Catatan Zakirman Tanjung **)
MERANTAU DI JAKARTA 1974 - 1976
BESOK siangnya, kami sampai
dengan selamat di Tanjung Karang, lalu ke Pelabuhan Panjang, naik Kapal Ferry
Penyeberangan menuju Pelabuhan Merak. Suasana di atas kapal tak ada yang
kuingat. Hanya saja, sesampai di Merak, ayah yang kupanggil Apa (papa)
menitipkan kami di suatu rumah makan, sedang dia berangkat ke Jakarta, katanya
untuk mencari alamat ke mana kami bisa menumpang atau mencari rumah kontrakan.
Ada beberapa hari aku dan ibu di Merak hingga kemudian ayah datang
menjemput. Kami berangkat ke Jakarta dan menempati kontrakan, rumah kayu
berlantai tanah, di lereng gundukan tempat rel kereta api di Kawasan Medek, tak
jauh dari Stasiun Jatinegara. Kusebut di lereng gundukan karena sekitar dua
meter dari dinding belakang ada dua jalur rel KA, posisinya sejajar dengan atap
rumah.
Halaman rumah merupakan tanah lapang tempat warga menjemur pakaian serta
arena kami -- anak-anak -- bermain. Kalau hujan sangatlah becek. Di tengah
tanah lapang ada sumur umum yang dikelilingi pagar plastik atau kardus-kardus
tempat warga mandi dan mencuci. Sedangkan kakus, tempat warga buang air besar,
berlokasi agak jauh, di pinggir rawa dan semak, berpagar plastik karung
sekadarnya.
Rasanya tak cukup sebulan kami di Jakarta, beredar kabar kalau ibu tiri
datang menyusul. Konon, ia mendapat informasi dari seseorang tentang keberadaan
ayahku, suaminya. Alhasil, ayah pun kembali harus menafkahi dua isteri dan tiga
anak -- aku, adikku seayah dan seorang anak tirinya. Sedangkan ayah tak punya
pekerjaan tetap, hanya serabutan.
Lantaran tak mungkin mengandalkan uang pemberian ayah, ibu berinisiatif
mencari nafkah. Ia mencoba berjualan ketupat sayur (gulai nangka muda atau
pakis ala masakan Padang) di Pasar Cingkariak (Jangkrik?), sekitar 1,5 km dari
rumah dengan menyeberangi areal stasiun. Namun, usaha itu tak bertahan lama,
ibu berhenti jualan lantaran dipermasalahkan (dicekcoki) pedagang lain karena
merasa tersaingi.
Setahun di Jakarta, menjelang akhir 1975, kami pun ditinggal ayah.
Belakangan beredar kabar kalau ayah pergi ke Lampung bersama isteri keduanya
dan anak-anak mereka. Berhari-hari kulihat ibu dirundung duka. Namun, ibu tak
berdaya, tak mungkin menyusul ayah. Selain tidak punya uang, ibu pun tidak
mengetahui di mana keberadaan ayah di Lampung.
Kesulitan demi kesulitan pun menghadang. Untuk memenuhi kebutuhan, ibu yang
waktu itu berusia 25 tahun masih memiliki sisa uang, kemudian mengajakku
menemui mamak (kakak ibu)-nya yang berdagang bahan dasar pakaian pada sebuah
toko di Pasar Kramat Jati. Sorenya, lelaki yang juga kupanggil Mamak (Paman,
seharusnya kupanggil Kakek) itu mengajak ibu dan aku pulang ke rumahnya di
pedalaman, Condet.
Kusebut pedalaman karena dari Pasar Kramat Jati kami harus jalan kaki
sekitar dua kilometer menyusuri jalanan tanah di pinggiran kali. Kalau aku tak
salah ingat, Kali Ciliwung. Ruas jalan itu cukup lebar tetapi sangat jarang
dimasuki mobil, kecuali sesekali mobil bak terbuka untuk mengangkut barang.
Jika musim hujan, jalan itu sangat licin dan becek, telapak sepatu atau sandal
bisa sangat tebal diganduli tanah liat. Aku bahkan sering terjatuh ketika
melewatinya.
Seingatku, aku dan ibu menumpang seminggu atau dua minggu di rumah itu.
Alamnya sangat asri. Di sekitar rumah banyak tanaman salak dan duku manis.
Sebagai bocah berusia enam tahun, aku cepat akrab dengan lingkungan dan
anak-anak sebaya, termasuk dengan beberapa putra Mamak. Kami bermain dengan
bebas mencari salak atau buah duku yang jatuh di pagi hari.
Kemudian, anak sulung Mamak yang kupanggil Utiah mengajak kami (ibu dan
aku) menetap di rumahnya di Kawasan Cipinang Kebembem, Rawamangun. Ia butuh
kehadiran ibuku untuk menunggui rumah dan mengasuh dua anaknya, perempuan tiga
tahun dan laki-laki berusia setahun. Sebab, setiap pagi hingga sore, Utiah
membantu suaminya yang kupanggil Ajo berdagang bahan dasar pakaian di Pasar
Enjok.
