Catatan Zakirman Tanjung **)
PERNAHKAH engkau menerawang ke masa
lalumu? Atau, hidupmu mengalir bagai air tanpa menyisakan kenangan? Sejak usia
berapa engkau mulai mengingat memori hidupmu?
Alhamdulillah... aku telah mulai ingat memori hidupku sejak
berusia 3 tahun. Sejak usia itu, tahun 1972, sejarah hidupku hingga kini
terbentang dengan terang dalam ruang memoriku. Sangat detil atau rinci malah.
Aku bisa menceritakannya dengan jelas jika engkau mau dan betah mendengarkanku
bercerita.
Selama 45 tahun bentangan sejarah
hidupku tersusun dengan rapi dalam ingatanku. Entah kapan aku bisa dan punya
kesempatan untuk menuliskannya. Mungkin, jika kutuliskan lalu kucetak dalam
bentuk buku, bisa mencapai seribu halaman, bahkan lebih, bisa 10.000 halaman.
Kalau kukenang, masa laluku
sangat teramat panjang. Begitu banyak kebaikan demi kebaikan yang telah
kuterima dan mungkin masih akan kuterima. Jangan kaukira aku bangga dengan
posisi tangan di bawah. Tetapi, memang begitulah realita yang kulalui. Itupun
masih belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupku dan keluarga yang kini
jadi tanggungjawabku.
Bukan tidak bersyukur atas Rahmat
Allah. Alhamdulillah... aku senantiasa bersyukur atas segala nikmat yang
kuraih. Namun, kenyataan yang kuhadapi yaa begini. Jangankan untuk
bermewah-mewah, memenuhi kebutuhan primer keluarga pun aku masih ketar-ketir.
Demi Allah Yang nyawaku ada dalam
GenggamanNya, aku tidak menyesali realita hidup yang kudapati. Tidak! Apa yang
kudapatkan merupakan hasil dari pilihanku sendiri di antara beribu pilihan
untuk hidup layak, bahkan mewah. Aku memilih atas dasar ilmu pengetahuan dan
keyakinan. Aku tidak menyatakan bahwa aku manusia suci. Begitu banyak beban
dosa yang kutanggung, yang setiap waktu kumohonkan AmpunanNya.
Akan tetapi, dalam hal mencari
rizki batinku sangat selektif. Biarlah menahan lapar dan menekan rasa daripada
memperoleh penghasilan dengan menghalalkan segala cara. Terlalu susah memang
untuk menjelaskan kepada isteri dan anak-anakku tentang pilihan hidupku. Namun,
secara perlahan mereka bisa mengerti dan tak lagi banyak menuntut. Meski
demikian, aku selalu membuka kesempatan kepada mereka untuk menyuarakan
keinginan, paling tidak bisa menjadi doa.
***
BERDASARKAN cerita yang kudapat
dari ibu dan orang-orang tua di kampung, aku dilahirkan dalam kondisi cacat
fisik dan tanpa suara tangisan, Minggu 29 Juni 1969 Masehi jam 20.00,
bertepatan dengan Ahad 13 Rabi'ul Akhir 1389 Hijriyah, setelah ibu berjuang
selama hampir 24 jam. Kaum kerabat pun waktu itu sepakat untuk mengusungku ke
pusara.
Untunglah dukun yang menolong
persalinan tidak kehilangan akal. Dia coba menarik-narik tangan dan kakiku.
Lantaran belum ada reaksi, tubuh dan kepalaku pun dia benam ke dalam baskom
berisi air. Maka; terlihatlah gelembung dari hidungku, lalu pecahlah tangis
pertamaku (kesaksian yang kudengar dari orang² yang menyaksikan proses
kelahiranku dari rahim ibu yang berjuang antara hidup dan mati; menanggungkan
rasa sakit tak terkata selama sehari semalam).
Dan kesejahteraan semoga
dilimpahkan kepadaku pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada
hari aku dibangkitkan hidup kembali. (QS 19: 33).
***
PERJALANAN hidupku kemudian
menjadi teramat panjang. Kata ibu yang kupanggil One, masa kecilku
sangat memprihatinkan. Tubuhku lemah seperti anak kurang gizi. Aku baru mulai
bisa melangkahkan kaki atau pandai berjalan pada usia 25 bulan atau 2 tahun
lebih sebulan. Sedangkan anak-anak normal ada yang sudah pandai berjalan pada
usia 9 bulan -- seperti ibuku waktu bayi.
Pertumbuhan fisikku, kata ibu,
sangat lamban. Menjelang bisa berdiri dan mampu melangkahkan kaki, aku bergerak
dengan beringsut. Meski demikian, aku termasuk anak yang cerdas secara
intelektual.
Kenangan yang sudah bisa kuingat
dengan jelas adalah ketika ayahku berangkat meninggalkan rumah (di sebuah
kampung, Kabupaten Padang Pariaman - Sumbar) hendak pergi ke Jambi. Waktu itu,
kata ibu, tahun 1972. Hingga kini pun terbayang jelas di ruang ingatanku
bagaimana langkah kepergian ayah dan pakaian yang dia kenakan. Begitu juga
dengan tas pakaian yang dia sandang.
Sepeninggal ayah, banyak
kesedihan yang kurasakan. Ibu melahirkan seorang adikku, laki-laki juga, yang
ia beri nama Hendri.
Hal yang kuingat, adikku berkulit kuning langsat, meniru kulit ayah (sedang aku
berkulit sawo matang / hitam, meniru kulit ibu). Namun, Hendri meninggal dunia
ketika berusia 7 bulan.
Tidak sampai di situ. Selang
seminggu setelah kematian Hendri, kami mendengar berita kalau ayah menikah lagi
di Kota Jambi. Saat itu aku sedang bermain di halaman depan rumah. Perasaanku
waktu itu marah dan galau.
Tahun 1974, ibu mengajakku menyusul ayah. Waktu itu ayah sudah pindah ke
Palembang. Kami naik bus selama 2 hari 2 malam lantaran jalan sangat buruk.
Ketika berangkat ke Palembang, aku dan ibu (yang waktu itu berusia 24 tahun)
bareng dengan tetangga yang berdomisili di kota itu yang kebetulan pulang
kampung dan hendak balik ke rantau.
Alhamdulillah... kami bertemu
dengan ayah yang bekerja sebagai tukang jahit pakaian di sebuah kedai kecil,
tak jauh dari Jembatan Ampera. Aku dan ibu ditumpangkan ayah di rumah orang
Cina di belakang kedai. Sedangkan isterinya yang lain atau ibu tiriku kemudian
kuketahui mengontrak di rumah terapung di tepian Sungai Musi. Ayah sempat
beberapa kali mengajakku ke rumah isterinya itu.
Hanya sekitar satu bulan di
Palembang, suatu malam ibu membangunkanku. Katanya, tengah malam itu juga kami
harus berangkat ke Jakarta melalui Tanjung Karang naik kereta api. Karena hanya
membeli 2 lembar tiket untuk ayah dan ibuku, di atas kereta api ibu terpaksa
membuka anting emas yang terpasang di telinganya dan menjual ke penumpang lain.
Hal itu disebabkan karena kondektur memaksa minta ongkosku ....
*) Cikal-bakal autobiografi-ku, Inshaa Allah
**) Rakyat jelata yang tidak punya jabatan apa-apa, bukan pegawai pemerintah ataupun swasta: nomor rekening: 5476 01 016502 53 5 pada BRI atas nama Zakirman Tanjung