat, menguras tenaga, namun – seperti biasa – beliau tampak bugar, penuh
senyum yang khas.
Dengan
bahasa yang mudah dicerna, beliau memulai bincang kami dengan mereview kegiatan
ibadah yang dilakukan. "Bahwa yang datang di Tanah Suci bukan karena
memiliki sejumlah uang, fisik yang sehat serta bekal lainnya, tetapi ini hanya
semata panggilan dari Allah Yang Mahaagung," katanya menerangkan.
Ia
menyebutkan, betapa banyak orang yang miliki harta cukup untuk ongkos naik
haji, namun tak diberi kesempatan ke sini. Bahkan ada yang sudah berada di
pesawat, akhirnya terpaksa diturunkan sebab faktor kesehatan.
Sesampai
di Makkah, papar dia, saat melaksanakan rangkaian umrah, yaitu berniat ihram, jamaah
calon haji memakai pakaian yang sama, yaitu dua helai kain putih yang tak
berjahit. "Ada pesan persamaan yang ingin Allah titipkan dari pakaian ini.
Di sisi Allah kita sama, kecuali yang lebih hebat taqwanya,” ungkapnya.
Beliau
melanjutkan perbincangan sambil sesekali melihat pesan yang masuk di smartphone-nya. Ketika tawaf, itu juga
sarat hikmah. Semua bergerak dengan tujuan yang sama. Ada yang penuh 'semangat'
sehingga terkadang harus berbenturan fisik dengan teman setujuan, bahkan ada
yang kena sikut. Seolah Allah sedang memberi pelajaran kepada hambaNya
bagaimana ragam manusia meraih tujuannya. Maka lahirlah sikap mengalah demi
kebaikan atau menahan diri untuk tidak menyakiti.
Memasuki
rangkaian ibadah puncak haji, beliau mengingat saat baru saja sampai di Padang
Arafah. Siang itu, terik matahari dengan suhu mencapai 50°C disertai badai yang
kencang, beliau membathin: "Mungkin ini yang disebut badai gurun pasir,
yang dapat memindahkan satu bukit pasir ke tempat lain". Seolah diingatkan,
bahwa kita tak bisa mengendalikan apa-apa, kecuali atas izinNya. La haula wa la quwwata illa billah.
Jonpriadi (kanan) bersama para jamaah haji saat akan melaksanakan umrah sunnah
Selama
di Arafah berada di dalam tenda besar, dengan jumlah jamaah yang banyak, udara
yang kering, panas mencekik, sungguh situasi yang berat. Jika biasanya saat
situasi sulit harus mencari solusi lain, namun Allah mewajibkan kita berdiam
diri (wukuf) dalam kondisi seperti itu mulai tergelincir matahari hingga
terbenam. Memang tingkat kepasrahan diri kepada Allah sedang diuji.
Begitu
juga halnya dengan saat melontar jumrah. Saat melontar pertama kali, yaitu
jumrah Aqabah, ada rasa 'khawatir' untuk menuntaskannya. Sebab, dua hari berada
di Arafah dengan segala situasi dan kondisi, kemudian dihadapkan dengan
tantangan berikutnya, perjalanan lebih kurang 7 km menuju jamarat. Oleh
karenanya, dibutuhkan pribadi yang kokoh dan sikap optimis. Dalam hati beliau
berujar, "Insya Allah, saya bisa". Ya, akhirnya beliau menuntaskan
ke-4 lontaran, tanpa diwakilkan.
"Sungguh
ibadah haji itu sarat makna dan hikmah. Jika seluruh jamaah dapat mengambilnya,
tentu akan lahirlah pribadi yang baru, yang lebih baik dari sebelumnya saat
mereka sampai di daerah masing-masing," kata Jonpriadi seperti menyimpulkan.
Kemudian
beliau pamit untuk persiapan Tawaf Wada' malamnya dan persiapan keberangkatan
menuju Kota Nabi Muhammad Shalallahu’Alaihi Wassalam, Madinah Almunawwarah,
yang diagendakan esok harinya, Kamis, 14 September 2017, Pukul 06.15.
***
Mekah ditinggal, Madinah dijelang
Jamaah haji bersiap-siap menaiki bus
BERSAMAAN naiknya matahari pagi pukul 07.44
Waktu Arab Saudi (WAS), Kamis, 14 September 2017, jamaah haji Kloter 15
Embarkasi Padang menaiki bus yang akan membawa mereka ke Kota Madinah
Almunawwarah.
Sebanyak
385 jamaah berangkat menggunakan 9 bus. Pembagian bus berdasarkan rombongan
yang telah dibagi sebelum berangkat ke Tanah Suci. Dari total jamaah 392 orang,
maka 7 orang tidak ikut rombongan ini. Dengan rincian, 1 orang meninggal dunia,
4 orang sudah Tanazul (dipulangkan ke tanah air lebih awal), dan 2 orang
bersama tim medis.
Perjalan
menuju Kota Nabi Muhammad Shalallahu’Alaihi Wassalam lebih kurang 380 km akan
dilalui selama 6 jam. Meski menggunakan kendaraan modern, namun tergambar
bagaimana Nabi meninggalkan tanah kelahiran sebab tidak memungkinkan meneruskan
dakwah di tanah air. Penduduk Makkah saat itu bahkan mengancam membunuh Nabi.
Pergilah Nabi menuju Madinah yang kala itu masih bernama Yatsrib.
Rombongan jamaah berangkat menuju madinah saat matahari
mulai naik, tepat berada di atas Jabal Nur
Bukit
bebatuan yang dilewati menjadi saksi kerasnya perjuangan Nabi bersama sahabat
untuk menegakkan syiar Islam, menjadi inspirasi bagi kita mempertahankan agama
dalam diri dan keluarga. Selamat tinggal Kota Makkah, Insya Allah lain waktu
kita akan bertemu kembali. (Laporan Afrinaldi
Yunas, TPHD Padang Pariaman)