Di rumah itu, ibuku melaksanakan pekerjaan rutin seperti memasak dan
menyapu serta mengasuh kedua anak Utiah. Sedangkan aku bermain bersama
anak-anak di kawasan itu. Adakalanya bermain tanah di tengah lapangan dekat
SMP. Aku bahkan pernah berjualan es lilin dengan menjinjing termos yang terasa
berat oleh fisikku yang ringkih, terlebih karena tangan dan kakiku sebelah kiri
lemah lantaran cacat sejak lahir. Aku ikut jualan es diajak teman. Pagi-pagi
aku bareng teman ambil es dengan termos yang disediakan juragan.
Perhitungannya, modal satu es lilin Rp4 dan kujual Rp5. Terkadang habis olehku
20 es lalu setor Rp80 ke juragan. Es yang bersisa dan lunak boleh dikembalikan.
Waktu itu, ibu hanya sanggup memberiku uang jajan Rp5 setiap hari, tidak
tambahan lagi. Namun, ketika mengetahui aku berjualan es, ibu tak lagi
memberiku uang jajan lantaran aku bisa memperoleh uang berkisar Rp10, 15 hingga
25 tiap hari. Ibu bahkan meminta bagian keuntungan yang kuperoleh untuk dia
simpan. Untuk pembeli baju atau celanaku kalau sudah terkumpul, begitu kata ibu
yang kupanggil One.
Namun, kegiatan berjualan es lilin itupun tak berlangsung lama kulakoni.
Penyebabnya karena persaingan antar teman juga. Akibat fisik yang lemah, aku
tak berdaya menghadapi mereka. Selanjutnya aku lebih banyak bergaul dengan
abang-abang becak yang sering mangkal di jalanan di depan rumah. Abang-abang
becak itu belakangan pun suka memberiku uang. Ada yang Rp5 atau Rp10 sekali
beri. Bukan karena faktor kasihan melainkan sebagai hadiah setelah mereka puas
mengujiku dengan beberapa pertanyaan.
Dalam hal ini, pada usia enam hingga tujuh tahun itu aku sudah hapal Al-Fathihah
dan beberapa surat pendek dalam Juz Amma Al-Qur’an. Selain itu, aku pun
sudah sudah mahir dengan bilangan perkalian. Kepandaian tersebut diajarkan
Kakek Utiah atau Ayah Mertua Mamak yang juga tinggal bersama Utiah.
Alhamdulillah... saat itu daya tangkapku sangat cepat dibarengi daya ingat yang begitu
kuat. Pertanyaan tentang perkalian itulah yang kerap diajukan si abang becak.
Secepat dia bertanya, secepat itu pula aku menjawab. Misalnya berapa 7 x 7,
langsung kujawab 49 tanpa berpikir. Begitupun ketika ada yang menyuruhku
melafazkan Al-Fathihah atau surah-surah pendek Juz Amma.
Mulai 1 Ramadhan 1396, bertepatan dengan hari Kamis 26 Agustus 1976, aku
ikut menunaikan ibadah puasa. Waktu itu aku berpuasa hingga 21 hari.
Selanjutnya, ibu tak lagi membangunkanku untuk makan sahur. Alasannya, karena
aku kian kelelahan menunaikan ibadah puasa.
Hal yang kuingat, setiap usai berbuka, Ajo (suami Utiah) memberiku uang
Rp50. Katanya sebagai hadiah karena aku berpuasa.
Alhamdulillah... dengan uang itu aku bisa agak leluasa jajan, termasuk membeli serabi bakar
di pinggir jalan di depan rumah. Namun, atas permintaan ibu, sebagian uang itu
kuserahkan padanya untuk disimpan.
Ada sekitar setahun 2 bulan aku dan ibu di Cipinang Kebembem. Namun, waktu
itu belum ada upaya ibu memasukkanku ke sekolah. Mungkin karena keadaan juga.
Padahal, tak jauh dari rumah ada Sekolah Dasar (SD).
Menjelang akhir tahun 1976, Mamak bersama keluarga besarnya pulang kampung.
Ibu dan aku pun diajak ikut. Dari Jakarta kami naik Bus ANS ke Merak,
menyeberang ke Pelabuhan Panjang - Lampung, selanjutnya menyusuri Jalan Lintas
Sumatera yang masih jelek, kecuali dari Lubuk Linggau menuju Sumatera Barat.
Dari Lampung ke Padang, seingatku, ada lima kali kami naik pelayangan.
Barulah Januari 1977 aku dimasukkan Nenek (ibu dari ibuku) ke Sekolah Dasar
sekitar 700 meter dari rumah. Waktu itu usiaku sudah 7,5 tahun.
*) Cikal-bakal autobiografi-ku,
Inshaa Allah
**) Rakyat jelata yang tidak punya jabatan apa-apa, bukan pegawai pemerintah ataupun swasta: nomor rekening: 5476 01 016502 53 5 pada BRI atas nama Zakirman Tanjung
**) Rakyat jelata yang tidak punya jabatan apa-apa, bukan pegawai pemerintah ataupun swasta: nomor rekening: 5476 01 016502 53 5 pada BRI atas nama Zakirman Tanjung