Catatan Zakirman Tanjung
INGIN belajar jurnalistik atau jadi penulis?
Gampang, asal ada minat atau kemauan. Jurnalistik merupakan karya tulis yang bersifat pelaporan.
Dalam pengertian dasar, contohnya bisa dilihat pada pemberitaan-pemberitaan yang dimuat suratkabar serta website.atau media online.
Syarat dasar penulisan laporan / berita mesti memuat minimal delapan unsur yang dikenal dengan 5W + 1H + 2E 1S:
What: apa yang terjadi?
Who: siapa pelaku dan terkait dalam kejadian?
Where: di mana peristiwa terjadi?
When: kapan terjadinya?
Why: mengapa bisa terjadi?
How: bagaimana kejadiannya?
Etika: sikap, tingkah laku atau perilaku seseorang dalam berinteraksi
Etika: sikap, tingkah laku atau perilaku seseorang dalam berinteraksi
Estetika: hal-hal terkait kualitas keindahan dari obyek, maupun daya impuls dan pengalaman estetik pencipta dan pengamatannya
Security: tanggungjawab.
Suatu laporan / berita hendaklah ditulis secara komprehensif / menyeluruh agar pembaca memperoleh informasi yang lengkap alias tidak menyisakan tanda-tanya. Selain itu, wartawan dituntut berpacu dengan waktu, menyajikan hasil liputan pada kesempatan pertama. Dengan kata lain, haram bagi wartawan menunda-nunda pekerjaan.
Cara belajar efektif adalah dengan metode ATM BRI (amati, tiru, modifikasi ~ belajar rajin dan intensif) atau dikenal dengan autodidak ~ sebagaimana yang saya lakukan semenjak sekolah dasar (SD) dengan menulis artikel, puisi dan cerpen.
Dasar-dasar hukum jurnalistik
Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu. [Al-Qur'an surah Al-Hujurat (49) ayat 6]
Wartawan yang profesional bukanlah pekerja, bukan pula budak kapitalis alias pemodal usaha penerbitan tempatnya bergabung. Dengan profesinya, wartawan memang membutuhkan penghasilan untuk biaya hidup dan lain-lain, akan tetapi dia tidak boleh menghalalkan segala cara (MSC).
Sejelas dan senyata apa pun informasi yang diterima wartawan, malahan ia saksikan sendiri kejadiannya -- kalau menyangkut citra seseorang, lembaga atau organisasi -- si wartawan tetap wajib melakukan konfirmasi sebelum menyajikannya dalam bentuk pemberitaan di media publik. Alasan dikejar deadline, lalu tidak melakukan konfirmasi, sangat tidak dapat diterima. Termasuk dalam hal ini (bahkan) pernyataan resmi pejabat pemerintah sekali pun tentang kondisi rakyat.
Pemahaman ini sangat penting! Jangan lantaran pernyataan resmi pejabat pemerintah... lalu otomatis benar. Belum tentu! Contohnya tentang kesejahteraan rakyat, angka pengangguran dan pembangunan fasilitas umum. Wartawan yang cerdas takkan mempublikasikan begitu saja sebelum melakukan cek dan ricek faktanya di lapangan, kecuali dalam bentuk pariwara.
Pariwara merupakan pemberitaan yang bersifat pesanan dan pemesannya membayar ke perusahaan penerbit, penempatannya harus jelas, bukan terselubung. Oleh karena itu, pariwara tidak layak disebut karya jurnalistik.
Meski demikian, walau profesi wartawan telah dilindungi dan diatur secara khusus dengan UU 40/1999 tentang pers, kemudian ada pula kode etik jurnalistik (KEJ) serta undang-undang tentang keterbukaan informasi publik (KIP), menjalankan profesi kewartawanan tidaklah mudah; lebih-lebih dalam penggarapan berita yang bersifat penyelidikan (investigated report). Biasanya banyak kendala yang menghadang.
**
Kode etik jurnalistik
Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawanan. Wartawan selain dibatasi oleh ketentuan hukum, seperti Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, juga harus berpegang kepada kode etik jurnalistik.
Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.
Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:
Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk
Penafsiran
a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.
Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik
Penafsiran
Cara-cara yang profesional adalah:
a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
b. menghormati hak privasi;
c. tidak menyuap;
d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;
e. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;
f. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;
g. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri;
h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.
Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah
Penafsiran
a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.
b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.
c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.
d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.
Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul
Penafsiran
a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.
c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.
d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.
Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Penafsiran
a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.
b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.
Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap
Penafsiran
a. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.
b. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.
Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan
Penafsiran
a. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.
b. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber.
c. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.
d. Off the record adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.
Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani
Penafsiran
a. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas.
b. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.
Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik
Penafsiran
a. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.
b. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.
Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa
Penafsiran
a. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar.
b. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.
Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional
Penafsiran
a. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
b. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
c. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.
Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.
(Kode Etik Jurnalistik ditetapkan Dewan Pers melalui Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 Tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik Sebagai Peraturan Dewan Pers)
Baca juga SEJARAH RINGKAS KEPENULISANKU
**
Tentang penulis
Lahir pada hari Ahad 13 Rabi’ul Akhir 1389 atau 29 Juni 1969, Zakirman Tanjung menamatkan Sekolah Dasar (SD), Juni 1983.
Karier kepenulisannya bermula di Koran Masuk Sekolah (KMS) Surat Kabar Harian (SKH) Singgalang (mulai Agustus 1985), Haluan (mulai Agustus 1986) dan Mingguan Canang (mulai Maret 1987).
Karya-karya berupa cerita pendek dan puisi juga dimuat sejumlah media cetak terbitan Jakarta seperti Majalah Anita Cemerlang, Surat Kabar Suara Pembaruan dan Majalah Humor.
Zakirman Tanjung terjun secara totalitas ke kancah jurnalistik di Surat Kabar Mingguan (SKM) Canang (Oktober 1992 s/d Desember 2000), SKM Padang Pos (November 2000 s/d April 2001), SKH Sumbar Mandiri (April s/d Desember 2001) dan Tabloid Berita Mingguan Zaman (Desember 2001 s/d Oktober 2010).
Selain mendalami bidang jurnalistik secara otodidak, Zakirman Tanjung pernah mengikuti Program Penyegaran Redaktur (PPR) selama 5 minggu (5 November s/d 10 Desember 1994) pada Lembaga Pers Dr Soetomo di Lantai 8 Gedung Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih Nomor 110 Jakarta dengan peserta hanya 13 orang dari seluruh Indonesia, Timor Leste dan Vietnam.
Nomor kontak WA > 083180225955
BACA JUGA